10
Yuhuuu! Zeyeng-zeyengku pada riweh di rumah kagak? Liburan ye kan. Selamat berlibur ♥️
♥️♥️♥️
"Buk, boleh saya masuk?" Ilmira mengetuk pintu kamar mertuanya sebelum membuka lebar pintunya. Ia pun masuk setelah diperintahkan. Ilmira duduk di samping Bu Cindy yang tengah melihat tayangan masakan Nusantara. "Ini laporan uang katering. Sudah saya tulis sesuai yang Mbak Diah ajarkan." Ia menyerahkan buku besar keuangan serta uang yang sudah rapi dalam tatanan sesuai nominalnya.
Cindy menerimanya, membaca, mencocokkan angka-angka di buku dengan nota belanja, dan menghitung uang serta labanya, termasuk gaji karyawan. Semua pas seperti yang tertulis. "Kamu ndak ambil?" tanya Cindy.
"Mboten, Buk."
"Kenapa?"
"Ngeh ndak apa-apa, Buk. Saya kan cuma bantu saja."
"Ini ambilen. Anggap saja ini gajimu. Kamu memang istrinya Ammar tapi di sebelah kamu tetap karyawan, jadi ya harus dapet gaji juga." Cindy memberikan beberapa lembar uang seratus ribu kepada mantunya. "Ndak usah ditolak nanti Ibuk mundak gelo (jadi sedih)."
"Tapi ini kebanyakan, Buk. Wong saya cuma bantu-bantu saja." Ilmira mengembalikan beberapa lembar uang itu tapi ditolak oleh Cindy. Ia pun menghela napas karenanya. "Saya ambil separuh saja ngeh, Buk." Untuk terakhir kalinya ia berharap mertuanya mau menerima uangnya kembali.
"Ya wes sini tapi besok ndak usah bantu ndek sebelah. Biar Ibuk cari yang lain saja." Jika Ilmira bisa keras kepala maka ia pun bisa lebih keras kepala dari wanita itu, terlebih persoalan hak yang memang harus diterima oleh Ilmira, jadi sedikit ancaman rasanya tidak apa-apa.
Ilmira pun memejamkan mata guna meredakan resah dalam hatinya. Mengapa Cindy harus berkeras begini? Sejujurnya hal seperti ini semakin mempersulit posisinya di mata Ammar jika pria itu tahu dan mengambil kesimpulan yang salah.
"Ngeh pun, Buk, tapi saya boleh tanya sesuatu?" Cindy mengangguk. "Kalo boleh tahu kenapa Ayah sama Ibuk mau saja dengan pernikahan ini sedangkan jelas-jelas dirugikan? Kan bisa saja saya juga berniat jahat wong ndak pernah ketemu Ibuk sama Ayah."
Wanita yang sudah tidak muda lagi itu diam. Termenung sejenak sebelum mengulas senyuman untuk Ilmira. "Heum. Apa ya, Nduk. Nggak ada alasan khusus sebenarnya tapi ya mungkin karena sudah dituntun Allah jadi gitulah. Ibuk sama Ayah itu pasrah saja, yakin, dan percaya apa yang jadi milik kami pasti jadi milik kami, termasuk pernikahan ini. Biarpun didasari utang piutang kami percaya bahwa ini memang jalannya jadi ya hanya perlu diikuti saja alurnya."
Cindy menyelisik wajah Ilmira yang terlihat gundah, entah apa yang tengah di pikirkannya tapi ia berharap menantunya kembali ceria seperti biasanya. "Nggak semua hal ada alasannya. Nggak semua hal juga harus di pikirkan atau diprediksi. Apalagi hal-hal yang nggak kita ketahui, hal-hal yang belum terjadi dan di luar jangkauan kita. Semua itu urusan Allah. Jadi ya cukup jalani sebaik mungkin, usaha, dan doa.
"Kalo misalnya nanti dapetnya yang busuk ya artinya Allah pengin kita belajar dari kejadian itu. Kalo dapetnya baik ya kudu banyak-banyak bersyukur, lebih yakin lagi sama Dia. Lebih melibatkan Dia dalam segala hal." Lagi-lagi Cindy menatap lamat-lamat raut Ilmira, entah mengapa binar matanya begitu sendu. Apa yang sebenarnya terjadi pada wanita di depannya ini? Apakah putranya berlaku buruk padanya? "Kenapa?" tanyanya.
"Mboten. Pengin tahu saja. Oh ngeh, Buk, saya ndak tahu berapa utang Ayah misalkan saya bayar dengan gaji saya boleh? Nanti saya tambah sama tabungan saya. Ndak banyak memang tapi sedikitnya ngurangi utang Ayah."
Bagaimanapun perlakuan ayahnya terhadap Ilmira dia tetaplah ayahnya. Lagipula dengan begini ia bisa menegakkan kepalanya di hadapan Ammar. Harga dirinya terselamatkan walaupun untuk melunasinya membutuhkan waktu lama.
Cindy tertawa mendengar ucapan Ilmira.
"Pripun to, Ibuk, niki (bagaimana Ibu ini) kok malah tertawa," protes Ilmira bingung.
