Part 4 (Revision)
Publish on : Jumat, 2 Agustus 2019 [22.05]
MISSION IN SCHOOL
°°°
Krystal merenung, menyenderkan kepalanya pada jendela mobil dengan tatapan memandang ke luar. Pikirannya terus bergelut mencoba memecahkan isi dari surat berisi clue yang kedua itu. Karena ia yakin, akan ada korban lagi.
"Daniel ...."
Pria itu hanya berdehem, Krystal menoleh pada Daniel yang berada tepat di sampingnya, sebagai pengemudi.
"Korban selanjutnya adalah seorang cewek, bener kan?"
"Mungkin."
"Dia ikut ekskul musik dan teater, mungkinkah?" tanya Krystal bingung.
"Gak usah terlalu dipikirin," ujar Daniel datar.
"Tapi---"
"Biar gue sendiri yang nuntasin semuanya, lo dan yang lain gak perlu terlibat."
"Gak bisa dong! Lo gak akan bisa ngelakuin semuanya sendirian. Lo tau kan, di sini kita sebagai tim. Pembunuh itu yang udah milih kita, entah apa alasannya. Yang jelas, semuanya harus diselesaikan ... oleh kita," tegas Krystal.
Daniel menatap dingin ke arah depan, "Gue akan selesain masalah ini, sendirian. Terserah kalian mau ngapain."
Krystal menganga tak percaya, "Tapi ... kenapa?"
Pria itu hanya diam.
***
"Krystal, gue duluan ya! Gue udah selesai nyapu. Nyokap gue juga udah jemput."
Krystal menoleh pada Denna, kemudian ia tersenyum kecil dan mengangguk, "Oke!"
Denna melambaikan tangannya lalu bergegas keluar dari kelas, sementara Krystal kembali melakukan kegiatannya.
Membersihkan papan tulis.
Bukan, hari ini bukan jadwal piketnya. Ingatkah jika Krystal sudah piket kemarin? Ini adalah hukumannya, untuknya yang sudah melamun sepanjang pelajaran Bahasa Inggris.
Krystal menjinjit untuk menghapus tulisan seperti cacing di bagian paling atas. Sebenarnya Krystal adalah gadis dengan tubuh yang tinggi. Kenapa juga papan tulis di depannya harus dipasang lebih tinggi dari papan tulis umumnya.
Gadis itu menghela napasnya kasar lalu melangkah mendekati meja guru dan meletakkan penghapus papan tulis di sana. Ia menoleh kala ada seseorang yang memasuki kelasnya.
Daniel.
Pandangannya terus menatap Daniel yang nampak santai ketika memasukkan seluruh bukunya ke dalam tas kemudian menggendong tas tersebut dengan satu bahu. Setelahnya, pria itu melangkah melewati Krystal.
"Lo dari mana?" tanya Krystal pada Daniel.
"Bukan urusan lo."
Krystal memutar bola matanya, "Pulang sekolah ada pertemuan buat bahas surat itu. Di ruang OSIS."
Daniel tersenyum miring menatap Krystal, "Gue harap lo gak lupa kemarin gue bilang apa."
"Emang kemarin lo bilang apa ke gue? Gue gak inget tuh. Intinya gue ---maksud gue, kita tunggu di ruang OSIS. Gue duluan."
Krystal meraih tas nya lalu berjalan keluar kelas. Di depan pintu kelas, ia terhenti.
"Gue harap lo dateng," ujarnya tanpa menoleh, ia pun pergi meninggalkan kelas.
Sedangkan Daniel hanya menanggapinya dalam diam.
***
~~~
Cantik bukan berarti dia tidak jahat. Hanya dengan satu melodi, dia merasa sangat senang. Itu juga yang kurasakan saat melodiku selaras dengan nada yang ia buat. Karma akan membalas setiap drama busuknya. Aku akan mengampuninya jika kalian berhasil.
