13


😁😁 Datang lagiii. Baca yuk, vote komen jangan lupa. Versi cepat di Karyakarsa ya 😚

###

Di hari kelima Ammar dengan terpaksa—setelah ibunya mengomel dan bertanya apakah mereka bertengkar—menyusul Ilmira ke rumah kakeknya. Ia tiba setelah adzan magrib. Udara dingin dan gerimis langsung menyapa ketika dirinya keluar dari mobil. Ammar menggerutu dalam hati kenapa tak membawa jaket sekarang dia kedinginan.

Setelah mengacak-acak rambut yang basah agar sedikit kering, ia mengetuk pintu. Namun, belum sampai ia ketuk pintu terbuka. Ilmira terbelalak melihatnya seperti melihat hantu sebelum cepat-cepat menetralkan ekspresinya. Ia segera menepi memberinya jalan untuk masuk.

"Njenengan duduk dulu. Saya panggilkam Uti sama Mbah Kung sama buatkan Njenengan minum." Ilmira meletakkan payung di kursi sebelum ke belakang. "Uti, Mbah Kung ada Mas Ammar di depan." Ia menyalakan kompor lalu menjerang air. "Mira mau bikin kopi, Uti sama Mbah Kung dibuatkan sekalian mboten?" tawarnya. Tangannya cekatan menyiapkan cangkir, meracik kopi, gula, dan sedikit bubuk kayu manis.

"Mbah Kung saja Uti ndak usah," sahut Mbah Putri menyusul suaminya ke depan sambil membawa singkong rebus yang masih panas.

"Ngeh." Tak berapa lama air mendidih. Ia menyeduhnya lalu menata di nampan untuk dibaw ke depan. Dalam hati ia bertanya-tanya, apa yang membuat pria itu kemari? Apa terjadi sesuatu pada mertuanya? Tapi mengapa beliau tidak mengatakan apa-apa padahal tadi siang mengobrol?

Dengan hati-hati Ilmira menyajikan kopi di depan Ammar dan Mbah Kung. Ia menyimpan nampan di bawah meja sebelum ikut duduk di samping Mbah Putri. Ilmira memperhatikan diam-diam penampilan Ammar yang tidak biasa. Dagunya berbayang. Cambang tipisnya perlu dicukur. Mungkin karena kesibukannya jadi pria itu belum sempat bercukur.

"Nduk, ndak jadi ke mushola?"

Pertanyaan Mbah Kung membuat Ilmira buru-buru meraih payung lipat di belakang Mbah Putri. "Jadi. Mira pamit dulu." Ia menyalimi nenek kakeknya dan Ammar. "Saya tinggal dulu ngeh."

"Hati-hati. Ndak usah lari. Jalannya licin," pesan Mbah Putri sebelum Ilmira menghilang di bawah hujan. "Dulu sebelum nikah kalo habis magrib bantu Umik Salama ngajar ngaji anak-anak kecil," jelasnya. "Dicicipi, Le. Adanya cuma singkong." Beliau mendorong piring kaca berisi singkong rebus. "Piye kabarnya orang tuamu? Baik to?"

"Alhamdulillah baik, Uti." Ammar mengambil singkong rebus itu. Mencuil pinggirnya sebelum ia makan. Gurih. "Singkongnya enak, Uti. Dibumbui apa?" tanyanya. Ia terus mengunyah panganan tersebut.

"Bumbu biasa saja ketumbar, bawang putih, gula sama garam. Apa lagi ya. Uti lupa. Nanti tanyao Mira. Dia yang bumbui. Enak ta?"

"Enak, Uti."

Obrolan terus terjadi sampai adzan Isya' menyela mereka. Nenek kakek Ilmira pamit ke mushola dan mempersilakan suami cucunya itu istirahat di dalam. Setelah kepergian mereka, Ammar ke kamar Ilmira.

Ia melepas kausnya karena masih setengah basah. Ammar ingat ada bajunya yang ketinggalan awal nikah kemarin. Ia membuka lemari kayu dan refleks mundur karena sebuah buku dan dua lembar kertas jatuh.

Dengan kening berkerut, ia memungut kertas tersebut, membaca isinya ... ini surat gadai tapi untuk apa Ilmira menyimpan sertifikat tanah Mbah Kung, kuitansi pembayaran, serta surat pernyataan lunas atas nama ayahnya?

