14
😁😁😁
###
Minggu malam Ammar dan Ilmira pamit pulang. Walaupun dua hari di rumah Mbah Kung pria itu nyaman di sana. Tidak terlalu bising dan juga damai, terlebih saat ikamah berkumandang menjelang sholat begitu menentramkan jiwa. Ammar memang tidak terlalu religius tapi ia begitu senang mendengar seruan merdu tersebut. Benar-benar suasana desa yang kadang Ammar cari untuk melepas penat dari sibuknya rutinitasnya. Rasanya ia wajib kembali lagi untuk waktu yang lebih lama.
Dalam perjalanan pulang Ammar melirik Ilmira yang lebih memperhatikan pemandangan luar. Parasnya terlihat murung, mungkin harus pergi meninggalkan kakek neneknya, dan hal itu sedikit mengganggu hatinya. Bukan karena marah tapi tak suka jika paras ayu itu dinaungi lara.
Ah sialan! Bagaimana bisa ia mempunyai perasaan seperti itu pada Ilmira? Ammar harus ingat jika dia hanya penjamin utang ayahnya tidak boleh lebih dari itu. Lagipula hatinya masih milik Sova bukan Ilmira.
Ilmira melihat Ammar saat mobil SUV besar hitam pria itu berhenti di depan Taman Rekreasi Wendit. Mau apa malam-malam di sini? Tapi pertanyaan itu bergumam di hati saja.
"Aku lapar." Ammar turun usai melepas sabuk pengamannya. Ia mengambil ponsel di dashboard lalu menutup pintunya.
Mau tak mau Ilmira pun turun mengikuti pria itu. Ia duduk di samping Ammar di warung tenda penjual sego sambel. "Njenengan mau dipesankan apa? Biar saya pesankan," tawar Ilmira yang tengah membaca menu di rombongan penjual dari duduknya.
"Teh anget sama sego sambel paru."
Wanita berhijab hitam itu mendekati penjual, memesan sesuai permintaan suaminya. "Maturnuwun, Bu." Ilmira menggeser piring ke depan Ammar berikut teh hangatnya.
"Kamu ndak pesan?"
"Mboten, Mas, masih kenyang. Tadi sebelum pulang sudah makan. Njenengan yang ndak mau."
Ammar mengangguk. Sebenarnya tidak benar-benar lapar hanya saja ... Ya Tuhan. Ada apa dengan dirinya? Kenapa ia harus bersusah payah menyenangkan perasaan wanita itu? Namun, di waktu bersamaan sudut bibir Ammar tertarik sedikit melebar melihat riak wajah Ilmira yang sedikit terhibur.
Ia menatap wanita yang berlabel istrinya itu lekat dan menyukai senyumnya, tawanya saat bersenda gurau dengan nenek kakeknya. Rona merah di wajahnya saat digoda oleh teman-temannya saat ia jemput di mushola karena tidak membawa payung—atas permintaan Mbah Putri.
Ammar berdecak lirih karena pikirannya yang semakin ngawur. Sungguh sial bukan? Sebenarnya setan apa yang tengah merasuki dirinya? Kenapa ia mulai menyukai hal-hal kecil dari Ilmira?
"Kenapa, Mas? Ada sesuatu di wajah saya?"
Pertanyaan Ilmira membuat Ammar buru-buru menunduk, muluk (makan dengan tangan) nasi dengan potongan paru dan sambel sebelum memakannya. Sialan. Bisa-bisanya ia kepergok menatapnya. Ammar kemudian menghela napas panjang karena kesal. Rasa-rasanya ia terlalu banyak mengumpat belakangan ini dan itu karena Ilmira. Ammar pun mengambil teh, menyeruputnya cepat tanpa tahu jika minuman tersebut masih sedikit panas. Sontak ia memuntahkan seraya mengaduh kecil.
"Ya Allah, Mas. Pelan-pelan." Ilmira mengangsurkan air minum botolan yang tersedia setelah sebelumnya ia sambar cepat dan membuka tutupnya. Ia mengambil tisu lalu mengelap tumpahan teh di meja. "Sudah ndak apa-apa?" Ia mengembalikan piring ke tempat semula sebelum ia bersihkan.
Ammar mengangguk. Ia kemudian melanjutkan makannya sampai selesai. Usai mencuci tangan ia membayar makanan tersebut. "Ada yang mau dibeli?"
"Mboten, Mas."
Ammar mengangguk sebelum masuk ke mobilnya. Mereka pulang dalam keheningan tapi Ilmira cukup terhibur melihat pengunjung di pasar malam tadi.
###
"Seneng, Nduk, di rumah Mbah Kung?" Cindy datang menyapa saat Ilmira membantu Mbok Yem masak. "Pulang jam berapa kemarin? Ibuk masih sore sudah tidur."
