3 - Not A Good Day

Setelah seminggu absen, Mason akhirnya kembali bertugas. Ia ragu-ragu pada awalnya, untuk meninggalkan anak-anaknya sendirian di rumah mereka. Tetapi Clark telah meyakinkannya bahwa ia akan menjaga adik-adiknya selama Mason pergi. Ia telah meninggalkan instruksi untuk mereka, dan catatan bahwa ia akan kembali ke rumah satu jam setelah mereka kembali dari sekolah.

"Apa kau baik baik saja?" tanya Sebastian sambil masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi pengemudi di sebelah Mason. Waktu istirahat mereka telah usai, kini mereka harus kembali berpatroli.

"Ya." Mason mengangguk. "Aku telah menerima telepon, kita harus pergi ke kota bawah. Ada sesuatu yang terjadi. Itu di dekat sebuah bar, kurasa." Temannya mengangguk dan mulai mengemudi ke kota bawah. Kota bawah adalah tempat yang kurang ramah. Banyak aksi-aksi ilegal terjadi di sana, termasuk transaksi narkoba dan pembunuhan.

"Apakah kau menerima email dari A.F.A?" tanya Sebastian setelah beberapa saat keheningan.

"Tidak ada. Memangnya ada apa?"

Sebastian meliriknya sebelum kembali fokus ke jalan raya. "Kemarin malam, aku menerima satu email dari mereka. They want us back."

"Aku tahu itu. Ethan memberitahuku. Tapi aku tidak menerima email apapun dari mereka."

"Itu aneh," gumam Sebastian, "mereka juga memberitahu tentang sektor lima belas yang dibobol—"

"Awas!" Sebastian menginjak rem dengan keras saat tubuh seorang pria muda terpental ke jendela depan mobil. Itu membuat kedua petugas polisi terkejut dan langsung keluar dari mobil mereka. Mason berlutut di samping pemuda yang tak sadarkan diri di tanah. Ada darah di wajah dan pakaiannya.

Mason bangkit untuk berdiri di samping rekannya. Bar di sebelah mereka sudah hancur. Jendelanya pecah dan pecahan kaca bertebaran di jalanan. Bau asap yang menyengat bisa tercium, jelas sekali ada perkelahian antar geng di sana. Untungnya beberapa anggota polisi lain tiba sebelum mereka dan menangkap kumpulan geng yang berkelahi. Seorang polisi membawa pemuda yang melirik Mason terus menerus.

Pemuda itu menyeringai padanya. "Rumahmu bagus. Dan anak-anakmu sangat manis," kata pemuda itu yang membuat Mason tertegun. "Aku tidak akan suka melihat mereka terluka."

"Mason?" panggil Sebastian. Mason mengepalkan tangannya, menatap tajam pada pemuda yang tertawa jahat itu. Ia benar-benar ingin menembaknya sekarang. "Jangan. Dia hanya ingin kau lepas kendali."

"Istrimu cantik. Tahukah kau bahwa dia meneriakkan namamu sebelum dia meninggal?" Mason berjalan menuju pemuda itu tetapi Sebastian menahannya. Petugas yang menahan pemuda itu dengan cepat menyelipkan kepalanya dan mendorongnya ke mobil.

"Jangan kehilangan kendali," bisik Sebastian. "Kita perlu memeriksa bar." Mason mengangguk, masih memelototi mobil yang membawa pemuda itu pergi. Ia menghela napas dan berjalan perlahan ke bar, dengan Sebastian di depannya.

Bar itu kacau. Pecahan botol-botol bir dan bercak darah memenuhi lantai. Tiba-tiba, mereka mendengar suara benturan dari luar. Mason menoleh ke belakang dan melihat mereka melewatkan beberapa anggota geng yang sekarang mencoba menembak salah satu petugas.

Mason mengeluarkan pistolnya dan kembali memeriksa bar. Sekelompok petugas polisi di luar pasti cukup untuk menangani beberapa pemuda.

DOR! DOR!

Suara tembakan membuat Mason dan Sebastian menunduk. Saat kedua polisi itu menunduk, seorang pemuda keluar dari balik bar dan memukul kepala Mason dengan botol Vodka. Mason berteriak dan tersandung saat botol itu mengenainya dan pecah. Pemuda itu duduk di atasnya dan memukulinya. Sebastian menembak lengan pemuda itu, membuatnya berhenti. Dua petugas polisi lainnya masuk dan memborgol pemuda itu.

