Bab 5
Cermin buram itu menampilkan wajah Ellena yang tampak tidak segar. kulitnya menjadi kusam, lingkaran di bawah mata semakin kentara. Entah sudah berapa malam dia tetap terjaga hanya agar tidak mendapat mimpi itu lagi.
Ellena pernah mendengar 'kurang tidur dapat menyebabkan penurunan kemampuan dalam menilai suatu keadaan, atau menurunkan nalar'. Mungkin itu salah satu penyebab kenapa akhir-akhir ini Ellena tidak bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang hanya halusinasi.
Andai Ellena bisa, dia ingin sekali berkeluh kesah pada orang tuanya. Namun, itu tidak mungkin. Kejadiaan saat dia melukai Rena masih membekas di ingatan. Bahkan sampai saat ini pun Inggit masih membencinya. Perhatian Aditya pun menjadi sangat terbatas, hanya ketika Inggit tidak ada di rumah saja.
Ellena semakin mempertanyakan posisinya di keluarga Wijaya. Kenapa sedari kecil dia tak pernah mendapatkan kasih sayang Inggit sepenuhnya? Bahkan dia terlalu ingin mendapat belaian di puncak kepala, langsung dari tangan Inggit seperti yang selalu Rena dapatkan.
Air mata terjun melintasi pipi. Mengingat semua kejadian di masa kecilnya, Ellena semakin sadar bahwa dia tidak pernah diinginkan di keluarga Wijaya.
Brakk!!
Terperanjat. Ellena menoleh cepat pada asal suara. Angin membanting jendela bulat itu dengan keras. Dia lupa tidak menguncinya. Ellena mengayun kaki turun dari ranjang. Dinginnya ubin membuat kaki Ellena berjinjit.
Angin seolah mengajaknya bermain, membuka tutup jendela itu. Ellena menarik tepian kunci. Sekelebat bayangan hitam melintas dengan cepat di depan matanya. Sekarang Ellena tak lagi takut, dia sudah terbiasa melihat hal itu. Meski mungkin itu hanya halusinasinya saja.
Saat sudah berhasil mengunci jendela, Ellena kembali ke tempat tidurnya. Dia termenung di tepi ranjang, memikirkan apa yang terjadi padanya akhir-akhir ini.
Tak ... tak ... tak ....
Ellena menatap jendela yang sudah tertutup gorden. Beberapa kali dia merasakan kaca buram itu seperti diketuk-ketuk. Ellena menarik napas. Bangkit dan berjalan pelan menuju jendela. Dia meraba tengkuk lehernya, menelan liur untuk membasahi tenggorokannya. Semoga saja itu bukan sesuatu yang membuatnya bisa semakin gila.
Kamarnya memang berada di paling belakang rumah keluarga Wijaya, mengarah langsung ke kebun dan rerimbun bunga kertas.
Dia sudah sering melihat seorang perempuan berdiri di dekat rerimbun bunga kertas itu. Jika itu adalah hantu, apa yang makhluk itu inginkan darinya, harta? Untuk apa? Dia saja hidup serba pas-pasan.
Jika makhluk itu inginkan nyawanya, kenapa harus ditunda-tunda? Apa dia sengaja menunggu Ellena sampai benar-benar gila?
Ellena sudah berdiri di depan jendela yang terus diketuk dengan halus dan pelan. Apa perlu dia melihat siapa yang melakukan itu? Atau biarkan saja, mungkin nanti juga diam sendiri. Ellena memilih berbalik membelakangi jendela.
"Ellena ...."
Ellena segera berbalik dan menyingkap gorden dengan cepat. Sesaat kemudian dia menghela napas seraya menurunkan bahu. "Papa ...."
Dia membuka jendela, sehingga kepala Aditya menyembul dari sana. "Lama banget sih, papa pegal dari tadi berdiri terus di sini."
"Maaf, Pa. Aku nggak tahu. Aku kira hantu," dengkus Ellena.
"Nih." Aditya menganjurkan kantong kresek beserta satu botol air. "Ada makanan sisa buat kamu, papa tahu kamu pasti lapar."
Air mata Ellena terjatuh melewati pipi menyentuh tulang rahangnya, dia mengambil kantong kresek itu dari tangan Aditya. Bukan karena terharu, melainkan dia iba pada dirinya sendiri. Betapa malang nasibnya, sudah seperti kucing kampung saja dia diberi makanan sisa hampir setiap hari.
"Kalau bisa, kamu sisakan buat besok pagi, takutnya besok pagi kamu nggak dapat jatah makanan."