Laut yang tenang belum tentu aman. Ada banyak target yang menungguku. Dua hari lagi kejutan ini akan kuberikan. Yang berhasil selamat, akan aku ampuni. Aku tak sabar bertemu dengan kalian, anak pintar.
-E
~~~
Arlan menatap sekelilingnya, tepatnya ke arah Allena, Krystal, dan Jessica setelah membacakan isi surat itu kesekian kalinya. Berharap mereka bisa menemukan satu buah titik terang yang benar-benar bisa mencegah adanya korban lagi.
"Dia cewek. Itu kesimpulan pertama dan yang paling jelas," ucap Allena.
"Menurut kalian, dia ikut ekskul teater atau musik?" tanya Jessica memandangi ketiga temannya.
Allena hanya mengedikkan bahunya, "Mungkin dua-duanya?"
"Teater," ujar Arlan, membuat semua yang berada di ruang OSIS itu menatap ke arahnya. "Di ekskul musik gak ada yang ikut ekskul teater. Jadi, kemungkinan besar dia cuman ikut teater," lanjut pria itu.
"Jadi, apa maksud dari kata melodi dan nada kalo dia gak ikut musik?" tanya Jessica bingung.
"Mungkin dia emang gak ikut ekskul musik, tapi bisa jadi dia pencipta lagu?" ujar Arlan ragu.
"Bukan. Gue rasa dia pencipta nada, di suratnya kan cuman ditulis nada bukan lagu." sanggah Allena.
"Apa dia akan dibunuh di laut?" tanya Jessica bingung sembari menunjuk paragraf kedua di surat tersebut.
"Gak mungkin. Yakali di laut, itu pasti kata kiasan."
"Ya terus apa?"
"Mana gue tau."
Jessica menoleh pada Krystal, "Ta, dari tadi lo diem aja. Kenapa?" tanya Jessica.
Krystal tersenyum tipis, "Gak papa."
"Di balik kata gak papa-nya cewek itu artinya ada apa-apa. Lo lagi galau, kan?" tebak Allena.
"Sok tau lo! Gue emang gak apa-apa. Cuman lagi berkonsentrasi penuh buat nemuin kata kunci dari surat ini."
"Bahasa lo biasa aja kali," datar Allena. "Eh, Daniel mana? Dia gak dateng?" lanjut Allena bertanya.
Krystal menghembuskan napasnya pelan, "Gak tau. Tadi gue udah bilang ke dia buat ke sini. Gue juga ragu kalo dia bakalan dateng." Ucapannya melemah di akhir kalimat.
"Lo ada masalah sama dia?" tanya Arlan.
"Sama sekali nggak ada. Tapi ...."
"Apa?"
"Kemarin, dia bilang ke gue. Dia mau kita berhenti nelusurin tentang kasus ini," ujar Krystal lesu.
"Tunggu! Dia pengin kita berhenti? Tapi, kenapa coba?" tanya Allena bingung.
"Katanya biar dia sendiri yang nuntasin kasus ini, tanpa kita."
Semuanya terdiam, terkejut dan tak menyangka Daniel menginginkan mereka semua berhenti. Padahal akan lebih baik jika masalah ini diselesaikan bersama-sama, tentunya akan lebih cepat daripada menghadapinya sendirian.
"Gue gak habis pikir sama dia. Kalo emang dia pengin nelusurin masalah ini sendirian, biarin aja. Dia sendiri, dan kita juga tetep lanjutkan misi. Meskipun dia gak ikut dalam kelompok ini," ujar Arlan datar.
Krystal mendesah pelan, ia yakin Daniel tak akan datang saat ini. Lagipula setelah tadi berpikir cukup lama, Krystal bingung dengan alasan Daniel yang ingin mereka berhenti ikut campur dalam kasus. Kenapa justru malah Daniel ingin menyelesaikannya? Sendirian pula.
