Part 30
Publish on: Senin, 27 April 2020 [21.42]
MISSION IN SCHOOL
***
"Keluar!" Gerry berteriak, ia memundurkan langkahnya. Pistol yang awalnya mengarah pada dahinya sendiri, kini beralih menodong ke arah tujuh siswa yang memergokinya.
"Ger? Lo ... kenapa?" Suara Arlan terdengar bergetar, ia khawatir Gerry akan melakukan sesuatu yang berbahaya.
"Gue bilang pergi! Atau kalian semua akan mati!" Terlihat kilat amarah di mata Gerry. Sekilas mereka tidak mengenal sosok Gerry yang biasanya. Gerry, wakil ketua OSIS yang terkenal humoris dan ramah, kini seakan ditelan bumi, tergantikan oleh sosok yang penuh amarah.
"Gerry, lo ... bisa tenang dulu oke?" Arlan berusaha berjalan mendekat. Gerry memundurkan langkahnya dengan gelisah, wajahnya nampak sangat cemas.
"Mundur! Atau gue tembak sekarang!" Gerry mengarahkan pistolnya ke Arlan, membuat Ketua OSIS itu menghentikan langkah.
Brak!
Semuanya menoleh, terkejut melihat Revan yang tiba-tiba datang dengan napas terengah. Pandangannya langsung bertemu dengan manik mata Jessica. Ia lantas mengalihkannya pada Gerry yang kini melototkan mata.
"Lo?! Pergi!" Gerry bergerak gelisah, ia menodongkan pistolnya pada Revan. Sedangkan pria itu justru melangkah mendekat.
"Pergi gue bilang!" Gerry beringsut mundur, kakinya menyentuh ujung meja, tanda ia tak bisa melangkah lagi. "Berhenti atau gue tembak!"
Dor!
Krystal menutup matanya terkejut, Jessica dan Allena berteriak dengan menutup telinga, Gerry baru saja melepaskan pelurunya ke atas, menembus langit-langit ruang OSIS.
"Ger," panggil Revan. Dia masih melangkah mendekat, tatapannya seolah meyakinkan Gerry untuk meletakkan senjatanya.
"Mundur!"
Revan menggeleng, "Lo tenang dulu oke?"
Gerry tertawa sarkas, "Tenang lo bilang?" Ia mendecih, "Saat nyawa gue diambang kematian lo bilang gue harus tenang?! Lo emang gila, Van."
Jessica menatap Gerry. Jadi, dia sudah tahu akan menjadi korban selanjutnya?
"Asal lo tau, Van. Gue lebih baik mati di tangan sendiri daripada dibunuh lalu semuanya akan menganggap gue bunuh diri. Padahal kenyataannya?" Gerry menggeleng-gelengkan kepala, "Kalian semua bodoh! Bahkan musuh ada di depan mata, kalian gak sadar kan?!" Wakil Arlan itu menatap tujuh siswa yang masih diam.
"Dan buat lo, Van. Selamat! Selamat karena misi lo berhasil! Lo puas kan sekarang hah?! Puas lo balas dendam ke kita?!" Semua menatap Gerry tak percaya dengan yang pria itu katakan, "Gue tahu gue salah. Tapi gue bener-bener nyesel, Van. Sumpah! Kalau aja gue bisa, saat ini pun gue bakal hidupin Ressa! Gue tahu gue brengsek dan gak punya hati! Tapi bukan berarti kalian bisa menentukan kematian seseorang!"
"Gue gak tahu kenapa harus lo, Ger." Revan menatap Gerry dengan bahu melemas.
Gerry masih saja tertawa sarkas, ia mengangguk-angguk, "Lo gak tahu gue target selanjutnya kan?" Ia tertawa lagi, "Bullshit."
"Gue gak ngerti apa yang lo omongin." Revan masih mencoba mendekati Gerry, matanya menatap awas pada pistol yang masih mengarah padanya.
Sementara Jessica mengerutkan kening tak memahami kalimat Revan. Jelas-jelas pria itu tahu banyak tentang pembunuhan ini, nyaris 100%.
"Gue gak tau siapa korban selanjutnya."
