Bab 18( Rahasia)


Mentari bersinar menerangi bumi, menghangatkan semua penghuni di seluruh tempat yang tersinari olehnya. Kicauan burung bersenandung indahnya. Seperti hari-hari indah yang akan didapatinya. Apa benar setelah hujan akan ada pelangi?

Leony berharap semua yang dilakukannya bisa mengurangi rasa bersalahnya, walaupun dia tidak mendapatkan maaf dari teman-temannya.

Pengobatan rutin pada Oliveria sudah berjalan seminggu yang lalu. Begitu juga terapi pada Rea mulai diperketat.

Hari minggu ini, Leony ingin membuat masakan yang enak buat Rea dan Oliveria.

Pagi sekali Leony sudah bangun tidur. Segera bersiap dan turun ke arah dapur, melihat mamanya duduk di kursi meja dapur.

Tangan Hanita menopang dagu, raut wajahnya sangat pucat menyinari kelelahan. Leony memperhatikan dari dekat. Tak ingin mengganggu istirahatnya Hanita. Jadi dia menunda acara memasaknya.

Perlahan Hanita membukakan matanya, berkedip beberapa kali untuk menetralkan penglihatan pada Leony lalu Hanita memberikan senyum mesra pada Leony.

"Mama, letih ya?" tanya Leony yang masih duduk di samping Hanita.

"Mama cuma anemia, lagi pula Mama sudah minum obat buat tambah darah kok." Hanita bangun dari duduknya berjalan ke arah kulkas.

Hanita dengan cekatan mengeluarkan bahan yang akan dimasaknya dan Leony. Sekarang Leony lah yang lebih sering bermain di dapur.

"Sayang, kamu hari ini mau masak apa ke Rea dan Oliveria?" Hanita membuka kulkas melihat bahan yang tersedia.

"Apa saja boleh, Ma." Leony sedang menyediakan alat untuk menyiapkan bahan di dekat wastafel.

"Kebetulan ada kubis sama baso ikan, kita masak sup baso ya? Jangan lupa bawain Zeroun juga! Ah ...." tiba-tiba Hanita memegangi pergelangan kakinya dan berjongkok di dekat kulkas.

"Iya, Ma. Mama kenapa?" Leony segera menoleh dan berlari ke arah mamanya.

"Sendinya tiba-tiba nyeri, mungkin karena Mama sudah tua kali. Hahaha …." Hanita mencoba menenangkan Leony dengan senyumnya.

"Mama masih muda, masih cantik. Ya sudah, Mama istirahat saja biar aku yang masak." pujian Leony sambil memapah mamanya duduk kembali di kursi dapur tadi.

"Iya, kamu ikuti saja langkah yang Mama kasih tahu." Hanita mengintruksikan sambil mengelus sendi pergelangan kakinya.

"Sip." Leony menoleh dan memberi jempolnya pada sang mama tercinta.

Leony mulai memasak sesuai intruksi Hanita. Setelah selesai dia memasuki sup baso ke thermal, supaya supnya tetap hangat.

Sambil menunggu kedatangan Zeroun, Leony bersama Hanita duduk santai di ruang tamu.

"Ma, kalau tetap tak enak badan istirahat saja. Biar besok kita ke dokter."

"Iya, Sayang. Kamu ya sudah kayak nenek-nenek cerewet dan bawel." Hanita sambil mencubit pipi Leony.

"Kan untuk kesehatan Mama juga." Leony sambil mengelus pipi merahnya bekas cubitan mamanya.

"Iya–" ucapan Hanita terpotong saat ada suara klakson dari luar.

"Ah … sepertinya Zeroun sudah datang. Ma, aku pergi duluan." Leony dengan semangatnya langsung menciumi pipi Hanita dan menyambar tas yang berisi sup basonya.

Setibanya di teras, Zeroun melambaikan tangannya pada Hanita. Leony yang baru tiba di depan mobil langsung ikut menoleh dan melambaikan tangannya pada Hanita.

Hanita segera berbalik dan langsung memasuki kamarnya istirahat.

"Sepertinya aku terlalu lelah akhir-akhir ini," gumamnya sambil membaringkan tubuh lelahnya di kasur.

~***~

Di dalam perjalanan menuju rumah sakit. Leony menatap Zeroun dan tersenyum lembut.

"Zeroun, ini untukmu dan terima kasih." Leony menyerahkan satu thermal pada Zeroun.

Zeroun yang sedang menyetir menoleh sekilas. "Apa itu? "

"Kata Mama sup baso kesukaanmu juga." Leony menjelaskannya dan Zeroun mengangguk sambil tersenyum.

"Jadi ini kamu yang masak ya?" Zeroun penasaran, masakan yang tiap pagi dia makan sebenarnya siapa yang buat.

"Tentu donk, aku kan belajar langsung sama Mama." Leony membanggakan dirinya dalam hobi memasaknya.

