Part 29
Publish on: Sabtu, 11 April 2020 [15.25]
Holaaa gaes! I'm comeback UwU!
Weh, gimana nih? Ada yang nungguin toh😅 Karena tanganku udah gatel buat up date, jadi langsung aja yaa :*
Kalau ada typo, komen yaa')
MISSION IN SCHOOL
.
"Sebuah misi ada untuk dituntaskan bersama. Jangan harap kalian bisa menuntaskannya jika tidak bisa saling percaya."
.
***
Jessica melotot saat menerima pesan dari Nathan untuk segera menuju sekolah. Apa pembunuh itu sudah bertindak secepat ini? Jessica menarik nafas panjang, langsung menyambar tas selempangannya dan bergegas keluar dari apartemen.
Namun, baru saja membuka pintu apartemen, mata cokelat miliknya melebar kaget saat menatap sosok gadis dengan wajah setengah hancur berdiri melayang di depannya.
"Jessica, tolong aku ...."
Jessica menjerit. Ia langsung menutup pintu lalu meringkuk di pojokan. Menenggelamkan wajahnya dengan air mata menetes deras. Tubuhnya bergetar hebat, nafasnya memburu, keringat dingin membasahi kening dan lehernya. Jessica menggeleng-gelengkan kepala kuat. Ia takut!
"Jessica, ku mohon ... tolong aku." Suara lirih bercampur gema itu masih terdengar. Hawa ruangan bertambah dingin.
"Pergi!"
"Ku mohon, bantu aku, sekali saja." Lama kelamaan makin terdengar putus aja dan penuh penyesalan.
"Pergi gue bilang! Pergi! Pergi!" Jessica menggeleng-gelengkan kepala, semakin merapat ke tembok. Matanya terpejam kuat, enggan menatap sosok transparan di hadapannya.
"Sekali saja, ku mohon. Cukup dengarkan aku, maka semuanya akan selesai."
Jessica sungguh tidak mengerti dengan empat kata terakhir yang diucapkan Teressa. Ya, hantu itu lagi-lagi Teressa. Yang selalu membuatnya terkejut setengah mati melihat wajah penuh darah milik mantan pacar Arlan tersebut.
"Apa maksud lo?" Tanpa menengadahkan kepala, Jessica bertanya dengan lirih.
Teressa menerawang sejenak. Mengingat kembali segala kejadian di masa lalunya yang membuat dia sampai melakukan hal di luar nalar. Hantu itu diam-diam tersenyum miris. Ia menyesal baru menyadarinya. Kematian bukanlah satu-satunya jalan untuk menyelesaikan masalah.
"Aku akan menceritakan semuanya. Semua penyebab pembunuhan itu terjadi. Kan ku ceritakan itu padamu, Jess. Tentang betapa bodohnya aku memilih kematian. Tentang penderitaan yang selama ini ku alami. Tentang dendam yang tumbuh di hati kakakku. Aku akan menceritakannya malam ini. Semuanya, tentangku, Kak Nicko, Arlan, Revan, Kak Chika, Kak Marsha, Rendi, Zila, dan Gerry." Ressa tersenyum lagi, kali ini sarat akan kepedihan. Dia kembali mengingat kenangan tentang orang-orang itu. Tunggu, sepertinya Jessica menemukan kejanggalan dari kalimat Ressa. Tanpa sadar, ia mendongak dan mendapati Ressa sedang melayang di depannya. Tidak ada lagi wajah remuk, hanya sebatas tubuh pucat yang terlihat dingin.
Jessica menatap Ressa dengan mengerutkan kening, "Tadi lo bilang apa? Gerry?"
***
Allena fokus mengendarai mobil milik Nathan. Sedangkan si pemilik mobil duduk di sampingnya dengan wajah serius mengotak-atik laptop. Tadinya mereka sedang kencan, emm entah bisa disebut kencan atau bukan, Allena malu mengingatnya. Di saat itu, Daniel menghubungi Nathan dan mengatakan sesuatu tentang pesan misterius yang didapat Krystal. Daniel juga menyuruhnya untuk segera menghubungi yang lain dan bergegas menuju sekolah. Itulah yang membuatnya kini duduk di kursi pengemudi dengan menggunakan kecepatan mobil di atas rata-rata. Untung tidak ada Arlan di sini, atau dia akan kena amuk kembarannya itu.
Nathan terlihat serius dengan laptop yang selalu cowok itu gunakan untuk meretas. Katanya, laptop itu bernama Blacky, yang mengingatkan Allena akan anjing menggemaskan peliharaan tetangga sebelah. Ada-ada saja cowok itu. Dan Nathan terlihat sangat menjaga laptop tersayangnya tersebut. Tidak ada seorang pun yang pernah diperbolehkan mengotak-atik Blacky.