"Are you alright, officer Ryan?" tanya salah satu petugas. Mason mengangguk lemah, matanya kesulitan fokus. Sebastian membantunya untuk duduk dan bersandar pada dinding.

"I'm fine," balas Mason. Sebastian memeriksa luka di dahinya. Mason jelas tidak baik-baik saja, ia hanya terlalu keras kepala untuk mengakui hal itu.

"We got this," sahut seorang petugas. "Bawa dia ke rumah sakit." Mason terhuyung saat Sebastian membantunya berdiri. Ia diam sepanjang jalan ke rumah sakit. Ini bukan hari yang baik.

***

Mason mengalami sedikit gegar otak karena botol yang mengenai kepalanya. Ia memiliki beberapa memar juga. Pastinya, Ethan akan marah dan menceramahinya tentang hal itu. Dia melihat jam tangan digitalnya, sudah jam lima sore. Seharusnya ia sudah pulang tiga jam yang lalu. Anak-anaknya pasti mengkhawatirkannya. Sayangnya, dalam perjalanan ke rumah sakit, ia sempat pingsan.

Dokter mengatakan ia akan baik-baik saja. Ia hanya butuh istirahat. Sebastian tidak meninggalkan sisinya, takut jika Mason akan pingsan lagi.

"Kau tidak perlu khawatir tentangku sebanyak itu," kata Mason ketika mereka berdua memasuki mobil.

"Kau adalah rekanku. Tentu saja, aku akan mengkhawatirkanmu. Terutama karena itu kau."

"Mengapa itu karena aku adalah aku?"

Sebastian memutar bola matanya. "Karena kau adalah Mason Ryan. Siapa pun dapat melihatmu melompat dari satu gedung ke gedung lain jika aku tidak menahanmu di tempat."

Mason tertawa kecil. "Pokoknya aku harus cepat pulang. Anak-anakku sendirian sekarang."

"Di mana si dokter?"

"Ini hari Rabu, Ethan mendapatkan shift siang. Rumah sakit agensi sedang sibuk karena pembobolan itu." Mason melirik Sebastian yang mengetukkan jarinya dengan tidak nyaman pada stir mobil. "Apakah ada yang salah?"

"Ethan tidak memberitahumu tentang itu, 'kan?" tanya Sebastian sambil menepikan mobil.

"Tentang apa?"

"Komandan ingin bertemu denganmu. Di tempat ini." Rekannya membuka jendela. "Itu dia."

Mason terdiam sejenak sebelum keluar dari mobil. Di taman yang sudah mulai gelap, seorang pria duduk di bangku, menatap ke arah mereka. Itu adalah mantan komandannya, Jan Miller.

"Ryan," kata sang komandan, "sudah lama."

"Aku yakin kau tidak datang ke sini untuk sekadar berbasa-basi."

"Memang tidak." Jan berdiri dan mendekati Mason. "Ini sesuatu tentang pembobolan dan juga serangan di bar. Dan juga istrimu."

"Apa itu?" tanya Sebastian.

"Semua insiden ini sudah direncanakan." Notifikasi dari jam tangannya membuat Mason melihat ke arahnya. Itu adalah beberapa video. "Itu adalah hasil rekaman CCTV di sektor lima belas, bar, dan juga lokasi kecelakaan Lauren."

"Kau ingin kami menyelidiki ini?" Sebastian bertanya sambil memainkan salah satu rekaman tersebut.

Jan mengangguk. "Ya. Itu semua terjadi dalam waktu berdekatan, yaitu setelah kematian Lauren. Dan kupikir, itu ada hubungannya denganmu, Ryan."

Kertas itu juga salah satu bukti yang cukup kuat. Mason memutar rekaman kecelakaan istrinya. Detik-detik mobil tersebut tertabrak oleh sebuah truk besar yang jelas-jelas melanggar aturan kecepatan lalu lintas. Memang sudah direncanakan. Mason bisa merasakan kemarahan dan kesedihan memenuhinya sekali lagi. Tangan Sebastian di pundaknya adalah satu-satunya hal yang bisa membuatnya tetap dalam kenyataan.