"Baiklah! Kita lanjutin 'ntar malem aja, ini udah sore. Lagipula kita masih belum menemukan jawabannya, siapa yang akan menjadi korban selanjutnya. Ya ... gue harap surat ini cuman iseng," ujar Jessica.
"Kita cuman punya waktu sampai 'ntar malem, karena disini tertulis dua hari lagi dari hari kita menemukan suratnya. Itu artinya, kejutan akan datang besok," jelas Arlan serius.
"Allena, bukannya lo ikut ekskul teater ya?" tanya Krystal ragu.
Allena mengangguk sambil memainkan kuku berkuteknya, "Bahkan gue ketua ekskul teater."
"Pas banget!" seru Jessica.
"Menurut gue, korban selanjutnya adalah anak teater. Tapi selain pinter drama, dia juga berbakat dalam musik," tambahnya.
Allena terlihat berpikir, "Di teater banyak yang pinter drama sama musik. Gue juga pinter, malah gue ratunya."
"Mulai sok iya nih orang," jengah Jessica memutar bola matanya.
"Apa ... jangan-jangan gue korbannya?!" seru Allena histeris.
"Jangan mulai deh dramanya. Ini bukan panggung, lagian menurut gue lo gak bakat dalam musik," datar Arlan pada kembarannya itu.
Allena mengerucutkan bibir, "Ya ... siapa yang tau?"
"Jadi, apa selanjutnya?"
"Gue bingung sama satu hal ini," ujar Krystal tiba-tiba.
Semua memandangnya, "Apa?"
"Di surat tertulis huruf E, apa maksudnya?" tanyanya seraya menunjukkan satu huruf di akhir surat tersebut.
"Mungkinkah ... sebuah inisial pembunuh? Atau korbannya?"
Krystal menggeleng, "Gue rasa bukan. Di surat yang pertama, tertulis huruf K. Sedangkan nama korbannya Nicko, kalo pembunuh ... gue gak yakin."
"Oh ya, Arlan ... lo bilang semua anggota ekskul musik gak ada yang ikut teater kan?" tanya Jessica. Arlan mengangguk. "Apa pernah atau bahkan sering ada seseorang yang ngajuin lagu buatan ataupun nada buatan sendiri ke grup GHS Music? Ya ... misalkan ada orang yang suka ciptain lagu tapi dia gak ikut di ekskul musik, dan dia minta ke GHS Music buat nyanyiin lagu itu?" lanjut Jessica.
"Ada, banyak. Bahkan semuanya cewek, gue juga gak terlalu tau karena gue bukan anggota GHS Music."
"Ya ya ya ... lo kan cuman Ketua OSIS," ledek Allena. Arlan hanya memandang kembarannya tanpa ekspresi.
"Lo punya kenalan kan di GHS Music? Mungkin lo bisa tanya-tanya ke mereka. Biasanya yang ngajuin cipta karya ke ekskul itu bakalan di data. Mungkin aja kita bisa nemuin data cewek yang ikut ekskul teater tapi suka ciptain lagu."
"Gue kenal sama ketuanya doang, mungkin. Yang lain juga kenal, tapi gak terlalu akrab. Tapi gue gak yakin dia mau bantu kita, lagian dia juga baru aja kemarin sore dilantik jadi ketua padahal dia murid baru. Banyak yang bilang dia punya skill yang bagus dalam musik jadi langsung dilantik jadi ketuanya," jelas Arlan.
"Murid baru? Kemarin?" tanya ketiga gadis itu kompak.
Arlan mengangguk.
Krystal, Jessica, dan Allena melebarkan matanya. "Jadi ketua baru GHS Music ... Daniel?!"
Dan Arlan kembali mengangguk polos.
***
"Krystal, Ayah dengar di sekolahmu ada kejadian bunuh diri?"
Pembunuhan, Ayah. Bukan bunuh diri.
"Iya," jawab Krystal singkat.
Gabriel tersenyum kecil, "Atau pembunuhan?"
