12

Update!! Siapa yang nungguin 🙈 cuzz baca wonder woman ku❤️

❤️❤️❤️

"Kamu nggak nyusul Mira, Mar? Sudah tiga hari. Nggak kangen?" Rasyid meletakkan secangkir teh hangat di meja makan. Menarik kursi untuk ia duduki. Ia terbangun karena perutnya sakit, setelah dari kamar mandi ia ke dapur membuat teh dan tak lama Ammar datang.

"Ayah kenapa setuju dengan pernikahan ini? Bukannya ini malah merugikan kita?"

"Kamu ini ditanya kok balik nanya." Rasyid menghirup uap teh dalam-dalam. Wangi dan pastinya nikmat di minum malam hari yang dingin. "Nggak ada alasan khusus, tiba-tiba iya saja. Kalo dibilang rugi ya rugi kalo dibilang nggak ya nggak. Dapet mantu kayak Mira kan rezeki, Mar. Wes anak e baik, sopan, ndak aneh-aneh. Telaten ngerawat ibumu. Ayah sih percaya saja kalo memang uang itu rezeki Ayah insyaallah pasti balik. Lagian rezeki nggak selalu berupa uang to?

"Oh ya, kemarin Ibu cerita pas istrimu dikasih gajinya ndak mau. Katanya juga mau nyicilin utang bapaknya. Ada-ada saja Mira kui. Cuma yang agak aneh itu kenapa Ayah nggak pernah tahu keberadaan Mira. Ayah pernah ke rumah orang tua Rusdi tapi ya kayak nggak pernah lihat. Rusdi nggak pernah sekalipun sebut-sebut Mira." Rasyid mendesah kecewa karenanya. "Ternyata berteman lama nggak jamin tahu semuanya. Kerasa beda betul Mira dengan kedua kakaknya."

Ammar setuju dengan pendapat Rasyid. Kalau dilihat-lihat Ilmira memang beda. Wanita itu begitu sederhana dan kalem, sedangkan kedua kakaknya lebih glamor, fashionable, dan pergaulannya berkelas. Dari segi pekerjaan pun jomplang. Hal yang membuatnya penasaran ditambah luka di punggung Ilmira. Kecelakaan model apa sampai membekas begitu? Terlebih letaknya yang tidak biasa.

"Ayah jadi kepikiran, apa Mira anak Rusdi dari istri lainnya makanya ikut orang tuanya?"

Ammar pun berpikir demikian—setelah merenung, berusaha meredam ketidaksukaannya pada Ilmira, ia mulai bisa berpikir jernih. Baginya terlihat janggal dengan perbedaan kondisi Ilmira. Andaipun menemani kakek neneknya pekerjaannya pasti tak jauh beda dengan kakaknya tapi ini ... terlalu banyak rahasia dari keluarga itu. "Kayaknya perlu dicari tahu, Yah."

"Coba, Mar, kamu cari tahu diam-diam. Ayah kok jadi penasaran. Siapa Mira sebenarnya. Di sini udah empat bulan lebih tapi ndak ada itu Ibu cerita istrimu pamit ke rumah orang tuanya. Pas ditanyai soal kakaknya atau ibunya ya kayak gimana gitu. Nggak pernah cerita-cerita soal keluarganya kecuali Uti sama Mbah Kungnya. Aneh to?" Rasyid jadi semakin penasaran dengan status Ilmira sesungguhnya.

Mungkin ayahnya akan semakin penasaran jika Ammar mengatakan Ilmira punya luka di punggungnya. "Nanti Ammar cari tahu, Yah."

Setelah menghabiskan kopi dan mencucinya, Rasyid kembali ke kamar. Namun, sebelumnya ia berpesan untuk menyusul Ilmira. Tidak baik menurutnya jika suami istri berpisah terlalu lama, akan membuka celah untuk orang lain masuk walaupun mereka baik-baik saja.

Ammar mengiakan tapi belum tentu menepatinya. Ia sebatas penasaran belum masuk ke tahap ingin mendekat meskipun terus kepikiran. Lagipula ia tidak mungkin jatuh hati pada wanita itu, sangat tidak mungkin karena Sova masih terus mendominasi hati.

Namun, Ammar seolah lupa bahwa Tuhan mampu mengubah mustahil menjadi mungkin. Ammar boleh sombong tapi saat semesta bertekad ia pun akan jatuh di bawah pesona Ilmira. Saat itulah ia akan menelan ucapannya sendiri.

###

"Hmm. Ada angin apa ini manten anyar dateng ke sini."

Ilmira tersenyum kecut mendengar sindiran Sheila. Ia memaklumi kemarahan temannya itu karena tak mengirim pesan atau meneleponnya sama sekali semenjak menikah. Ilmira menghampiri Sheila yang duduk bersila di kasur, terdapat buku di pangkuannya. "Jangan marah dong. Lama nggak ketemu masa marahan gini. Shel. Sheila. Ih Sheila." Ilmira menggoyang-goyangkan tubuh Sheila agar menghadapnya. "Sheila."

Dengan wajah tak bersahabat Sheila menghadap Ilmira. "Ya kamu! Habis nikah nggak ada kabar. SMS kek, vn kek, email kek. Ini malah ambyar," gerutu Sheila sambil menatap sengit.