Ellena menghela napas. Beginikah nasibnya? Diasingkan oleh keluarga sendiri. Aditya sebagai kepala keluarga tak bisa bertindak apapun. Dia saja menumpang makan dari hasil jerih payah Inggit. Sejak tiga tahun yang lalu toko Aditya bangkrut kena tipu. Semenjak itu dia kerja serabutan. Sedangkan Inggit bekerja di pabrik teh yang pasti penghasilannya tetap stabil.
Ellena memandang kepergian Aditya. Berlalu tanpa satupun kata. Dia kembali menutup jendela itu dengan rapat. Lalu duduk dekat meja, menikmati sepotong roti coklat yang dia bagi menjadi dua untuk bisa disantap keesokan harinya.
Air mata terus mengucur dengan derasnya. Dia melirik jam di dinding yang menunjukkan hampir tengah malam. Terharu karena Aditya masih ingat padanya.
Setelah menghabiskan makanannya Ellena beralih ke atas ranjang. Dia mengambil buku sebagai bacaan untuk menghindari rasa kantuk. Dia juga memutar radio dengan volume yang sangat kecil agar tidak mengganggu yang lain.
Jarum panjang itu terus berputar ke kanan, sementara jarum yang paling pendek menunjukkan angka satu. Ellena tetap pada posisinya dengan mata terbuka. Saat dia melirik jam di dinding, tak sengaja Ellena melihat lukisan wanita yang selalu memberinya senyum lembut, namun penuh misteri itu. Jantungnya berdegup saat dia merasa larut dalam pandangan mata si wanita dalam lukisan itu.
Ellena segara berpaling. Kembali fokus pada bukunya. Namun, sesaat kemudian dia mendengar sebuah lagu yang membuatnya ingin membesarkan volume radio. Betapa lagu itu sangat teduh di telinganya.
Dan tiba-tiba saja mata Ellena membola, jantungnya berdebar dengan hebat, hatinya mulai resah. Ellena mencoba mematikan radio, namun radio itu terus menyala, reff kedua dari lagu itu tetap berputar menggema di telinganya berulang-ulang,
Aku menunggu dengan sabar
Di atas sini melayang-layang
Tergoyang angin menantikan tubuh itu.
Ellena menutup telinganya, memejamkan mata dengan kuat. Dia segera merebahkan tubuh, menarik selimut dan menutupinya hingga kepala.
Keresahan terus menyelimuti hatinya. Apa makna lagu itu, kenapa dia harus merasa terancam? Dalam jutaan kecemasan, Ellena terus terbawa, sehingga kesadaran jatuh dalam buaian kegelapan.
Riuh angin membawa Ellena terus berlari menghindari sesuatu yang dia sendiri tidak begitu menyadari kenapa dia harus berlari sejauh itu.
"Lari Ell ...." Seorang perempuan menyerunya. Ellena menoleh mencari asal suara, hanya pohon pinus berjejer, tegak menjulang. Ellena menengadah, langit tak menunjukkan jalannya. Ke mana lagi dia harus berlari.
"Sini Ell, mama di sini," teriak perempuan itu samar-samar.
"Mama?" Ellena terus mengedarkan pandangan. Resah, risau. Itu yang Ellena rasakan, benarkah itu suara ibunya. Lalu siapa Inggit?
"Mama!" Ellena berteriak sembari terus berlari.
"Mama di sini, Ell," suara itu kembali menggaung di telinga Ellena. Dia berhenti dengan napas yang terengah-engah. Bukan karena Ellena lelah, tapi karena dia resah. Rupanya ada mama selain Inggit.
Ellena memutar pandangan mencari sosok mama. Ke mana? Ke mana dia harus mencarinya. Betapa dia merasa hatinya benar-benar bertaut. Ellena menjatuhkan lutut ke tanah. Napasnya terengah sembari menengadah, mengadukan semua resah pada semesta.
"Mama." Gema suara Ellena memantul mengembalikannya kepada tanah yang dia pijak, seolah langit tak menerimanya. Ellena menangis tertunduk, dia tak ingin lagi menahan kesedihannya, semua pilu ingin dia lepaskan.
"Mama, ini Ellena. Ma ...." Yakin, Ellena benar-benar yakin bahwa itu adalah ibunya. Dia terisak, merintih sejadi-jadinya, seolah semua telah mengoyak hati.
Sepasang kaki berada tepat di bawah wajahnya, perlahan dia tengadah, seulas senyum membuat resah kembali membuncah. Ellena beringsut mundur menghindari laki-laki itu. "Pulang yuk, di sini tidak baik untuk kamu." Dia mengulurkan tangan di depan wajah Ellena.
"Tidak!" teriak Ellena. Dia menatap ke arah Aditya penuh murka. Inggit dan Rena ke luar dari punggung pria itu.