Gerakan Krystal memasukkan makanan ke dalam mulut terhenti kala mendengar pertanyaan ayahnya itu. Padahal Gabriel menanyakannya dengan santai, tapi Krystal sudah deg-degan. Bagaimana kalau ayahnya tau jika kejadian di sekolahnya bukan real pembunuhan?
"Hah? Ahahahaha ... Bagaimana Ayah bisa tau?" desah Krystal lesu. Ia takkan mungkin bisa mengelak jika ayahnya sudah bertanya kebenarannya.
Gabriel meletakkan sendoknya pelan, ia menatap putri semata wayangnya itu, "Krystal tau siapa Ayah kan? Bagaimana bisa Ayah tidak tau apapun tentang putri Ayah?"
"Tapi Ayah ... apa aku akan dipindahkan ke sekolah lain?" tanya Krystal pelan.
"Itu pilihanmu. Jika Krystal bisa menjaga diri sendiri, Ayah tidak keberatan kamu tetap sekolah di GHS. Tapi kalau kamu mau pindah, dengan senang hati Ayah akan memilihkan sekolah baru untukmu."
"Tidak! Itu tidak perlu, Krystal bisa jaga diri kok. Ayah tidak perlu repot-repot memilihkan sekolah baru untuk Krystal."
Gabriel terkekeh, "Baiklah jika itu pilihan anak Ayah."
"Ayah terbaik!" seru Krystal mencium pipi Ayahnya.
***
Laut yang tenang belum tentu aman.
Apa maksudnya?
Krystal menopang dagunya dan menatap ke arah langit malam. Suasana gelap dan dingin tak ia hiraukan. Pikirannya terus bekerja mencari tahu apa maksud dari kalimat dalam surat clue kedua.
"Dimana? Kapan? Ugh ... gue bingung!" celotehnya.
"Laut yang tenang? Apa artinya di sekolah? Tapi sekolah selalu ramai setiap harinya bahkan saat hari libur pun. Lagipula, besok bukan hari libur. Kecuali ... sekolah akan sepi saat malam hari."
Krystal terdiam, ia menyimpulkan bahwa kejadian selanjutnya akan terjadi pada malam hari di sekolah. Tapi, tepatnya dimana?
Ada banyak target yang menungguku.
Kalimat ini seolah menjelaskan bahwa pembunuhan akan terjadi bukan hanya sekali maupun dua kali, tapi lebih. Target? Siapa sebenarnya yang menjadi target di sini?
Siswa siswi pintar di GHS? Entah kenapa kalimat itu muncul di pikiran Krystal. Nicko adalah siswa terpandai di GHS, tapi tetap tak menutup kemungkinan jika siswa biasa-biasa saja juga bisa menjadi korban selanjutnya. Siapa yang tau?
"Jadi, dimana target selanjutnya menunggu?" tanya Krystal pada dirinya sendiri.
Jika kembali menggunakan logika untuk berpikir, target pembunuhan ini adalah siswa siswi Galaxy High School. Krystal menyimpulkan hal demikian karena isi dari surat yang menyebutkan kata 'anak paling pintar' di surat pertama dan kata 'anak pintar' di surat kedua.
"Dimana siswa siswi selalu berkumpul? Mungkinkah itu maksudnya?"
Beberapa menit Krystal terdiam dengan pikiran yang menerawang. Kemudian, ia ternganga dan matanya melebar kala menemukan suatu petunjuk. Maksud dari kalimat 'Ada banyak target yang menungguku' bisa disamakan dengan tempat dimana murid-murid selalu berkumpul, lebih tepatnya tempat yang paling sering pelajar tempati. Hanya ada satu jawaban.
"Ruang kelas!"
Drrrttt ... drrrttt ....
Krystal meraih ponselnya yang berdering. Dahinya bergelombang saat mendapat panggilan video dari Jessica. Bukan, ini panggilan grup video. Ada Arlan dan juga Allena.