Di tengah kebingungan Ammar, Ilmira membuka pintu. Wanita tersebut terpaku, matanya tak lepas dari tubuh Ammar yang sempurna. Perut kencang, dada bidang, dan ... ia segera menutup kembali pintunya, segera menyingkir ke dapur, mengambil air minum dan menegaknya hingga separuh. Astaga. Debaran jantungnya langsung berpacu begitu kuat. Parasnya seolah terbakar karenanya. Pasti wajah sangat merah.

"Nduk, ngapain di sini?" Mbah Kung masuk usai pulang dari langar. Beliau sudah berganti baju rumah.

Cepat-cepat Ilmira menormalkan riak wajahnya. "Mau panasin sayur, Kung." Ilmira menghidupkan kompor, menaruh panci sayur sop. Ia juga membuat telur dadar. Menyiapkan bahan untuk membuat sambel terasi.

"Sini biar Uti yang bikin sambel. Kamu panggil suami," perintah Mbah Uti. Beliau mengambil alih ulekan di tangan Ilmira.

"Ngeh." Ilmira meninggalkan dapur tapi berdiam di depan pintu kamarnya. Ia malu karena sempat melihat tubuh Ammar. Jantung kembali berdetak cepat sampai ia takut akan copot. Ilmira memejamkan mata seraya mengelus dada dan bergumam dalam hati agar tenang dan ....

"Ngapain di depan pintu?"

Ilmira sontak membuka mata. Bergegas mundur karena wajahnya hanya berjarak beberapa senti dari dada Ammar. Astaghfirullah. Lagi-lagi parasnya memerah dan ia tak berani menatap pria itu sebab akan ketahuan.

"Ngapain?"

"Oh ... itu ...." Astaga kenapa ia jadi gagap begini? "Itu eum ... itu Njenengan dipanggil Mbah Kung diajak makan." Ilmira langsung meninggalkan Ammar yang keheranan.

Salah satu alis Ammar terangkat melihat perilaku Ilmira yang lari ketakutan seperti melihat hantu. Ia pun ke dapur, duduk di sisi Mbah Kung. Mereka makan diselingi obrolan ringan. Ia bahkan tak sadar menambah nasinya karena hanyut dengan cerita Mbah Kung tentang zaman pemerintah Bung Karno.

Pukul sepuluh malam mereka masuk kamar masing-masing. Hujan membuat suasana lebih sepi dari biasanya. Ilmira bergerak gelisah di ranjang. Ia tak bisa tidur karena jantungnya terus bertalu dan ia takut jika Ammar mendengarnya. Lagipula kenapa malam ini detaknya berbeda padahal setiap hari mereka tidur satu ranjang? Ah gara-gara perut kotak-kotak Ammar ia jadi belingsatan begini.

Akhirnya Ilmira menyingkap selimutnya, menurunkan kaki di atas sandal jepit birunya. Pelan-pelan menarik diri dari kasur lalu ke dapur untuk membuat minuman hangat. Usai menyeduh teh dan jeruk nipis kemudian membawa ke meja makan. Duduk termenung dengan jari-jari berputar-putar di pinggiran gelas kaca yang berembun.

Obrolannya dengan Umik Salama terus terngiang di telinganya. Rasanya ia tak mungkin bisa bertindak agresif kepada Ammar. Pria itu begitu dingin, dinding esnya berlapis-lapis hingga butuh api yang sangat panas dan besar untuk bisa melelahkannya. Selain itu Ilmira bukan tipikal yang berani bergerak duluan jadi saran beliau tak mungkin bisa ia wujudkan.

"Ya Allah gimana caranya bikin Mas Ammar baik sama saya? Kalo nggak bisa bikin dia suka paling nggak dia ndak jutek gitu lho ya Allah. Biar bisa ngobrol-ngobrol ndak diem-dieman kayak orang asing." Ilmira meneguk tehnya. Ia membuka tudung saji, mengambil seiris telur dadar sisa makan malam.

Yang tidak disadari oleh Ilmira, Ammar mendengar omongannya. Pria itu sebenarnya terganggu oleh Ilmira yang tak bisa diam tapi memilih pura-pura tidur. Setelah wanita itu turun dari kasur, ia menghela napas lega. Ammar berpikir bisa tidur nyenyak setelah kepergian Ilmira nyatanya ia malah turun dari ranjang untuk ke dapur dan mendengar curahan hati Ilmira.

Apakah sebesar itu keinginan Ilmira untuk ia cintai? Bagaimana bisa secepat ini wanita itu memiliki perasaan padanya padahal dirinya selama ini tak pernah peduli padanya? Astaga. Namun, di sisi lain ia tersentuh oleh keinginan Ilmira. Bangga bisa membuat seorang wanita berharap banyak akan cintanya.

Tbc.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top