11
Teman Malming ngoahahah. Selamat membaca 😁
❤️❤️❤️
"Ibuk, saya izin nginap di rumah Uti ya," pamit Ilmira saat sarapan bersama. Kebetulan pesanan nasi sedikit longgar sebelum memasuki bulan besar-penanggalan Jawa-di mana banyak terselenggara hajatan menikah atau khitanan.
"Lho kok pamitnya sama Ibuk?" sahut Cindy yang tengah mengisi nasi di piring suaminya.
"Sama Mas Ammar sampun tadi malam. Katanya boleh. Iya kan, Mas?" Ilmira menoleh kepada Ammar, melempar senyum manis untuknya.
Pria itu membalas pandangan Ilmira bingung tapi kemudian mengangguk mengingat mereka harus pura-pura mesra di hadapan keluarganya seperti permintaannya. "Iya."
"Ya wes kalo sama Ammar boleh. Ke Uti diantar Mas-mu?" Cindy menuang air putih untuknya.
"Mboten. Rencananya naik ojek online saja, Bu. Mas Ammar lagi ada kerjaan yang ndak bisa ditinggal."
"Biar bareng aku aja. Kebetulan ada kiriman arah sana. Daripada bayar ojek mending bayar aku. Mayan buat beli bensin," sahut Omar sambil terkekeh. Lagipula ia juga pernah menawari Ilmira jadi ya sekalian saja menepati janjinya.
"Ayah rasa itu lebih baik," timpal Rasyid cepat. "Lebih tenang kalo yang antar keluarga sendiri."
Ammar bergeming tapi netranya tak luput menangkap tatapan Omar pada Ilmira-beberapa kali ia mendapati Omar memandang Ilmira dengan pandangan berbeda, seperti pria pada wanita. Dan sekarang ini adiknya terlihat bersemangat, hal itu membuat rasa penasarannya bergejolak. Ammar pun ingin tahu seperti apa Omar memandang Ilmira.
Jika hanya kagum tidak akan seperti itu menatap Ilmira, di mana binarnya begitu terang, seperti menemukan benda kesayangannya yang lama hilang. Jika hanya sebagai kakak ipar, tatapannya terlalu kurang ajar. Jadi apakah Omar memiliki perasaan pada Ilmira? Entahlah. Ammar hanya menebak saja. Namun, walaupun hanya tebakan asal-asalan tak pelak membuat hatinya berdetak tak nyaman. Seolah ritmenya tidak pas dan membuat kesal.
"Nginap berapa hari, Mir?" Cindy menelan obat dan pisang yang sudah Ilmira siapkan. Rasa-rasanya ia begitu beruntung mempunyai menantu yang begitu telaten dan sabar. Mengabdi pada keluarganya seperti anak sendiri.
"Belum tahu, Buk. Ada yang mau dikerjakan ta? Kalo ada yang keburu saya ndak nginap. Mungkin habis Ashar pulang."
Cindy menggeleng. "Lho nggak. Wong Ibuk cuma tanya kok. Kalo kamu lama di sana pasti Ammar nyusul. Manten anyar mana bisa jauhan lama-lama," godanya pada Ammar. Putra itu sedari tadi diam saja membuatnya gregetan. Masa istri mau menginap di rumah neneknya dibiarkan berangkat sendiri. Ammar benar-benar patung.
Rona merah di paras Ilmira, senyum malu yang tersembunyi saat dia menunduk, serta lesung pipi yang terlihat tak lepas dari pindaian netra Ammar. Gestur tubuh Ilmira yang tidak berlebihan, luwes, dan pada tempatnya membuatnya terlihat menarik.
Binar matanya pun begitu bersinar seperti tak menyimpan kesedihan. Ilmira seolah menemukan dunia di mana dirinya begitu disayang. Tidak hanya orang tuanya tapi juga Omar. Namun, dari semua itu mengapa ia justru terganggu? Mengapa ia tak suka jika senyuman wanita itu dinikmati pula oleh orang lain walaupun itu adiknya sendiri?
Astaga. Ia benar-benar sudah gila mempunyai perasaan aneh ini. Di mana kekerasan hatinya untuk tidak membiarkan wanita itu menyusup dalam hidupnya barang sedetik saja? "Aku berangkat dulu." Ia meninggalkan kursinya dan menyalami orang tuanya. Ilmira ikut di belakangnya untuk mengantarkan ke depan.
Tidak ada hal yang dibicarakan di antar keduanya. Ilmira tak lagi berusaha mengakrabkan diri pada Ammar. Ia tahu posisinya. Begitu pula pria itu, meskipun benaknya terus bermunculan pertanyaan yang cukup mengganggu.
###
Rasanya bahagia sekali Ilmira berada di rumah neneknya, selain karena rindunya pada mereka, ia merasa bebas tanpa takut apa yang ia lakukan menimbulkan persepsi salah. Ia meraih bantal tidurnya, menghidu aromanya dalam-dalam bagai obat penenang jiwa. Ilmira merebahkan tubuhnya kuat-kuat di kasur yang dingin. Ya Allah betapa nyamannya.
"Mir."
Ilmira bergegas bangun. Memakai sandal jepit dan berlari ke depan memenuhi panggilan Mbah Putri. "Ngeh, Uti."