"Ada apa?" tanyanya setelah layar tipis dihadapannya menampilkan wajah mereka berempat.
"Tentang misi kita ...." Jessica memberikan sedikit jeda pada kalimatnya, tentunya membuat mereka penasaran.
"Kenapa?"
"Kita harus ke sekolah, sekarang!"
"Tapi ... kenapa? Ini udah malam, Caca."
"Gue tau itu. Tapi, apa kalian gak berpikir kalo kejutan ini akan terjadi malam nanti? Maksud gue, malam menjelang pagi nanti?"
Ketiganya masih menampakkan ekspresi bingung mereka. Bahkan Allena tak terlalu memperhatikan dan justru menguap lebar-lebar.
"Gue ngantuk tau," ujar gadis itu.
"Jam segini lo udah ngantuk?" tanya Jessica tak percaya. "Jadi gini ... menurut gue, kejutan akan terjadi larut malam. Atau mungkin besok pagi buta, karena gak mungkin pembunuh akan membunuh targetnya saat siang hari. Dan kalo dia mau membunuh besok malam, pasti dia berfikir kalo kita udah bikin rencana dan itu bisa membuat rencananya gagal. Jadi, menurut gue pembunuh itu akan membunuhnya pagi nanti. Tepat dua hari setelah kita dapetin surat ini adalah besok. Gimana?"
"Gue gak terlalu yakin," ujar Arlan.
"Tapi, bisa jadi itu benar. Bagaimana kalo kita terlambat? Di sini, nyawa adalah taruhannya. Jessica bener, kita harus ke sekolah. Sekarang!" ujar Krystal mantap.
"Hey, Sis. Sekolah itu luas, apa kita bakal nyari sampai ke seluruh penjuru sekolah?" desah Allena.
Krystal tersenyum kecil, "Gue rasa gak usah sampai segitunya. Gue udah tau dimana tempat pembunuhannya, meskipun masih tetep harus cari tempat pastinya. Yang jelas, gak sampe harus menelusuri seluk beluk GHS."
"So ... kita harus cepet ke sana! Sebelum semuanya terlambat." Mereka mengangguk. Sambungan pun diputuskan.
Krystal melirik jam tangannya. Pukul 22.45 WIB. Ia segera meraih hoodie berwarna merah maroon lalu memakainya. Tak lupa mengenakan sneakers warna biru dan mengambil tas selempangannya. Sudah, semuanya sudah siap. Dan sekarang adalah masalah terbesarnya.
Bagaimana cara Krystal meminta izin pada Gabriel dan Nadya?
Perlahan, gadis itu membuka pintu kamarnya lalu menutupnya kembali. Rumah megah ini gelap, tak ada pencahayaan. Hanya ada cahaya dari bulan yang terpampang jelas dari jendela rumah Krystal.
"Krystal?"
"Eh? Ehehehe ... Bunda." Krystal meringis sembari menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal.
"Sedang apa? Kenapa masih belum tidur? Bukannya besok kamu sekolah?"
"Anu, itu ... errr ---Krystal mau ... nginep! Iya, nginep di rumahnya Jessica. Soalnya Jessica sendirian di rumahnya, kasihan kan Bun? Jadi, sebagai sahabat yang baik hati dan tidak sombong, Krystal mau nemenin Jessica di rumahnya. Cuman satu malam aja kok, boleh kan Bun?" tanya Krystal menampilkan puppy eyes-nya.
"Malam malam begini? Apalagi ini sudah larut," tanya Nadya curiga.
"Ehehehe, Bunda kan tau Jessica kayak apa. Dia baru chat aku, jadi nginepnya dadakan gini. Boleh ya Bun, please ...."
Nadya mengelus rambut putrinya lembut, "Baiklah. Lagipula pagi pagi sekali Bunda sama Ayah langsung berangkat kerja, kamu nanti bisa gak sarapan lagi kayak kemarin. Tapi, ada syaratnya."