"Lo ngapain sih? Serius banget," tanya Allena penasaran. Sekilas ia melirik Nathan yang masih menyibukkan diri.
"Ada tugas dari Daniel. Gue disuruh nyari pemilik nomor hape orang yang udah kirim pesan ke Krystal," jawabnya tanpa mengalihkan pandangan.
"Belum ketemu juga?"
Nathan menggeleng, "Nomornya udah gak aktif, kemungkinan besar nomor itu udah dibuang. Gue coba buat nyari celah, nomor itu pasti ninggalin jejak."
Allena hanya mengangguk. Ia memutar setir ke kiri, masih menuju ke arah sekolahnya berada. Jam tangannya menunjukkan pukul 23.27 WIB. Tanpa sadar, matanya menangkap sesuatu yang janggal pada kaca mobil. Ia menatap Nathan, "Nath."
"Kenapa?"
"Sepertinya ada yang ngikutin kita." Nathan mengalihkan pandangannya sejenak pada Allena, lalu ia melihat ke belakang. Benar kata gadis itu, ada sebuah mobil hitam yang mengikutinya. Nathan melihat ke arah plat mobil, lalu kembali mengotak-atik laptop.
Tanpa menunggu lama, terlihat deretan data mengenai plat mobil tersebut. Mata Nathan membelalak menyadarinya, "Mobil itu dibeli oleh Mr. Bagaskara?" gumamnya lirih.
Terdengar notifikasi dari Blacky, pertanda bahwa pencariannya tadi membuahkan hasil. Nathan langsung mengeceknya. Dan kali ini ia benar-benar terkejut, matanya menatap tak percaya, tapi Blacky tidak mungkin mengada-ada.
"Tidak mungkin." Nathan kini berada dalam kebimbangannya. Apakah ia harus mengatakan ini pada Daniel?
Apakah sahabatnya itu akan baik-baik saja jika dia jujur?
***
Terdengar bunyi gesekan sepatu dan lantai di koridor kelas XI. Krystal dan Daniel berlarian sambil mengecek seluruh ruang kelas. Tidak ada yang janggal, semuanya terkunci rapat. Di bawah sinar bulan yang menerangi jalan mereka, Krystal mencoba untuk tidak panik dan melewatkan segala sesuatu yang mungkin bisa menjadi pertanda untuknya.
Flatshoes putih yang ia kenakan terus bergesekan dengan lantai, menimbulkan irama yang tidak teratur. Krystal berhenti sejenak, meremas rambutnya dengan frustasi. Dingin menusuk kulitnya yang hanya memakai kaos putih bergambar paris kebesaran dan celana di atas lutut. Ia tak sempat berganti pakaian tadi.
Sedangkan di sampingnya, Daniel mengedarkan pandangan, mencoba mencari kejanggalan di deretan kelas XI ini. Cowok itu terlihat tenang meskipun sebenarnya dia juga merasa was was. Menunggu teman yang lainnya datang juga pasti akan memakan waktu lama. Dia dan Krystal harus bergerak cepat sebelum pembunuh itu bertindak lebih jauh.
Jam tangan tepat menunjukkan pukul 23.30 WIB. Hanya tersisa dua puluh lima menit lagi. Krystal terus memutar otak, mencari cara efektif untuk mencegah pembunuhan kali ini.
"Daniel, gimana kalo kita berpencar?"
Daniel menggelengkan kepalanya spontan, "Terlalu beresiko. Kita belum tahu pesan itu memihak kepada siapa. Dan bisa jadi pesan itu berisi jebakan."
Krystal mengeluh, "Terus gimana? GHS gak sesempit liang lahat." Sebenarnya kalau sedang tidak dalam kondisi seserius ini, Daniel pasti akan tertawa mendengar kalimat Krystal.
"Kita coba cari di rooftop. Pesan itu mengatakan atap sekolah bukan?" Daniel bergegas lebih dulu di depan Krystal. Gadis itu mengikutinya. Namun, langkahnya mendadak melambat saat dia melihat sebuah bayangan di samping.
Langsung saja Krystal berbalik dan mendapati seorang pria berjaket hitam tengah berdiri tak jauh darinya. Krystal membelalakkan mata lebar.
"Raja?!"
Si empu tersenyum sekilas. Dia mendekat ke arah Krystal, lalu menggenggam tangannya. Terasa kedua tangan dingin itu menyatu menimbulkan rasa hangat. Namun tak berlangsung lama, Krystal langsung menepisnya.
"Ngapain lo di sini?!" tanyanya sengit.
"Lo harus balik, Deya. Di sini gak aman."
Krystal memandangnya curiga, "Tau darimana kalo di sini gak aman?" Ia menatap Raja dari bawah sampai atas, "Jangan bilang lo yang udah kirim pesan itu?"
