Bab 3

Angin berembus menerbangkan gorden yang menutupi jendela bulat dengan kaca buram sebagai penutup untuk menghalau angin. Sementara Ellena tak begitu peduli dengan angin yang semakin kencang menerbangkan gorden putih itu. Di sebelah jendela, Ellena menggantung sebuah lukisan, sementara jam dinding di pasang di atasnya.

Waktu menunjukkan pukul 10 malam. Aditya baru saja selesai memasang risbang single itu di pojok seberang jendela. "Yang penting kamu sekarang bisa tidur." Dia menepuk-nepuk kasur dan bantal itu.

"Makasih ya, Pa."

Aditya menguap, sepulang kerja dia bahkan belum sempat menikmati teh hangat. Rena dan Inggit sudah lebih dulu tidur. Sejak pulang dari kota satu jam yang lalu, mereka langsung beristirahat tanpa ingin tahu kesibukan Aditya dan Ellena.

Tiba-tiba lampu kamar mati membuat ruangan gelap seketika, hanya ada sedikit cahaya dari dapur. Aditya menekan saklar berulang kali. Dia mendengkus. "Sepertinya rusak Ell."

"Yaah ...." Bahu Ellena turun. Tidak mungkin dia belajar dalam keadaan gelap. "Besok ulangan, Pa."

Aditya menoleh pada Ellena yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri. Dia menarik napas dan mengembuskannya kasar. Aditya benar-benar sudah sangat lelah. Dia berjalan menuju meja, memasang kabel panjang agar bisa menyalakan lampu belajar yang diletakkan di atas meja dekat risbang.

"Udah."

Ellena bersorak. Dia membawa kursi dan meletakkannya di depan meja.

"Papa tidur, ya." Aditya mengusap puncak kepala Ellena.

Ellena mengangguk pelan. "Makasih ya, Pa."

Pintu yang Aditya tutup kembali terbuka. Ellena terkesiap. Dia berjalan menuju pintu dan mencoba menutupnya. Namun pintu tak juga tertutup, hal itu malah mengeluarkan bunyi derit yang mengganggu telinganya.

Ellena menggelengkan kepala. Sesaat dia berpikir dan teringat dengan peti alat lukis yang dikeluarkan. Mungkin saja bisa dimanfaatkan untuk menahan pintu. Tergopoh Ellena keluar, sesaat kemudian dia kembali dengan peti itu.

Dia membasahi tenggorokan karena pintu sudah tertutup dan sulit dibuka. Dia terus menggerak-gerakkan kenop yang macet. "Astaga." Padahal Ellena sudah benar-benar lelah. "Kenapa harus macet sih?"

Ellena tak mungkin meminta bantuan ayahnya lagi. Dia menghela napas dan mengeluarkan tenaga sebesar-besarnya. Sial! Pintu itu malah terbuka dengan mudahnya. Percuma saja tenaga yang Ellena keluarkan, hanya terbawa angin.

Dia mendorong peti agar bisa masuk ke kamarnya, tak lupa dia menahan pintu dengan peti itu. Ellena berkacak pinggang sembari menghela napas. "Leganya."

Setumpuk buku menantinya di atas meja. Cahaya lampu memberi terang hanya di sekitar meja saja. Ellena terseok mendekat ke arah meja. Dia mendaratkan bokong di kursi.

Baru satu halaman dia sudah melenggut di depan buku. Akhirnya Ellena menyerah. Pindah ke atas kasur dan merebahkan tubuhnya, lalu menarik selimut hingga dada.

Desau angin menyentuh dedaunan yang terkena tetesan air hujan. Menggoyangkan dahan-dahan pohon pinus yang tinggi menjulang. Langit diselimuti awan hitam yang pekat. Gelegar petir membuat seorang wanita menutup kedua telinganya.

Ellena yang berdiri tak jauh dari tempat itu, tersenyum melihat apa yang dilakukan wanita itu persis seperti apa yang dilakukannya setiap mendengar suara petir.

Suara kaki berlari di rumah kayu itu terdengar jelas di telinga Ellena. Dia berjalan cepat mencari wanita bergaun putih dengan renda di tepian bawahnya. Ellena tersenyum saat melihat sepasang kaki tak tertutup gorden. Perlahan tangannya terulur, hendak menyingkap gorden itu.

Detik terasa melambat ... tepian ujung gorden mulai terbuka. Ellena menyingkapnya dengan gerakan lambat kemudian cepat. Namun, ia terkesiap, jantungnya mencelus karena wanita itu tidak ada di sana.

Sepasang kaki kembali berlari melewatinya. Ellena hendak memanggil, telapak tangannya sudah teracung ke depan. Sekilas dia melihat wanita itu bersembunyi di bawah ranjang. Kali ini Ellena akan menemukan wanita berambut cepol rapi dengan belahan di tengah yang menunjukkan kulit kepala putih diantara hitam legamnya surai itu.

Ellena berjalan tergopoh-gopoh mengikuti wanita itu. Suara tipis terus membelai telinganya. "Ellena cari aku." Deru napas wanita itu begitu memburu.

