-07-

Hari ini cukup sudah tenaga yang dikeluarkan untuk mendekati sang target. Anila berjalan gontai di atas rerumputan taman, sesekali membuang napas lelah. Ternyata sesulit itu mengejar seorang cowok, padahal sewaktu SMA dulu kebanyakan pria berusaha meluluhkan hati para gadis.

"Gue nyesel pernah sok-sokan cuek sama cowok-cowok. Susah banget ya ampun," keluh gadis bermata bulat itu sembari mendudukkan diri di salah satu kursi beton.

Kedua netra sibuk mengamati sekitar. Taman di Fakultas Keolahragaan jauh lebih rindang daripada taman di fakultasnya. Dia jadi betah berlama-lama di bawah pohon lindung. Di posisi ini dia dapat melihat lalu lalang mahasiswa sedang bercengkrama satu sama lain.

Dalam pengamatannya para pelajar fakultas ini terlihat sangat santai. Bahkan Anila masih bisa mendengar gosip-gosip dari tiga mahasiswi tak jauh dari posisinya. Dia pikir kebanyakan mahasiswi di sini adalah gadis tomboi yang tak pernah ambil pusing mendengar cerita dari mulut ke mulut.

Dia berdecak. "Ck, gosip emang melekat banget sama kaum hawa," gumam gadis itu.

"Eh, eh. Lo tau Kak Jendra dari kelas 16-KL-2, kan?"

Anila refleks menajamkan pendengaran saat mendengar nama Jendra disebut oleh salah satu dari tiga cewek tadi. Meskipun tidak suka bergosip, tetapi mengetahui tiap detail targetnya adalah hal yang cukup membantu.

Perlahan dia menegakkan punggung, mengambil ancang-ancang untuk mendengarkan percakapan tiga serangkai tersebut.

"Yang ganteng, tinggi, tapi gak tau main basket itu?"

Tidak tahu mengapa, Anila malah ingin tertawa kencang saat mendengar fakta bawah Jendra tidak tahu bermain basket. Ujung matanya semakin menjeling agar bisa melihat reaksi dari tiga orang di sana.

"Gak tau main basket?"

"Iya. Andaikan dia gak cuek udah gue gebet, mana ngomongnya suka tancap gas."

"Gue udah lambaikan tangan ke kamera. Pernah dulu gue coba ngejar malah gak welcome."

Secuek itukah Jendra? Anila membuang napas panjang. Seumur-umur dia baru mendapatkan tipe cowok seperti targetnya dan jujur saja dia adalah tipe orang yang tidak bisa bertahan lama dengan orang cuek.

"Gue gak boleh nyerah." Tangannya mengepal, mengangkatnya tinggi-tinggi seraya berteriak, "Gak boleh nyerah."

Sejurus kemudian banyak pasang mata mengarah padanya. Mereka menatap aneh tingkah Anila dan juga merasa asing dengan wajah gadis itu. Sadar akan tingkahnya, Anila menurunkan tangan serta kedua netra menyusuri sekitar taman, sangat canggung. Cengiran kuda lantas tercipta. Detik berikutnya gadis itu langsung lari terbirit-birit meninggalkan fakultas tersebut tanpa memikirkan orang-orang yang melihatnya.

Bukannya pulang, Anila malah memilih  menghabiskan waktu bersama Mia dan Dikta di kantin ketika tidak sengaja mendapati kehadiran mereka. Dia pikir kedua sahabatnya sudah berada di rumah masing-masing.

Dikta menutup buku tebal yang sudah dibaca sampai setengahnya, lalu menyeruput secangkir kopi hingga tandas.

"Dari mana, Nil?" Setelah beberapa menit tidak ada yang bersuara, cowok berambut hitam tersebut memilih merobek hening di antara mereka bertiga.

Sembari meringis gadis itu berucap, "Nyamperin Kak Jendra."

Helaan napas dari kedua sahabatnya kompak terdengar. Mereka sudah memperingatkan dan telah berjanji pada diri masing-masing agar mendukung setiap langkah yang akan Anila pilih. Namun, tetap saja terasa berat, apalagi Dikta. Cowok itu memijat pangkal hidungnya, harus bagaimana menjelaskan sikap kakak tirinya kepada sang sahabat.

Sebenarnya Jendra tidaklah secuek dan sekasar seperti sekarang. Dia tahu perubahan sikap tersebut terjadi setelah pernikahan antara Galih dan mamanya. Akan tetapi, dia ragu akan perasaan Anila. Dia tahu betul gadis itu cepat terpuruk jika dihadapkan pada tindakan kasar. Meskipun pernah memberitahu Jendra agar tidak bertindak kasar kepada sahabatnya, dia tak lantas percaya.