Raja mengerutkan kening lantas menatap tajam Krystal, "Pesan apa?"
Itu artinya bukan Raja yang mengirim pesan, "Lupakan. Lo ngapain di sini kalau gak berhubungan sama pembunuhan nanti?"
"Gue ngawasin lo."
Krystal tertawa sarkas, "Bullshit."
"Mending lo pergi deh, Ja. Gue muak lihat muka lo yang sok misterius gitu!" lanjutnya mengusir sang mantan.
Raja justru tersenyum simpul, "Lo gak berubah dari dulu ya, De."
Krystal tercekat, ada sesuatu yang tersentil di hatinya, "Gue udah berubah. Dan jangan panggil gue Deya lagi. Sekarang, gue minta lo berhenti ngikutin gue dan pergi dari sini!"
"Lo tau seberapa keras kepalanya gue, Deya."
Ya, Krystal mengakuinya. Raja adalah manusia yang sangat keras kepala sepanjang dia hidup di dunia ini. Gadis itu mendengus kesal. Ia sudah membuang banyak waktu untuk meladeni mantan pacarnya tersebut.
"Gue udah gak ada waktu untuk ngurusin lo lagi, Ja. Terserah lo mau ngapain, gue gak peduli." Krystal segera berbalik dari tempatnya untuk menyusul Daniel. Namun langkahnya kembali terhenti dengan jantung yang mendadak seperti akan terlepas saat melihat Daniel kini berada di hadapannya. Memandangnya datar seperti biasa, namun kali ini tampak lebih dingin. Sekejap perasaan Krystal berubah jadi tidak enak. Ia melirik ke arah Raja yang masih stay cool di belakangnya.
"Hai, Daniel. Long time no see." Pria dengan luka melintang di dahi itu tersenyum miring. Tanpa sadar tangan Daniel mengepal di samping tubuhnya.
Sedangkan Krystal menatap Raja tak mengerti dengan apa yang dia katakan. Apa Raja dan Daniel saling mengenal?
Daniel melangkah maju. Sekilas ia menatap tajam Raja, lantas segera menarik lengan Krystal untuk pergi, "Rooftop kosong. Kita cari di tempat lain." Sangat datar, Krystal sampai merasa tegang mendengarnya.
Gadis berambut panjang itu melirik sekilas ke belakang dan mendapati Raja masih di posisi sebelumnya, menatap ke arahnya. Krystal mengalihkan pandangannya pada Daniel. Ada sedikit keraguan untuk bertanya, terlebih saat dia melihat rahang Daniel mengeras. Terlihat tengah menahan amarah. Sebenarnya, apa hubungan Daniel dan Raja?!
"Niel--"
"Jangan bicarakan ini sekarang. Tujuan kita hanya untuk membuktikan kebenaran pesan itu." Krystal meneguk salivanya kasar. Okelah, gadis itu tidak akan bertanya lagi. Ia memilih menunduk, namun tatapannya justru jatuh pada jemari Daniel yang menggenggam jarinya erat. Apa-apaan ini? Kenapa tiba-tiba pipinya memanas?!
Drrtt ... Drrtt ...
Daniel mengangkat panggilan dari Nathan, belum sempat mengatakan halo, Nathan lebih dulu mengucap, "Gue udah di sekolah. Lo dimana?"
"Gue di lantai dua. Di sini gak ada yang mencurigakan."
Kecuali kehadiran si kampret Raja yang tiba-tiba. Daniel hanya bisa mengatakannya di dalam hati.
"Cepat ke bawah, Nyet! Gue ngerasa ada yang gak beres." Terdengar helaan nafas gusar dari seberang sana.
"Kenapa?"
"Gue sama Allena lihat Gerry tadi. Ngapain dia ke sini malam-malam coba? Dan lo tahu? Dia bawa pistol!" Nathan menekan ucapannya.
Langkah Daniel terhenti, Krystal memandangnya bingung, "Dimana lo sekarang?"
"Gue sembunyi di deket tempat loker, si Gerry masuk ke Ruang OSIS."
"Gue ke sana sekarang."
***
Jessica melangkahkan kakinya cepat memasuki sekolah. Ia sudah mendengar semuanya dari Ressa. Kini beban pikirannya menumpuk, Jessica sungguh bingung dengan semuanya. Dan dia tahu alasan kenapa pembunuhan terjadi, dia tahu siapa saja pelakunya. Jessica juga tahu mengapa harus mereka yang dijadikan sebagai korban.
Jessica tahu semuanya.
Gadis itu mengubah jalan cepatnya menjadi lari saat ia melihat Krystal dan yang lainnya tengah berkumpul. Ia menetralkan nafasnya ketika tiba di sana.
"Sorry, gue telat."
"Lo belum telat, Ca. Dan dimana Arlan?"