Senyum lebar Ilmira menjawab pertanyaan mertuanya. "Jam sembilan lebih kayaknya, Buk. Mas Ammar ngajak mampir cari makan dulu."
"Sekarang mana Masmu? Kok belum kelihatan."
Ya Tuhan. Ilmira lupa menyiapkan pakaian pria itu. Ia pun bergegas ke kamar dan benar saja Ammar sedang memilih baju yang akan ia kenakan. "Njenengan makan dulu saja. Saya siapkan bajunya." Dengan cekatan Ilmira membuka pintu lemari kedua tapi ...
"Nggak usah. Aku bisa cari sendiri."
Pegangan tangan Ilmira perlahan turun dari pintu lemari. Ia menutup dengan pelan. "Maaf, Mas, tadi bantuin Mbok Yem bikin bubur merah buat selamatan pembukaan toko Mas Omar," jelasnya lirih. Salahnya juga ia lupa menyiapkan keperluan Ammar hingga membuatnya marah.
Namun, begitu Ammar tak menyahuti penjelasan Ilmira. Ia melanjutkan memakai kemeja sampai semua atributnya yang biasa dia pakai kemudian keluar kamar diikuti wanita itu di belakangnya. Sampai di dapur, Ammar menarik kursi untuk Ilmira lalu untuknya sendiri. "Cukup," ucapnya saat Ilmira ingin menambahkan nasi di piringnya.
"Cerah bener, Mar. Beda gitu auranya," celetuk Rasyid jahil menggoda Ammar.
"Ya cerah wong wes kangen-kangenan sama Mira," timpal Cindy membantu Mbok Yem menata makanan di meja. "Laki kan gitu kalo lama ditinggal istrinya. Lesu. Baterainya lemah. Kalo sudah ketemu ya full lagi wong habis dicas"
Ilmira tertunduk dalam. Ia paham dengan makna ucapan mertuanya itu sayangnya hal tersebut hanya angan mereka dan angannya. Tidak mungkin Ammar berkenan menjamah dirinya di saat kebencian pria itu lebih mendominasi.
Pria itu berdecak saja tanpa memberi jawab. Ia meneruskan makan tapi ekor matanya menangkap semu merah di pipi Ilmira. Senyum malu-malunya yang tersembunyi menarik perhatian Ammar. Apakah makna dari senyum itu Ilmira ingin ia sentuh? Sebegitu inginkah wanita itu Ammar sentuh?
Tentu saja bodoh! Istri mana pun ingin diberikan nafkah lahir batinnya bukan diabaikan, bisik nuraninya yang lain.
Ammar menggerang dalam hati merutuki pikiran kotornya. Bisa-bisanya ia memikirkan hal itu sekarang ini? Sialan. Jika ia menyentuh Ilmira sama saja ia mengkhianati cintanya untuk Sova dan Ammar tak mau itu.
Lalu apa yang akan ia dilakukan jika kebutuhan itu datang? Mencari wanita penghibur sedangkan di rumah ada yang halal? Yang benar saja, jika ayah atau ibunya tahu bisa mati berdiri mereka. Ya Tuhan. Kenapa harus pikiran itu melintas di benak saat ini? Tidak bisakah pikiran cabul itu pergi saja sejauh mungkin? Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak menyentuh Ilmira tapi dengan tiba-tiba suhu tubuhnya berubah. Berhasrat mungkin? Argh! Hasrat sialan! Ammar jadi gelisah sendiri. Bagaimana tidak gelisah bila tubuhnya tiba-tiba berhasrat?
"Kamu kenapa, Le?" tanya Cindy yang sedari tadi memperhatikan putranya. "Kamu sakit lagi? Kayak nggak nyaman gitu," sambungnya. "Nduk, coba itu sentuh dahinya. Panas lagi apa nggak," perintahnya pada Ilmira.
"Nyuwun sewu ngeh (permisi ya), Mas," pamit Ilmira sebelum menyentuh kening Ammar. "Anget biasa saja kok, Buk." Ia kembali ke posisi awal guna melanjutkan makan.
"Aku nggak apa-apa, Buk. Omar mana? Katanya pembukaan toko hari ini?" Ia menanyakan keberadaan adiknya yang sedari tadi tak terlihat.
"Wes ke sana dulu. Siap-siap. Habis ini Ibuk, Ayah, sama Ilmira ke sana bawain tumpeng dan bubur merahnya. Kamu mau ikut ndak?" tawar Cindy. Biasanya Ammar tidak akan melewatkan peresmian adiknya walaupun harus terlambat ke tempat kerjanya.
Pria itu mengangguk. Tidak mungkin ia akan melewatkan peresmian toko adiknya satu-satunya itu. Ia sebagai kakak Omar ikut bangga dengan pencapaian yang diraih Omar.
Tbc.
Sudah tamat di Karyakarsa ya. Link di bio. Makasihhhhh
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top