"Fokus, Mason."

"I'm trying." Bagaimana ia bisa fokus ketika udara telah menghilang dari paru-parunya? Sangat sulit untuk bernapas. Ia mengedipkan matanya berkali-kali, berusaha menahan air matanya. Ia tidak membutuhkan mereka sekarang.

"Ryan, bernapas." Suara bariton sang komandan teredam seperti ia sedang tenggelam di dalam air. "Mason."

Ia menutup matanya. Kepalanya mulai sakit, terlalu banyak suara. Ia ingin menutupi telinganya tetapi tangannya terlalu mati rasa untuk ia rasakan. Ia merasakan tubuhnya bergetar, banyak suara memanggil namanya, berkali-kali. Ia mengenali suara itu. Ini milik Sebastian dan Jan. Tetapi ia tidak mengerti mengapa ia merasa begitu jauh dari suara-suara itu.

"Buka matamu, Mason!" bentak Sebastian. "Jangan pingsan karena serangan panik."

Rekannya benar. Ia membuka matanya, ia baik-baik saja. Semuanya baik baik saja. Sebastian di sisinya, memegang bahunya agar ia tetap berdiri. Jan berdiri agak jauh darinya tapi ia bisa melihat sedikit kekhawatiran di mata pria itu.

"Maaf," ujar Mason.

"Tidak apa-apa." Jan mengangguk. "Aku tahu apa yang terjadi hari ini. Ini bukan hari yang baik. Jumat, di sebuah kafe, aku akan mengirimkan alamatnya." Ia menatap Sebastian. "Antar dia pulang."

Sebastian menatapnya dan mengangguk pada Jan. "Yes, Sir—"

"Tunggu. Aku ingin menanyakan sesuatu," sela Mason. "Ketika aku sedang memeriksa file-ku, aku cukup terkejut bahwa aku masih memiliki akses sejak awal. Tapi ada misi. Misi terkunci. Apa itu sebenarnya?"

"Mission: Protect. Apakah itu yang kau bicarakan?" tanya Sebastian lagi. Jan mengangguk kepada pertanyaannya.

Pria itu menarik napas dalam-dalam. "Ini misi yang sangat penting. Itu sebabnya saya ingin bertemu kalian berdua. Monroe, Ryan, kalian berdua adalah agen terbaik kami. Bersama dengan Wilson. Kami membutuhkanmu kembali karena misi ini." Jan menatap Mason. "Aku benci menyebut istrimu lagi setelah serangan panik tadi, tapi misi ini ada hubungannya dengan itu."

Mason mengangguk dan berjalan ke mobil. Ia harus pulang. Anak-anaknya pasti sangat khawatir sekarang. Mason menghela napas frustrasi dan menatap luka di bibirnya. Ia melirik luka di kepalanya dan meringis ketika ia menyentuhnya. Sebastian masuk dan mulai mengemudi tanpa mengatakan apapun selama perjalanan.

Dua puluh menit kemudian mereka tiba, tetapi ada yang janggal dari rumahnya. "Mobil siapa yang diparkir di depan rumahmu? Apakah itu Ethan?"

"Ethan tidak punya mobil seperti itu. Itu terlalu rendah untuknya." Mason yakin itu adalah ulah ibu mertuanya. Sebastian menepi ke trotoar dan mematikan mobil sebelum melompat keluar. Kedua petugas polisi terkejut saat melihat seorang pekerja sosial dan Jolene mencoba menyeret anak-anak keluar rumah.

"Ayah!" Clark berteriak ketika pekerja sosial menyeretnya ke mobil. Ellie melepaskan diri dari genggamannya dan berlari menuju Mason, gadis itu memeluknya saat ia berjalan ke rumah.

"Apa-apaan semua ini?!" tuntut Mason dengan marah, kedua anak laki-lakinya berlari ke arahnya dan memeluknya dengan erat. Ia berhenti beberapa meter dari kedua wanita itu, merasa jijik.

"Kami berusaha membantu." Pekerja sosial itu meraih Nick, tetapi lengannya tahan oleh Sebastian dan Mason mundur beberapa langkah. Anak-anak bersembunyi di belakangnya, memeluknya lebih erat.