"Maaf, gue baru dateng. Gue gak telat kan?" Tepat setelah Krystal bertanya, sosok Arlan muncul bersamaan dengan Zoya. Semua mata memandang ke arah jari mereka yang bertautan. Allena mengerutkan kening, hmm sepertinya ada udang di balik bakwan.
"Gak telat. Ngapain lo bawa Zoya ke sini? Nanti kalau dia terancam gimana?" Allena menatap kembarannya tak mengerti.
"Justru gue bawa dia karena itu. Kita belum tau pesan yang didapat Krystal adalah pertanda atau jebakan. Bisa saja kalau gue gak bawa Zoya, mereka akan menjalankan rencananya dengan mudah karena Zoya gak ada sama kita." Masuk akal, Allena mengangguk paham.
Daniel melihat jam tangan hitamnya. Pukul 23.45 WIB. Ia mengalihkan pandangannya pada ruang OSIS yang tertutup rapat. Apa yang Gerry lakukan di dalam sana?
"Terus kita ngapain diem aja di sini?" tanya Arlan tak mengerti.
Allena menunjuk ke ruang OSIS, "Bawahan lo masuk ke situ sambil bawa pistol. Kira-kira ngapain kita di sini? Ya nunggu dia keluarlah."
"Hah? Siapa?" tanya Arlan terkejut. Memangnya siapa anggota OSIS yang berani datang ke ruangannya tanpa izin dari sang Ketua? Apalagi tadi Allena mengatakan pistol?
"Waketos kita, Gerry."
Mendengar itu, bukan hanya Arlan yang kaget, Jessica juga tersentak. Dia tak menyangka apa yang dikatakan Teressa padanya ternyata benar.
"Bodoh! Ngapain kita nungguin dia di sini?! Kalau dia adalah korban dan dibunuh di ruang OSIS gimana?!" Jessica sangat kesal. Dia tahu bahwa Gerry adalah target selanjutnya, Gerry adalah si kelinci penuh ambisi itu.
"Tunggu! Kalian ingat isi clue? Di sana tertulis tentang ambisi yang akan menghancurkan kehidupannya." Krystal menatap Arlan, "Lo pasti lebih mengenal Gerry daripada kita, Lan."
Arlan membenarkan, "Kalau korbannya Gerry, gue gak ngerti kenapa dia bisa jadi korban. Gerry terkenal ramah dan periang. Meski dia emang punya ambisi besar untuk menjadi ketua OSIS."
"Sayangnya lo yang nempatin posisi itu," ujar Allena mulai mengerti apa yang dibicarakan kembarannya.
Arlan mengangguk, "Setelah lama menjabat, Gerry berubah. Dia terlihat menikmati jabatannya sebagai wakil gue."
"Itu artinya, ambisi Gerry dimulai dari ruangan ini." Jessica mulai menyimpulkan.
Krystal mengerutkan kening, "Tapi kenapa gue nerima pesan yang bilang kelinci itu akan melompat di atap sekolah? Bukannya lo udah cek atap, Niel?"
Daniel mengangguk, "Kosong. Tidak ada siapapun di sana."
"Jadi artinya pesan itu bohong?" tanya Nathan meragu.
"Bisa jadi pesan itu jujur. Tapi tidak bisa dipastikan kalau pesan itu akan terjadi." Semuanya menatap Zoya yang baru saja mengeluarkan kalimat itu setelah dari tadi hanya diam menonton.
"Maksudnya?"
"Pesan itu dikirim oleh seseorang yang gak dikenal. Tapi tidak bisa dipastikan kalau orang itu tahu apa yang akan terjadi nanti. Bahkan kalaupun si pengirim pesan adalah sang pembunuh, itu tidak membuktikan kalau korban benar-benar akan terbunuh di atap sekolah."
"Jadi, maksud lo ... takdir bisa merubah semuanya?" tanya Krystal meringkas.
Zoya tersenyum, "Ya. Tidak ada yang pernah tahu bagaimana takdir bertindak."
Semuanya terdiam, membenarkan perkataan Zoya. Jessica berdecak, "Kenapa diam lagi?! Bagaimana kalau terjadi sesuatu di dalam sana?!"
Kesadaran mereka kembali. Daniel langsung menerobos masuk pintu ruang OSIS. Arlan sedikit menjerit melihat pintu itu teraniaya. Bagi Arlan, ruang OSIS adalah kerajaaannya.
"Gerry?!"
Semuanya menutup mulut tak percaya melihat Gerry berdiri dengan pistol mengarah pada dahi wakil ketua OSIS itu sendiri. Gerry pun sama, ia menatap kaget ke arah tujuh orang di hadapannya.
"Kalian?!"
***
To be continued ...
Mau up date lagi kapan gaes??? :*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top