"Apa, Bun?"
"Kamu harus diantar Ayah, jangan sendirian."
Dan Krystal hanya bisa mengangguk pasrah.
***
"Untung aja Ayah gak curiga," gumam Krystal lega.
"Gue gitu loh. Bakat akting gue bagus juga, kayaknya gue harus rekomendasiin diri sendiri ke Allena biar bisa dimasukkin ke grup teater deh," celoteh Jessica.
Krystal memutar bola matanya, "Serah lo aja deh, Ca. Nih, btw duo kembar kemana sih? Lama banget," kesal Krystal melihat jam tangannya.
Pukul 23.15 WIB.
"Gue juga gak tau. Awas aja kalo mereka ngaret. Apalagi suasana sekolahnya kayak gini banget," decak Jessica sembari menoleh ke belakang, melihat sekilas bagaimana horrornya wujud Galaxy High School di malam hari ini.
Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Krystal dan Jessica melihat Arlan dan Allena turun dari mobil dan menghampiri mereka.
"Lama ya?"
"Gak usah basa basi busuk gitu deh. Mending kita langsung cari tempatnya." Alhasil, penyakit cabe-cabean yang ada di mulut Jessica keluar.
"Gue tau kalau pembunuhannya akan terjadi di ruang kelas," ujar Krystal.
"Bagaimana lo bisa nyimpulin itu?" tanya Arlan.
"Dari surat kedua ditulis 'Ada banyak target yang menungguku.' Menurut gue, target di sini adalah siswa siswi GHS. Lalu, tempat yang paling sering ditempati para pelajar hanya satu, yaitu ruang kelas. Jadi, kita harus ke sana sekarang!" jelas Krystal.
"Yaudah ayo!"
Mereka pun memasuki wilayah sekolah. Kenapa bisa masuk padahal gerbang dikunci? Jawabannya ada pada Arlan, ketua OSIS Galaxy High School.
"Lebih baik kita berpencar. Gue sama Krystal ke kelas XI. Lo sama Arlan ke kelas X. Kelas XII, kita bisa ke sana bareng-bareng," usul Jessica.
Semuanya mengangguk menyetujui. Arlan menarik tangan kembarannya yang terlihat mengantuk. Ada untungnya juga jika Allena mengantuk, gadis itu tak akan rewel dan berisik. Semoga semuanya berjalan lancar dan tidak akan ada yang namanya kejutan.
"Gelap banget," gumam Jessica.
Krystal mengangguk, "Sepi juga. Jangan jangan gak ada apapun di sini," ujarnya.
"Ini baru kelas XI IPS 8, Ta. Masih berapa kelas lagi yang belum kita cek?"
Krystal terlihat berpikir keras, "7 kelas IPS dan 8 kelas IPA."
Jessica mengangguk mantap, "Ayo kita jalani semuanya ... dengan tabah. Semangat!"
Di lain tempat ....
"Arlan ...."
"Arlan ...."
"Arlan!"
"Hm?"
"Gue ngantuk ...."
Arlan hanya diam dan kembali berjalan. Tak menggubris rengekan Allena. Sementara Allena mendengus kesal dan menguap lebar lebar.
"Andai aja ada kasur di sini ...." gumamnya. "Ah ya!"
"Apaan sih? Gak usah berisik di sini!" tegur Arlan menatap kesal adiknya.
Allena meringis pelan, "Gue ngantuk, mau tidur sebentar di UKS karena hanya tempat itu yang mempunyai kasur empuk," ujarnya mendramatis.
"Terserah lo. Bukan urusan gue kalo di sana lo ketemu haha hihi haha hihi," datar Arlan.
"Gak akan. Yang penting kalo lo udah selesai, jemput gue di UKS. Awas aja kalo lo ninggalin gue, gue jamin uang saku lo bakalan musnah dalam sebulan," ancam Allena tersenyum devil.