Ia duduk di bale bambu sisi neneknya. Bale bambu itu terletak di belakang rumah tempat biasa mereka berbincang-bincang, melipat pakaian kering yang dijemur, atau duduk menemani nenek kakeknya memetik sayuran yang mereka tanam sendiri. Terkadang Ilmira tertidur di situ karena angin semilirnya membuat ngantuk-terdapat pagar tembok setinggi dada orang dewasa mengelilingi kebun mereka jadi aman.
"Sudah nggak ada yang dibantu ta kok nginap di sini?" Mbah Putri menyiangi daun bayam untuk masak besok pagi.
Tangan Ilmira cekatan meraih jagung manis dan pisau. "Sampun, Uti. Mira ndak berani kalo belum rampung di sana. Sampun izin Mas Ammar sama Ibuk juga." Ia memotong tipis-tipis jagung muda tersebut. Setelahnya mengambil kunci untuk ia kikis kulitnya dengan pisau.
"Nduk."
"Ngeh?" Ilmira menatap Mbah Putri yang tengah menatapnya pula. "Kenapa, Uti?"
"Kamu seneng?" Matanya memang sudah tua tapi masih awas menangkap keresahan dalam binar cucunya.
Ilmira mengangguk kuat-kuat, tersenyum meyakinkan neneknya. Ini pilihannya jadi sebisa mungkin menyembunyikan masalah yang dipunyainya. "Seneng. Semuanya baik, Uti. Mas Ammar ya baik, sabar."
Mbah Putri mengelus kepala Ilmira yang tanpa kerudung. Di rumah hanya ada mereka sedangkan Mbah Kung ke ladang. "Alhamdulillah. Uti sudah khawatir gimana kamu sama Ammar, soalnya yang Uti lihat dia kurang suka sama kamu."
"Mboten, Uti. Mas Ammar baik. Wajar kalo pertama kurang suka, namanya juga baru kenal tiba-tiba nikah, perlu pengenalan. Sekarang alhamdulilah sabar banget, Uti."
Mbah Putri mengiakan. Jika itu yang dikatakan cucunya tidak bisa ia mendebatnya, mungkin penilaian terhadap Ammar terlalu cepat dan salah. "Alhamdulillah. Oh ya kemarin Uti ketemu Umik pas ngelayat ke Bulek Katsun. Kamu disuruh ke rumahnya kalo pas ke sini," tuturnya sebelum membereskan sayuran yang sudah dibersihkan.
"Ngeh, Uti, nanti sore-sorean Mira ke sana. Mbah Kung kok belum pulang ya. Sudah mau dhuhur e. Tak susulin ke sana boleh ndak, Uti?" Ia mengikuti Mbah Putri ke dapur, membantu menggoreng tahu untuk kakeknya itu.
"Ndak usah. Paling sebentar lagi pulang," larang Mbah Putri. Ia membuka penutup dandang, memindahkan nasi panas ke bakul bambu sebelum menatanya di meja persegi yang tidak terlalu besar di sudut dapur. "Sheila kayak e mau nikah, Nduk."
"Lho kapan, Uti? Kok Sheila ndak cerita ya sama Mira. Dapetnya orang mana?" Ah akhirnya sahabat kecilnya itu menikah juga. Sejak menikah ia belum menghubunginya, Ilmira seolah lupa karena sibuk dengan permasalahannya sendiri.
"Kata Umik sama anaknya Kyai sapa gitu, lho. Ketemu sekali pas keluarga Umik diundang ke acara nikahan anaknya Kyai Pasuruan, terus pas puasa itu mereka silaturahim sekalian minta Sheila. Tahunya awas gosong."
Ilmira segara mengangkat tahu di penggorengan. Kakeknya tidak suka jika kering jadi setengah matang. Selain karena rasanya lebih enak, lunak, dan mudah dikunyah olehnya sebab gigi Mbah Kung sudah tidak lengkap. "Coba seh nanti Mira wa Sheila. Kok jadi penasaran."
"Iya telponen. Pas mampir habis anter Umiknya ke Dokter Retno bilang kalo hp-mu Ndak bisa ditelepon."
Usai menyiapkan piring dan kopi untuk Mbah Kung, Ilmira ke kamar. Ia mengeluarkan ponselnya. Ah pantas saja tidak bisa dihubungi ternyata baterainya habis. Ia pun mengambil charger dan mengisinya. Sambil menunggu gawainya terisi ia mengambil buku hariannya di laci meja rias.
Sudut bibir Ilmira tertarik lebar tatkala melihat fotonya bersama Sheila. Dia begitu anggun, kalem, dan cantik seperti penyanyi Siti Nurhaliza. Dia begitu beruntung terlahir di tengah keluarga yang begitu menyayanginya. Terkadang terselip rasa iri pada sahabatnya itu tapi kemudian Ilmira tersadar bahwa ia pun beruntung memiliki nenek dan kakek yang mencintainya meskipun tidak dengan ayahnya.
Ayah. Astaga. Ilmira meninggalkan buku hariannya begitu saja di meja. Ia menyambar ponselnya, memaksanya menyala untuk menghubungi seseorang. Astaghfirullah. Bagaimana ia bisa lupa kalau hari ini jatuh tempo untuk membayar lunas surat tanah milik Mbah Kung yang digadaikan ayahnya.
Tbc.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top