Kalimat yang Revan katakan waktu itu di kafe seketika menggema di telinga Jessica. Mungkin Revan benar, dia tidak tahu menahu tentang korban di sini. Yang artinya, Revan hanya menjadi kaki tangan pembunuh sebenarnya. Atau, Revan hanya melakukan apa yang seharusnya ia lakukan, tanpa menuntut penjelasan lebih lanjut.
Tapi, benarkah Revan melakukan semua ini karena dendam?
"Van, gue tahu persis. Bahkan semua murid sekolah pun tahu kalau lo adalah orang terdekat Teressa. Jangan pura-pura bego dan bilang kalau lo sama sekali gak ngerti apa yang gue omongin! Jelas-jelas lo pembunuhnya! Lo yang udah ngebunuh korban sebelumnya kan?! Lo yang udah ngirim surat aneh ditambah teror untuk gue dan yang lainnya kan?!" Gerry menunduk dan tersenyum miris, "Gue tahu gue manusia bejat karena dulu pernah bully Ressa habis-habisan hanya untuk ngebuat fokus Arlan teralih."
Arlan tersentak. Ia tak menyangka Gerry tahu tentang hubungannya dengan Ressa. Padahal, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allena dan Revan. Tapi, ini Gerry. Pantas saja waktu pemilihan Ketua OSIS, Gerry nampak sangat tidak menyukainya.
"Tapi kini beda. Gue bener-bener nyesel, dan kalian gak kasih gue satu pun kesempatan untuk perbaiki diri?" Gerry menatap Revan nanar, "Gue gak berhak dapet kesempatan itu? Dan kalian tetep ingin gue mati kan?" Ia tertawa miris, "Oke, fine! Gue bakal lakuin sendiri, tanpa membebani lo, Van. Dan lo bisa tenang ngelihat gue mati sekarang."
Revan bergegas maju untuk merebut pistol Gerry, namun Gerry lebih dulu menyadarinya dan melirik Jessica yang berada paling dekat dengan posisinya. Ia menarik lengan Jessica, mengunci leher gadis itu dengan tangannya. Kini dahi Jessica menjadi sasaran pistol yang masih ia pegang.
"Jessica!" Krystal menjerit. Ia beranjak maju, namun tangannya ditahan Daniel.
"Lepas, Niel!"
"Jangan gegabah! Jessica gak akan kenapa-napa." Daniel menatapnya datar, menarik Krystal ke belakang punggungnya.
Revan menatap Gerry tajam, "Jangan sakiti dia." Ia sekilas melirik Jessica yang memejamkan mata ketakutan, "Lepasin, Jessica gak ada sangkut pautnya sama kejadian ini."
Mendengarnya, Gerry tertawa, "Dan biarkan lo gagalin rencana gue untuk bunuh diri? Dasar bego!"
"Ger, gue bilang lepasin dia," desis Revan tajam. Ia menekan setiap perkataannya.
Gerry tersenyum miring, "Sepertinya cewek ini berharga banget buat lo." Jessica mencoba memberontak, membuat Gerry lebih waspada dan menekankan pistol ke dahinya. Jessica masih memejamkan mata kuat-kuat.
"Apa yang lo mau?"
Gerry menatap Revan, ia lalu mengambil pisau lipat yang ada di sakunya. Lantas Gerry melempar pistol yang tadi dia pegang ke arah Revan. Sedangkan pisau lipat menggantikan posisinya untuk mengunci gerakan Jessica, "Lo mati. Dan cewek ini gue lepas."
Jessica tersentak, ia membuka matanya, mematung. Begitu juga semua orang di dalam ruang OSIS. Diam-diam Nathan melangkah mundur, menghubungi seseorang. Sementara Daniel melirik ke belakang, menatap mata Krystal dan menganggukkan kepala, seakan memberi kode agar gadis itu tetap di sini dan mengikuti rencananya. Krystal balas mengangguk dua kali. Lantas Daniel mengalihkan pandangannya pada Allena dan Zoya, melalui tatapannya menyuruh kedua gadis itu untuk mendekat. Ia lalu melirik Arlan, memberi isyarat agar membantunya menjalankan rencana. Arlan mengangguk, ia melangkah pelan mendekati Revan.