"Ya ya ... udah sana lo pergi."
"Hoamm ... okelah, tiati di jalan." Allena berjalan ke arah yang berbeda dengan Arlan, tentunya arah menuju UKS.
"Gak ada apa-apa, gue kan pemberani. Lagian Arlan bilang apaan sih tadi? Haha hihi haha hihi ... gue aja gak tau itu apa," gumam Allena.
Gadis itu membuka pintu UKS. Sejenak ia memejamkan mata saat merasakan udara luar menyapa wajahnya. Allena kembali membuka matanya dengan dahi bergelombang.
Bagaimana bisa jendela UKS terbuka lebar?
Ia melangkah menuju jendela tersebut. Allena menyembulkan wajahnya ke luar jendela. Sepi. Tak ada siapapun, hanya angin malam yang sepoi-sepoi menerbangkan beberapa helai rambutnya yang tidak terkuncir. Allena menutup jendela tersebut lalu berbalik dan merenggangkan otot-otot tangannya.
"Hoammm ...." Ia menguap dan berjalan menuju ranjang UKS.
Baru saja ingin berbaring, gadis itu mengernyitkan dahi saat pandangannya menangkap sesuatu di atas ranjang UKS.
"Sebuah surat?"
***
Arlan melirik jam tangannya. Pukul 23.45 WIB Setengah jam lamanya ia mengecek seluruh ruang kelas X, tak ada tanda tanda akan terjadi pembunuhan. Bahkan dirinya tak melihat satu orang pun di sini.
Drrrttt ... drrrttt ....
Arlan merogoh saku jaketnya lalu mengangkat telepon dari Allena.
"Halo, kenapa? Lo ketemu haha hihi haha hihi?"
"Apaan sih? Haha hihi haha hihi apaan, gue gak tau itu apa. Pokoknya lo ke sini sekarang juga, gue nemuin sesuatu!"
"Apa?"
"Surat clue ketiga."
"Gue ke sana sekarang."
Tut.
Arlan mematikan sambungan teleponnya lalu berbalik dan berlari menuju ruang UKS.
Surat ketiga? Kenapa datangnya begitu cepat? Bahkan surat kedua belum tuntas dan sudah ada surat ketiga? Semua pertanyaan itu muncul dalam pikiran Arlan. Bahkan ia bingung, bagaimana mungkin pengirim surat itu tau bahwa mereka ada di sini?
Sangat aneh jika tiba-tiba saja secara kebetulan Allena menemukan surat ketiga larut malam begini, bahkan di UKS. Apa mungkin ada yang mengikuti mereka? Bahasa kasarnya ... penguntit?
Bruk!
Tubuh Arlan termundur beberapa langkah setelah menabrak ... seseorang?
Arlan mengernyitkan dahinya menatap sosok bertudung hitam saat ini terduduk di lantai. Mungkin efek dari tabrakan dengannya.
"Siapa lo?" tanya Arlan.
Sosok itu diam, berdiri, lalu langsung melarikan diri. Namun, Arlan tak tinggal diam. Ia langsung cepat menangkap reaksi lawannya. Begitu ingin melarikan diri, Arlan langsung mengunci gerakannya.
"Gue tanya sekali lagi, siapa lo?" tanya Arlan tajam. Ia melepas dengan kasar tudung yang menutupi wajah orang itu. Namun tetap saja, wajahnya tidak terlihat begitu jelas karena suasana sangat gelap.
Arlan berusaha memotret wajah orang itu dalam memorinya. Meskipun hanya mengandalkan pencahayaan dari sinar bulan.
"Apa lo ... pembunuhnya?" tanyanya datar.
Sosok itu adalah seorang pria, Arlan tau hal itu. Meskipun tangannya ditahan oleh Arlan, dia tersenyum. Senyum sinis ... dan iblis.
"Menurut lo?"
"Arlan!"