Zeroun tersenyum senang, ingin segera menyantap makanannya. Perutnya sudah mulai mendemo minta menikmati sup baso yang lezat dari orang tersayangnya.

Tak lama mereka tiba di perkarangan rumah sakit, Leony turun di lobby. Sedangkan Zeroun membawa mobilnya ke parkiran.

Setelah siap memarkirkan mobilnya, Zeroun membuka tutup thermal dan menikmati makanan dari seseorang yang memenuhi hatinya.

Leony memasuki lift menuju lantai tempat rawat inap Rea dan Oliveria berada. Kali ini dia duluan ke kamar Rea.

Kamar Rea yang tak tertutup rawat memberi celah, Leony yang siap mendorong terhenti.

Melirik dari celah pintu, Rea berjalan dengan dua kaki tanpa tongkat pembantu. Leony menutup mulutnya dengan telapak tangannya.

Apa alasannya Rea membohongi semua orang, padahal dia telah sembuh?

Leony memutar arah, dia memutuskan menyimpan rahasia ini. Menanti Rea untuk jujur padanya.

Leony berjalan ke arah kamar rawat Oliveria, mendorong masuk ke dalam.

"Pagi, Oliv," sapa hangat Leony pada Oliveria yang sedang duduk di dekat jendela sambil berjemuran dan mendengar lagu kesukaannya.

Oliveria menoleh melihat bayangan gelap mendekatinya. Bentuk tubuhnya, suara, dan aromanya adalah sesuatu yang familiar baginya.

Oliveria tersenyum ke arahnya. "Ony, kamu bawa apa?"

"Kamu bisa melihatku?" tanya Leony gugup.

Oliveria menggeleng pelan. "Hanya nampak bayang hitam, tapi dibanding  empat bulan yang lalu. Sekarang lebih mendingan bisa melihat bayang hitam."

"Baguslah ada kemajuan, kemarilah minum sup baso yang aku buatin untukmu." ajakan Leony langsung ditanggapin Oliveria.

Oliveria memang tak nampak jelas, tapi dia menggunakan tongkat penunjuk arah. Sekarang dia sudah mulai terbiasa dengan keadaannya.

Setelah selesai dengan Oliveria, Leony pamitan pulang. Saat di lorong menuju kamar Rea, Leony bertemu dengan Dokter Faiz yang sedang berkunjung ke tiap ruang pasiennya.

"Om Faiz, "panggil Leony sopan.

"Ah … Leony, gimana kabarmu dan orangtuamu? " mereka bersalaman.

"Baik, Om Faiz. om, apa kabar?" Faiz tersenyum ceria.

"Tentu saja baik, datang menjenguk temanmu." Leony hanya mengangguk.

"Pasien atas nama Oliveria pemulihan sangat efisien, diperkirakan tak lama lagi penglihatannya akan pulih total." tanpa diminta Leony langsung dijelaskan Faiz.

Faiz menepuk bahu Leony pelan dan menyemangatinya. "Hadapi masalahmu, jangan menghindar lagi."

Leony tersenyum dan mengangguk pelan. Lalu Faiz kembali melanjutkan kerjanya. Leony merenung perkataan Faiz.

'Jika Oliveria sudah dapat melihat dan mengetahui Ony adalah aku, apa reaksinya? Apa dia masih membenciku?'

Dengan pikiran yang memenuhi tentang reaksi Oliveria. Leony berjalan menuju kamar Rea.

'Bagaimanapun dia tak boleh tahu hal ini. Seperti Rea.'

~***~

Hanita yang baru bangun dari istirahatnya sekarang sedang memasak di dapur, memasak makanan kesukaan Leony dan suaminya untuk makan malam.

Leony sedang pergi usai makan sarapan saat ia kembali berbaring di kamar, istirahat yang banyak masih terasa belum cukup bagi Hanita, kepala yang terasa berat membuatnya ingin tumbang. Namun, ia tak mau itu menjadi pertanyaan puteri dan suaminya, mereka tak boleh tahu soal ini.

Hanita memasukkan potongan wortel ke dalam panci, pandangannya berbayang, dan seketika ia memegangi meja dapur.

"Pandanganku … kenapa mengabur banget ya, apa mungkin aku kelelahan?"

Hanita pun duduk di meja dapur, ia mengambil air mineral dan segera meminumnya. Tangannya pun menjadi tremor, ia pun memeganginya dengan tangan yang lain.

Saat akan berdiri, karena air rebusan sudah mendidih, sesuatu menetes dari hidungnya. Hanita merabanya, cairan merah dan kental itu ada di tangannya.

Segera ia menyambar tisu di meja makan, beberapa lembar dan menyumpalnya dengan kepala menengadah.

"Apa yang terjadi padaku? Tampaknya aku harus segera periksa ke dokter."

~***~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top