"La kowe (kamu) lucu, Nduk. Utang bapakmu kui banyak, mau kamu cicil ya lama lunasnya."
Ilmira pun tertunduk lesu. Pupus sudah harapannya untuk mempunyai senjata untuk melawan Ammar tapi bila di pikirkan lagi, mampukah ia melawannya jika keadaannya tak berdaya seperti ini?
"Wes. Urusan utange bapakmu biar Ayah sama Ammar yang urus. Kamu ndak usah pusingkan hal itu. Umpamanya bukan karena utang itu pun kalo harus terjadi pernikahan ini ya tetap terjadi, Mir. Jadi ora usah digawe ngelu (nggak usah dibuat pusing)."
###
Ammar tertawa sumbang mengingat obrolan ibunya dan Ilmira di kamar yang tak sengaja ia dengar. Mencicil utang ayahnya katanya? Mau sampai dua puluh tahun pun belum tentu lunas. Lucu sekali tapi untuk apa dia susah-susah mengajukan permintaan pencicilan itu jika ia bisa hidup nyaman tanpa gangguan?
Sialan. Kenapa sekarang ia jadi sering memikirkan wanita itu? Apakah karena rasa bersalahnya? Tidak. Hanya pengecut saja yang menjadikan rasa bersalah sebagai tamengnya. Jadi apa? Cinta? Tidak. Itu tidak mungkin. Apa yang ia rasakan bukan cinta mungkin sedikit kepeduliannya terhadap Ilmira yang kadangkala terlihat muram—beberapa kali tak sengaja melihatnya menangis di kamar saat ia tidak ada atau tidur, pura-pura tidur tepatnya.
Ammar menjambak rambut panjangnya, mengacak-acak sampai lepas dari ikatannya, dan mengerang frustrasi. Astaga. Sebenarnya apa yang terjadi pada dirinya sampai-sampai terus menerus memperhatikan wanita itu diam-diam? Ada apa ini? Ke mana perginya kemarahan yang merasuki dirinya saat itu? Astaga.
"Kenapa, Mar? Kusut banget kayaknya." Imran masuk menyerahkan laporan keuangan bulanan dari beberapa swalayan milik Ammar. "Punya bini bukannya seneng malah kacau." Ia duduk di seberang Ammar.
"Nggak tahu juga ini." Ia menyandarkan punggungnya kuat hingga kursi yang ia duduki berayun maju mundur. "Kacau." Ammar menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya yang ia tautkan.
"Kacau itu ada penyebab, Cok."
Ammar menegakkan badan, menumpukan sikunya pada armrest untuk menopang kepalanya. "Tahu kan gimana ceritanya aku nikah sama dia? Nggak tahu kenapa jadi gimana gitu sama dia. Sering kepikiran gitu apalagi pas lihat luka di punggung dia. Kayak aneh gitu, Ran. Kenapa dia bisa punya luka sepanjang itu di punggung dan nggak cuma satu."
"Kalo penasaran kenapa nggak tanya dia. Eh tunggu ... katamu di punggung kan? Udah belah duren?"
Ammar berdecak. "Nggak lah. Nggak sengaja lihat pas dia mandi."
Kening Imran semakin berkerut mendengar jawaban Ammar. Mandi? Imran menatap pria di depannya ini dengan tatapan aneh. Apakah temannya ini mengintip istrinya mandi? Kenapa tidak ikut bergabung saja daripada mengintip?
"Sialan." Ammar melempar pulpen ke wajah mesum Imran. "Nggak seperti pikiranmu. Aku nggak tahu dia lagi mandi soalnya nggak ada suara air."
Imran mengangguk. "Ooo. Kirain ngapain gitu."
"Ndasmu! Makanya disapu itu otak biar nggak ngeres (kotor atau semacam berpikiran kotor) terus."
"Lho wajar laki-laki ngeres. Kalo nggak ngeres malah bahaya," bantah Imran. Tiba-tiba terlintas pikiran untuk menggoda Ammar. "Gimana pas lihatnya? Bikin adem panas nggak?"
"Nggak usah banyak tanya, Ran. Aku nggak ada niat kehilangan teman dalam waktu dekat ini." Sialan! Ingin rasanya Ammar meninju wajah Imran yang mesum itu. Berani-beraninya bertanya bagaimana tubuh Ilmira. Apa dia lupa siapa wanita itu?
Imran menyadari ancaman di balik ucapan Ammar. Dia hanya tersenyum dan semakin menggodanya. "Lho banyak tanya di mananya, Mar? Kan tinggal jawab iya apa nggak, beres urusannya."
Ammar memaku pandangan sengit pada temannya itu, begitu menusuk seolah dalam hitungan detik mampu membunuh lawannya.
"Ok. Ok. Saat pergi daripada iblisnya ngamok." Imran meninggalkan kursinya. Berjalan lenggang dengan tersenyum simpul. Sepertinya Ammar mulai menaruh hati kepada istrinya tapi masih belum mau mengakuinya. Tapi ya itu bukan hal aneh. Bertemu setiap hari pasti menciptakan benih-benih cinta di hati Ammar. Sama halnya dengan batu yang terus menerus terkena air, pada akhirnya akan terkikis pula.
Tbc.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top