"Lari Ell." Suara itu kembali menggema. Ellena berdiri. Dia menoleh ke belakang, senyuman lembut menyapa hatinya yang sunyi. "Ikut mama, yuk!" Dia melambaikan tangan pada Ellena.
Ellena memiringkan wajah. "Mama?"
Perempuan itu mengangguk. Ingin dia peluk rindu yang selama ini jauh terhalang waktu.
Ellena kembali menoleh pada Aditya, Inggit dan Rena. "Jangan Ell, jangan pergi dari kami." Aditya memohon. "Terlalu berbahaya!" teriaknya saat melihat tangan Ellena sudah digenggam erat oleh perempuan itu.
Ellena menoleh pada mereka, sementara kaki terus melangkah mengikuti perempuan yang menarik tangannya.
"Ellena ...."
Ellena terperanjat dari tidurnya, dia tercenung memikirkan mimpi yang baru saja dia lewati. Napasnya memburu, peluh terus membasahi kening. Cahaya matahari mengintip dari balik jendela.
"Ellena?"
Ellena terkesiap.
"Ellena?" Aditya terus memanggil sembari mengetuk-ketuk pintu kamar. "Ell?"
Terhuyung, Ellena berjalan menuju pintu. Dia membuka selot, menatap wajah Aditya yang terlihat panik. Sementara Inggit berdiri di sebelah Aditya memasang wajah kesal, kedua tangan dilipat di dada, menatap Ellena dengan sinis.
Aditya memegang kedua pipi Ellena. "Papa dengar kamu nangis, teriak-teriak memanggil mama. Kamu nggak apa-apa, 'kan?" Aditya terlihat sedih, belum pernah dia mendengar suara tangis Ellena yang membuncah.
Ellena menggelengkan kepala.
Sementara Inggit berdecak. "Kamu ngapain sih? Udah pagi begini masih tidur, mana berisik lagi," omelnya.
Ellena tak ingin menanggapi perkataan ibunya itu. Tapi tunggu ... Ellena tidak yakin kalau Inggit adalah ibunya.
"Duduk yuk!" Aditya menarik tangan Ellena dan mengajaknya duduk di tepi ranjang. Sementara Inggit tetap berdiri di ambang pintu. "Cerita sama papa. Berkeluh kesahlah karena papa ini papa kamu, keluarga kamu." Aditya menepuk punggung tangan Ellena. Jangan pernah kamu memendam semuanya sendiri."
Air mata tak terelakan. Mimpinya benar-benar seperti nyata. Ellena menarik napas. "Kalau mama Inggit itu mamaku--" Ellena memberi jeda pada ucapannya sembari menatap Inggit, "lalu dia siapa?" Lalu beralih dan tangannya menunjuk lukisan di dinding.
Aditya terkesiap, dia menatap lukisan itu. Kemudian dengan cepat dia kembali menoleh pada Ellena. "Bukan siapa-siapa, Ell. Itu hanya lukisan usang."
"Aku bermimpi, wanita itu mengaku mamaku dan dia membawaku dari kalian." Singkat, padat dan Ellena berharap apa yang dia katakan pada Aditya cukup jelas dan mudah dipahami.
"Tidak. Ini tidak benar." Aditya bengkit. Dia berjalan pada lukisan tersebut. Melepaskannya dengan kasar, hingga paku yang tertancap di dinding ikut terlepas.
"Jangan, Pa." Ellena menahan tangan Aditya.
"Nggak ada gunanya, kamu nyimpen ini." Aditya menjatuhkan lukisan itu dengan kasar, lalu menginjaknya tepat di bagian wajah dan senyum lembut itu.
Mulut Ellena terbuka. Dia menjatuhkan bokong dan menahan kaki Aditya. "Kenapa papa lakukan itu?" Ellena kembali meratap.
"Papa tidak suka, kamu menyimpan lukisan tidak berguna ini."
Ellena bangkit. "Memangnya dia siapa?" Pertanyaanya tak dihiraukan Aditya. Pria berkumis tipis itu pergi meninggalkan berjuta pertanyaan di benak Ellena.
Inggit terperangah menyaksikan apa yang dilakukan Aditya, kenapa suaminya itu harus marah? Inggit merasa ada yang sedang disembunyikan dari mereka. Dia pergi mengikuti Aditya.
Air mata Ellena terjatuh mengenai lukisan yang sudah hancur itu. "Papa nggak bisa biarkan aku terus-terusan seperti ini." Ellena memungut lukisan tersebut. "Aku akan cari tahu siapa dia dan apa hubungannya denganku."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top