Perlahan Ellena menekuk lutut hendak mencarinya di bawah ranjang. Tubuhnya mulai turun begitupun dengan kepalanya.

Ellena terkesiap bersamaan dengan mata yang terbuka lebar. Dia menarik napas dalam-dalam, peluh terbit di bagian keningnya. Mimpinya benar-benar seperti nyata. Ellena membuang napasnya kasar. Dia berbalik menghadap kanan. Lukisan wanita yang terpasang di dinding itu seolah tersenyum menatapnya.

Ellena menyipitkan mata, memperjelas pandangannya. Dia terus menatap lukisan itu lekat-lekat. Ellena yakin perempuan dalam lukisan itulah yang ada di mimpinya.

Dia kembali menarik napas dan membuangnya. Mendadak telinga Ellena menjadi tajam. Seolah dia mendengar suara napas yang terengah-engah tepat di bawah ranjang. Ellena menggeser bantal dan menempelkan telinga ke kasur tipisnya.

Napas itu semakin terdengar memburu. Mata Ellena membola. Dia menutup mulut menahan napasnya. Debaran di balik rongga dadanya sudah bertabuh dengan kencang. Tangannya merayap mencari selimut yang seharusnya ada di atas pinggulnya.

Mendadak hawa dingin menjalari tubuh hingga dia merasakan bulu romanya meremang. Ellena mencoba memejamkan mata kuat-kuat. Dia pura-pura tidak mendengar apapun dan menutup kepalanya dengan bantal. Hingga deru napas semakin kencang dia rasakan dan suara tipis itu kembali menggema terbawa angin. "Ellena cari aku."

Waktu menunjukkan pukul dua malam. Ellena menangis menahan rasa takutnya. Dia menarik napas dan mencoba menurunkan kepala, sementara tubuhnya tetap berada di atas ranjang. Rambut panjangnya terurai menyentuh lantai, mata Ellena masih terpejam sedangkan wajah sudah menghadap kolong ranjang.

Entah kuat atau tidak untuk melihatnya. Ellena merasa frustasi. Namun, perlahan tapi pasti matanya terbuka. Seketika jantungnya mencelus, karena hanya gelap yang dia lihat.

Ellena merubah posisi dengan cepat. Dia duduk di sudut ranjangnya. Menangis dalam diam. Tiba-tiba dia merasa kepalanya berdenyut nyeri. Sungguh dia tidak ingin percaya pada hal-hal seperti itu. Tapi apa yang dialaminya barusan terasa begitu nyata.

Ellena ingin menjerit, tapi dia merasa mulutnya terkunci. Ingin dia percaya bahwa mimpi hanyalah bunga tidur. Namun--

Dia tertunduk memegangi kening. Air mata terus saja keluar. Siapa yang harus dia teriakan? Mama?

***

Ayam berkokok sedari tadi. Bahkan sebagian suara kendaraan bermotor sudah lalu lalang di depan rumah yang kebetulan menghadap jalan setapak.

Suara sudip mengaduk-aduk nasi goreng di atas wajan begitu berisik, seolah Inggit sengaja membuat kegaduhan.

Prang ... dia menutup panci sayur dengan kencang.

"Apa sih Ma, kok marah-marah?" Aditya mendekat dan menarik kursi.

"Papa tuh ngurus anak nggak ada gunanya banget sih? Bukannya bantuin di dapur, siapin makanan, jam segini masih aja tidur," omel Inggit.

"Siapa? Rena?"

Inggit menoleh dengan cepat. "Hei, Rena itu anak kita. Inget ya Pa, nggak boleh perhitungan sama anak." Inggit menegaskan.

Aditya mengernyit. Dia menarik napas. "Ellena juga anak kita, Ma."

Inggit menjatuhkan sudip besi itu dengan keras di atas wajan. Suara yang dihasilkan membuat Aditya terkesiap.

Inggit melangkah dan kakinya menekan lantai dengan kuat. "Inget Pa. Dia itu anak pungut," ucapnya dengan gigi yang bergemeretak

Aditya mengangguk-anggukan kepala. "Iya-iya. Nggak usah diingetin lagi."

Inggit membuang muka. "Kali aja Papa lupa," dengkusnya.

Ellena keluar dari kamar yang langsung menghadap ke dapur. Aditya salah tingkah, takut kalau Ellena mendengar apa yang dikatakan Inggit.

"Ell, mau mandi ya?"

Ellena berhenti di depan Aditya. Namun, dia tak menoleh, manik hitam itu menatap lurus ke depan. Pandangan mata tak mengisyaratkan apapun, hanya ada kekosongan. Warna gelap melingkar di area mata, wajahnya pucat pasi, redup tak berseri.

Aditya merasa terheran-heran dengan keadaan Ellena. "Ell?" Dia memiringkan wajah menatap anaknya. Namun, Ellena seperti tidak melihat ada Inggit dan Aditya di sana. Bahkan dia merasa sunyi, meski dari tadi Inggit membuat kegaduhan. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top