"Iya. Iya maaf. Aku di sana lho jarang pegang hp, bantuin katering Ibuk. Kebetulan pas rame jadi lupa mau kirim wa ke kamu," terang Ilmira menangkupkan kedua tangannya di dada.

"Iya! Lain kali ngilango lagi nggak bakal tak maafin kamu."

Wanita berhijab ungu itu tertawa mendengar ancaman sahabatnya. Dia tahu itu hanya gertak sambal. "Kata Umik kamu mau nikah. Iya ta? Sama siapa?" Ilmira menaikkan kakinya ke ranjang, bersila di hadapan Sheila yang kini tengah mengulum senyuman. "Ganteng?"

Sheila mengangguk cepat. Pipinya bersemu merah karena malu. "Aku nggak nyangka lho dia itu inget padahal ketemunya nggak lama. Itu aja tempat duduk kita jauh lho. Eh kok tiba-tiba telepon mau ngajukan lamaran."

"Kamu mau?" Sheila mengiakan. "Alhamdulillah. Memang bagusnya kalo nikah dasarnya suka sama suka. Jangan kayak ...." Ilmira tak meneruskan kata-katanya. Ia tak bisa membuka masalah rumah tangganya pada Sheila. Semua sudah pilihannya jadi segala macam risikonya harus bisa ia telan sendiri.

Seolah bisa membaca hati Ilmira, Sheila meraih tangan sahabatnya itu, membawanya ke pangkuan Sheila. "Ada apa? Kenapa nggak diterusin ngomongnya?" Ia meneleng, mencoba membaca raut wajah Ilmira. Ia mengangkat dagu Ilmira yang menunduk sampai menatapnya. "Mau bercerita?"

Wanita di hadapan Sheila itu menggeleng, menarik udara dalam-dalam untuk mengisi rongga paru-parunya. "Nggak apa-apa." Ilmira menyunggingkan senyum menutupi kegundahan hatinya.

"Terus kapan rencananya pernikahan kalian? Aku diundang, kan?" Ia mencoba mengalihkan perbicangan tapi rupanya Sheila mengetahui niatnya. Temannya itu diam saja, melipat tangan di dada, dan memaku pandangan menuntut padanya. "Iya wes iya." Ia Ilmira menyerah. Mungkin karena sudah lama berteman makanya Sheila tak mempan dengan triknya.

"Mas Ammar nggak suka sama pernikahan ini. Tapi wajarlah siapa yang nggak marah disuruh nikah sama orang yang merugikan." Sepertinya Sheila bingung mencerna omongannya. Mengalir lah semua yang Ilmira pendam. Meskipun ini salah tapi dengan sedikit mengurangi resah di hatinya. "Aku ini ibarat uang suap biar ayahku dapet kelonggaran waktu bayar utangnya sama mertuaku. Jadi aku ini kayak jaminan gitu. Paham ndak?"

Sheila mengangguk. Ia baru tahu bahwa alasannya jaminan utang, pantas saja pernikahan tersebut dipercepat ternyata ... "Astaghfirullah! Ayahmu nggak ada tobat-tobatnya ya. Sudah gadaikan tanah Mbah Kung sekarang bikin pernikahan politik. Pengin banget hih gitu, Mir," ucap Sheila berapi-api.

"Tapi alhamdulilah sekarang suratnya sudah di aku. Kemarin terpaksa aku pakai tabunganku buat lunas. Untung banget Pak Sastro baik dibolehin dicicil kalo nggak ya gimana."

"Alhamdulillah. Eh tapi mertuamu baik kan sama kamu?" tanya Sheila yang seolah lupa akan kemarahan terhadap ayahnya Ilmira.

"Baik. Mereka baik banget cuma agak gimana gitu ya ngeliat Mas Omar. Nggak nyangka bener aku jadi kakak iparnya."

Melihat ekspresi Ilmira bercerita terlihat biasa saja, Sheila jadi tergoda untuk memancing pengakuan kawannya itu. "Jadi suamimu apa Mas Omar yang kamu pikirkan?"

Jika ditanya hal itu saat ini maka sudah jelas jawaban Ilmira adalah Ammar. "Aneh nggak sih, Shel, kalo sekarang aku lebih mikirin Mas Ammar? Maksudku apa terlalu cepet aku sayang sama dia? Padahal dia ya kayak gitu sama aku."

"Nggak. Semua itu wajar. Namanya suami istri dalam satu atap lambat laun bakal ada perasaan gitu. Tapi jadi nggak wajar kalo kamu masih mikirin Mas Omar yang jelas-jelas bukan suamimu," sahut Sheila bijak. "Tapi suami nggak main tangan kan sama kamu?" Ia menelisik paras Ilmira yang menggeleng. "Beneran? Jangan bohong lho. Kalo ada apa-apa biar Abah yang maju."

Ilmira menggeleng. "Nggak kok. Ndak mungkin berani soalnya ada Ayah sama Ibu."

"Terus kira-kira sampai kapan kayak gitu? Nggak mungkin kan selamanya? Lama-lama mertuamu curiga."

Pertanyaan Sheila membuatnya termenung. Sampai kapan? Entahlah. Ilmira belum memikirkan sampai mana batas kesabarannya menunggu kebencian Ammar padanya menjadi sebuah cinta untuknya. Ia tak ingin berandai-andai sebelum menjalaninya.

Tbc.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top