"Lo baik-baik aja, kan?" Raut khawatir jelas tampak pada wajah Mia.

Bukannya meyakinkan, Anila malah terkekeh. "Serius deh, Kak Jendra gak sekasar dan secuek itu, kok."

"Lo baru tau kulit-kulitnya doang, Nil. Belum tau sampai ke akar-akarnya," sambar Dikta.

"Emang lo udah kenal sampai ke akar-akarnya?" Mendengar pertanyaan Anila, Mia turut membenarkan dan menatap Dikta penuh tanya.

Seketika cowok itu gelagapan, jelas sudah pernyataannya menimbulkan kecurigaan untuk kedua gadis ini, apalagi Anila dan Mia tidak gampang menerima alasan.

"Ya ... gak lah. Logis aja, masa baru ketemu berapa kali udah bisa nyimpulin kalau dia itu gak terlalu ini lah, itu lah." Adrenalin Dikta semakin terpacu saat menatap empat mata di hadapannya.

Saat Anila hendak membantah, seseorang menghampiri mereka. Gadis bergaun merah muda selutut serta tas selempang tersampir pada bahu sebelah kanan, sangat anggun dan enak dipandang  Rambut pirang lurus sampai sepinggan menjuntai begitu saja, tetapi tetap rapi.

Di belakang gadis itu terdapat tiga cewek lain, hampir memiliki model pakaian serupa. Mereka kompak menatap sinis ke satu titik, yakni Anila. Tak mau kalah, Mia, Dikta, dan Anila juga melakukan hal yang sama.

"Mahasiswa kedokteran pengen silaturahmi di kantin Fakultas Hukum, nih?" Mia bersuara setelah menyeruput jus jeruknya.

Bita membuang muka. "Gue masih belum lihat progres lo deketin Jendra, kalau dalam seminggu gak ada progres gue bakalan ganti penantangnya."

Anila memukul meja sembari melayangkan tatapan nyalang ke arah pendiri GDC tersebut. "Sejak kapan ada regulasi kayak gitu? Gue gak terima!"

Bita balik memberi tatapan menghunus. "Gue gak peduli, itu urusan lo." Lalu melangkah keluar dari kantin diikuti antek-anteknya.

***

Pagi-pagi Anila sudah berkutat di dapur, mencampur nasi dengan bumbu praktis nasi goreng. Setelah dirasa cukup mencampuradukkan semua bahan, dia mematikan kompor, lalu memindahkan hasil buatannya ke dalam kotak bekal berbentuk bulat berwarna biru muda, sisa nasi goreng dipindahkan ke piring.

"Kamu tumben bawa bekel ke kampus. Kenapa?" Nintia kembali menanyakan hal serupa. Wanita itu belum puas dengan jawaban anaknya yang hanya mengatakan cuma ingin.

"Ya udah, Nila jujur. Anila, tuh, lagi suka sama seseorang, Bu. Jadi aku mau buat dia luluh, siapa tahu dengan aku kasih bekal dia suka sama aku." Gadis yang sudah melepaskan celemek itu terkekeh tanpa memedulikan raut terkejut ibunya.

"Serius kamu?" Nintia meletakkan pisau dapur di atas talenan, lantas memegang pundak anaknya. "Seumur-umur kamu baru ngejar cowok, dulunya cowok yang ngejar kamu. Kok bisa ke balik?"

Dari lantai dua, Yasa—ayah Anila—datang dengan laptop di tangan kanan. Sibuk mengurus pemasukan dari hasil laundry bulanan. Namun, pekikan tertahan istrinya bisa terdengar jelas hingga membuat pria yang kerap membuat rambutnya klimis karena minyak rambut pun melayangkan pertanyaan.

"Kenapa pagi-pagi udah heboh aja?" Yasa meletakkan laptop di atas meja makan dan menyeruput secangkir kopi yang telah dihidangkan oleh Nintia.

"Ini, lho, anakmu ngejar cowok!" seru sang istri, menatap sang suami dengan mata berbinar.

Yasa mengernyit, lantas menghentikan aktivitasnya. "Ngejar? Anila ngejar cowok?"

Anila mengangguk kaku, jika Yasa sudah berkata seperti itu izin akan sedikit sulit untuk dikantongi. "Iya, Yah."

Diluar dugaan, Yasa malah tersenyum hangat dan mengejek-ejek anaknya. "Tapi, kamu harus ingat. Jaga diri karena Ayah tidak mau kamu kenapa-kenapa. Lagian cowoknya kenapa harus dikejar?"

"Dia orangnya cuek." Anila cemberut hingga membuat pasangan tersebut tertawa.

✖️
10/06/2021

Revision: 07/06/2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top