"Membantu? Ini yang kau sebut membantu? Jika begitu maka petugas polisi melakukan pekerjaan yang lebih baik daripada kau." Sebastian menunjuk pekerja sosial itu dengan marah.

"Mereka tidak aman denganmu dan jelas tidak diurus." Pekerja sosial itu memelototi Mason.

"Biarkan kami membawa mereka ke tempat yang aman," kata Jolene. Jika tidak ada aturan tentang menembak warga sipil, Mason sudah pasti akan menembak mereka sekarang.

"Berhentilah mencoba mengambil anak-anakku dariku," kata Mason, meninggikan suaranya. "Hanya karena aku tidak membesarkan mereka seperti yang kau inginkan bukan berarti aku ayah yang buruk." Ia mengencangkan cengkeramannya pada anak-anaknya, merasakan kemarahan mendidih di dalam dirinya.

"Berhenti bersikap egois dan pikirkan apa yang terbaik untuk mereka." Egois? Apakah dia egois? Ia melihat ke bawah ke arah Ellie yang menatapnya, matanya berkaca-kaca. Kemudian ia menatap Clark yang menggelengkan kepalanya dengan tegas. Nick menangis diam-diam di sampingnya dan memegang lengan Mason dengan kuat. Tidak, ia tidak egois. Ia menyayangi mereka.

"Jauhi keluargaku," tegas Mason. "Aku tahu apa yang terbaik untuk mereka."

"Kau tidak mungkin berpikir mereka akan aman bersamamu." Jolene menyela dengan marah. "Lihat dirimu." Wanita itu menunjuk ke luka dan goresan pada Mason.

"Bu, dia seorang polisi. Tentu saja dia akan terluka selama bertugas." Sebastian memutar matanya dan berdiri di sisi Mason dengan tegas.

"Masuk ke dalam." Anak-anaknya memandang ke arahnya. "Tidak apa-apa. Paman Seb akan bersamamu, 'kan Seb?"

Sebastian tersenyum ramah kepada mereka dan memberi isyarat kepada anak-anak untuk ikut dengannya. Anak-anak ragu-ragu tetapi kemudian Nick melompat ke arah Sebastian, yang membuat kedua anak lainnya mengikutinya.

"Mereka memiliki hak untuk memiliki kehidupan yang lebih baik daripada bersamamu!" Pekerja sosial itu berteriak ketika anak-anak dan Sebastian sudah masuk ke dalam rumah. Mason menembaknya dengan tatapan marah dan berjalan ke rumah.

"Leave my family alone." Dia memelototi mereka berdua lalu membanting pintu di depan wajah mereka. Mason menutup matanya dan menghela napas. Hari ini bukan hari yang baik untuknya, seperti kata Jan. Ia membuka matanya lalu menatap anak-anaknya.

"Aku akan pergi dan memastikan mereka tidak akan mengganggumu atau anak-anakmu lagi." Sebastian tersenyum padanya dan Mason menyingkir dari pintu agar pria itu bisa keluar.

"Terima kasih," bisik Mason padanya. Setelah Sebastian berjalan keluar rumah, Mason berlutut dan memeluk anak-anaknya dengan erat.

Itu adalah hari yang panjang. Tapi tidak apa-apa ketika dia melihat anak-anaknya. Semua kelelahannya lenyap begitu ia melihat mereka. Mereka seperti obat baginya. Apa yang akan ia lakukan tanpa mereka? Tentunya, ia akan menjadi gila. Ellie secara tidak sengaja menyentuh salah satu lukanya yang membuat Mason tersentak.

"Are you okay, Dad?" tanya Ellie.

"Who hurt you?" Clark ikut bertanya. Anak laki-laki itu terlihat siap memukul siapapun sekarang. Mason terkekeh geli dan menggelengkan kepalanya.

"It's fine now. Are you hungry? We can order some pizza."

Anak-anaknya menatap satu sama lain sebelum berteriak dengan senang. "Pizza!"

Nick menyentuh lengan Mason, menarik perhatiannya. "Pizza keju?" Anak itu memberi isyarat dengan tangannya. Ethan melakukan pekerjaannya dengan baik. Mason tersenyum dan mengacak-acak rambutnya.

"Tentu saja, buddy. Anything you want."

***

Chris Hemsworth as

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top