Brak!
Bugh!
Pria itu mendorong Arlan dan meninju perutnya lalu berlari dan menghilang entah kemana. Sedangkan Allena menghampiri Arlan yang terlihat merintih sembari memegang perutnya.
"Lo kenapa?" tanyanya khawatir.
"Pake nanya lagi. Ya jelas ditonjok lah!" jawab Arlan sensi.
Allena mendengus, "Ya kan gue cuman nanya." Ia mengedarkan pandangan. "Tadi siapa?" lanjut Allena bertanya.
"Gue gak yakin. Mungkin aja pembunuhnya?" ragu Arlan.
"Serius?! Terus kenapa lo lepasin? Kalo dia ketangkep kan semuanya selesai dan gue bisa tidur dengan nyaman tanpa ada gangguan apapun. Kenapa lo lepasin dia, Arlaaan?" geram Allena.
"Salah lo juga kali! Tadi lo teriak, dia dorong gue trus mukul. Gimana bisa ketangkep lagi?"
"Trus sekarang gimana?"
"Mana surat yang lo temuin? Bukan surat keterangan izin atau sakit di UKS kan?"
"Ya bukanlah." Allena membuka tas kecilnya lalu mengeluarkan sepucuk surat beramplop merah jambu. Mungkinkah pembunuhnya sangat suka warna pink?
Ia menyerahkan surat tersebut kepada Arlan, "Nih, surat isi clue yang ketiga."
***
"Gak ada yang mencurigakan di sini, Ta," keluh Jessica berjalan sempoyongan. Dia mengantuk.
"Ini kelas XI IPA 4, terkunci. Sama seperti kelas lain," gumam Krystal.
"Eh, Ta!"
"Ya? Kenapa? Kok lo teriak gitu?" tanya Krystal kaget.
"Eh? Gapapa. Itu ... anu ... lo jangan lewat situ ya? Lewat sini aja." Jessica menarik tangan Krystal lalu membawanya melewati kelas X IPA 3 dengan jarak agak jauh.
"Kenapa sih? Kan sama aja arah jalannya ke sana."
"Ya itu ... Hmm ... gak ada apa-apa. Gue cuma parno aja lewat depan kelas XI IPA 3 persis."
"Heh?"
"Soalnya ada penunggunya," gumam Jessica lirih.
"Lo bilang apa? Gue gak denger."
"Eh eh, gak ... gue gak bilang apa-apa. Yaudah, di sini gak ada yang mencurigakan dan ---"
Brak!
Keduanya sama sama menoleh ke arah kelas XI IPA 1 setelah mendengar suara keras itu.
"Suara apa?" tanya Jessica bingung.
"Cek sekarang!"
Mereka berlari ke kelas XI IPA 1. Langkah mereka memelan dan mulai berjalan menuju kelas tersebut dengan banyak pertanyaan di benak keduanya.
"Ca, pake senter! Di sini gelap."
"Gue gak bawa senter, Ta!"
"Pake senter handphone, Caca!!"
"Oh, iya!"
Jessica mengeluarkan handphone miliknya lalu menyalakan senternya. Mereka berdua mengernyit saat melihat pintu kelas XI IPA 1 terbuka lebar. Keduanya masuk ke dalam kelas.
Krystal memerjab berulang kali, berusaha untuk tidak berhalusinasi saat ini. Namun, tetap saja apa yang dilihatnya sama. Ia langsung menyalakan lampu di kelas tersebut sehingga semuanya terlihat jelas.
Jessica sempat memekik kencang melihat apa yang ada di hadapannya. Krystal membuka mulutnya tak percaya. Mereka terlalu terkejut melihat hal ini. Di hadapan keduanya, ada dua orang.
Yang satu tergantung di tali, dipastikan sudah meninggal.
Sedangkan yang satunya, berdiri diam dengan napas yang memburu.
"Daniel?!"
***
To be continued...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top