"Lo tunggu di sini." Daniel berbisik lirih pada Krystal, dia bergerak tanpa suara mendekat pada Jessica dan Gerry.
"Cepat!" Gerry menggertak Revan. Jessica menggeleng keras.
"Jangan, Van." Gadis itu menatap Revan dengan pandangan memohon. Revan balas menatapnya teduh, seolah meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja. Dia mengambil pistol, mengarahkannya pada dahinya sendiri.
Gerry menatapnya puas, ia lengah. Jessica kini sudah terisak, apalagi saat melihat Revan memejamkan mata, membuatnya turut terpejam kuat. Ia sangat takut, bahkan rasanya ini lebih menakutkan daripada bertemu hantu. Ada rasa sesak dan sakit yang Jessica rasakan.
Tepat saat Revan menarik pelatuk, Arlan menendang pistol tersebut sampai terlempar ke sudut ruangan, membuat Revan tersentak. Sementara Daniel segera memukul bahu Gerry, membuat Jessica terlepas dari kungkungannya. Hal itu menjadikan Gerry sangat terkejut. Daniel lantas menarik lengan Jessica. Gerry sangat marah, ia bergegas menghampiri gadis itu. Tangannya memegang pisau lipat dengan erat, lantas mengayunkannya. Bola mata Jessica membulat sempurna.
Revan berlari menghadangnya. Ia berhenti di depan Jessica, tepat kemudian pisau itu berhasil menusuk perutnya.
"REVAN!!!"
Sekujur tubuh Revan terasa kaku. Darah merembes keluar membasahi kaos biru miliknya. Rasanya seolah mati rasa, pria itu limbung hingga akhirnya terjatuh. Jessica menghampirinya, meletakkan kepala Revan pada pangkuannya. Raut wajah khawatirnya tercetak jelas. Ia menatap Revan dengan bibir bergetar, air matanya lolos begitu saja.
"V-van ...." Suaranya tercekat. Revan tersenyum meski rasanya sulit, ia mengangkat tangannya, menghapus jejak air mata Jessica dengan ibu jarinya.
"Sorry," ujar Revan lirih. Jessica menggeleng. Tangannya menyentuh jemari Revan. Entah kenapa ia merasa sakit, sangat sakit melihat Revan terluka seperti ini. Rasanya, seolah ada yang menikam ulu hati Jessica dengan ribuan pisau. Dan Jessica tidak mengerti mengapa dia begini.
Sementara Gerry menatap tangannya yang gemetar, pisau lipatnya jatuh begitu saja. Krystal, Allena, dan Zoya menghampiri Jessica. Nathan yang baru saja kembali bersama polisi terlihat kaget melihat Revan tergeletak dengan luka tusuk. Polisi segera mengamankan Gerry, bahkan Gerry pun masih gemetar, ia menatap kosong ke arah Revan. Arlan dan Daniel bergegas menghampiri, diikuti Nathan.
"Nath, panggil ambulan! Cepat!" Tanpa menunggu pengulangan, Nathan segera menelpon ambulan. Nampak Gerry pasrah dibawa oleh polisi keluar dari ruang OSIS.
Sementara itu, tanpa ada yang tahu, seorang pria berjaket hitam dengan kalung 'R berdiri di belakang tembok. Ia memperhatikan sekelilingnya, tangannya mengambil ponsel, menghubungi seseorang.
"Halo."
"...."
"Misi gagal. Target ditangkap polisi."
"...."
Ia nampak menghela napas, lantas memandang ke arah ruang OSIS, "Revan mengacaukannya."
"...."
"Apa?! Kamu yakin?"
"...."
"Baiklah. Aku akan segera kembali."
Panggilan tertutup. Pria misterius itu kembali memasukkan gawainya ke dalam saku. Ia lagi-lagi menatap ke arah ruang OSIS. Kini ada beberapa petugas dengan seragam putih-putih membawa brankar memasuki ruangan itu. Hingga beberapa menit terlihat mereka keluar dengan Revan yang terbaring lemah di atas brankar.
Dia tersenyum kecut.
"Revan, tamatlah riwayatmu."
***
To be continued ....
Besok mau aku up date lagi gak?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top