Part 28
Publish on: Senin, 6 April 2020 [02.50]
.
Bagaimana kabar kalian semua? Gimana sama tempat tinggal kalian? Apa udah menerapkan physical distancing dan udah lockdown total?
Semoga kalian baik-baik aja dan selalu ada dibawah perlindungan-Nya :)
Doakan Indonesia cepat sembuh ya guys!
Hari ini special aku publish Part 28 setelah beberapa jam yang lalu baru aja publish Part 27. Seneng gak? Mwehehe ... Part ini buat ucapan maaf aku sama kalian karena aku telat up date dan buat kalian nunggu. Jujur, aku tahu banget definisi menunggu itu seperti apa. Dan hal itu bukan sesuatu yang menyenangkan :(
So, cukup basa basinya dan langsung baca yaa!
But, jangan lupa untuk vote dan kasih komen :") Kali ini aku gak akan nentuin seberapa banyak vote untuk publish part berikutnya. Tapi, vote dan komen kalian akan tetap jadi alasan yang nomor satu kalau mau cerita ini cepat-cepat up date :) So, jangan segan segan memberi vote ya guys!
Cekidot!
MISSION IN SCHOOL
***
Krystal menghempaskan tubuhnya di kasur. Ia memejamkan mata, menyantaikan sejenak tubuhnya yang terasa lelah. Dia benar-benar lelah dengan semua ini. Mental dan pikirannya sudah tidak bisa lagi ia kontrol. Krystal tak tahu harus bagaimana dia menghadapi semua kasus ini. Otaknya terasa penuh dan dia blank, bingung harus berbuat apa.
Misinya untuk mengorek informasi dari keluarga Chika gagal total setelah mengetahui keluarga Ladya berada di Singapura. Krystal juga tidak bisa menemui Marsha untuk klarifikasi, karena gadis itu masih kehilangan separuh ingatannya tentang pembunuhan yang hampir merenggut nyawanya.
Mengambil nafas dalam lalu mengeluarkannya perlahan, Krystal menahan semua keluh kesahnya. Ia memandangi ponsel apel gigit, menampilkan fotonya bersama Gabriel dan Nadya. Mereka bertiga tersenyum lebar, seolah-olah tidak pernah menghadapi suatu masalah yang runyam di dunia ini. Krystal terkekeh pelan, saat itu dia masih berusia lima tahun. Masa-masa dimana dirinya tidak tahu apapun, sangat lugu, bahkan hanya memikirkan masalah permainan dan jajan. Huft, rasanya Krystal ingin kembali ke masa-masa itu.
Tiba-tiba pintunya terbuka, membuat Krystal langsung terduduk tegak dengan wajah terkejut. Ia menghembuskan nafas kesal saat menyadari pelakunya adalah Daniel.
"Gak sopan banget sih langsung masuk kamar orang!" gerutunya. Daniel hanya menaikkan sebelah alis. Ia memandang Krystal tanpa ekspresi. Oh sungguh, Krystal benar-benar tidak mengerti dengan sifat kelewat dingin yang dimiliki Daniel.
"Makan malam udah siap di bawah. Dan ya, gue gak sembarangan masuk. Pintu kamar lo aja yang kebuka," ujar pria itu membela diri.
Krystal memutar mata, "Dimana Bi Minah?" tanyanya melenceng dari topik pembahasan sebelumnya.
"Bi Minah barusan nelpon dan minta izin gak bisa ke sini. Anaknya masuk rumah sakit." Daniel bersidekap dada, menyenderkan punggungnya pada daun pintu dan mengedarkan pandangannya meneliti setiap sudut kamar Krystal. Untuk seorang gadis yang terlihat jutek dan galak seperti Krystal, kamar bernuansa biru muda ini lumayan rapi.
"Terus lo kasih izin?"
Daniel mengalihkan pandangannya pada Krystal, "Apa hak gue buat nolak? Dia ada urusan penting untuk jaga anaknya."
"Okelah. Lo yang masak makan malam kali ini kan?" Daniel mengangguk membenarkan. Krystal turun dari kasurnya lantas segera menarik tangan ketua klub musik itu.
"Lo akan jadi patung beneran kalo diem terus-terusan di pintu kamar gue."
***
"Lan." Arlan membalas panggilan Allena dengan gumaman.
"Menurut lo, wajar gak untuk suka sama seseorang?" Allena menatap kembarannya yang sedang fokus mengurus laporan OSIS. Entah laporan tentang apa, Allena tak memiliki minat sama sekali untuk mengetahuinya.
"Lo abis kepentok meja? Tumben nanya ginian." Arlan melirik Allena sekilas lalu kembali berkutat dengan laptopnya.
Allena meraup kentang goreng di pangkuannya dengan rakus, "Gue juga manusia kali. Tinggal jawab aja apa susahnya sih!"
"Ya wajar lah kalau suka sama seseorang. Gak ada yang pernah larang suatu perasaan untuk hadir," sahut Arlan seakan-akan dirinya adalah The Master of Love yang sudah menghafal teori Menyukai Lawan Jenis di luar kepala.
"Kalau orang yang suka itu gue, wajar gak?" tanya Allena polos.
"Itu mah bukan cuman gak wajar. Terkesan aneh, bahkan mungkin mustahil." Arlan menjawabnya tanpa berpikir dua kali, pria itu terkekeh.
Allena memajukan bibirnya, melempar kentang gorengnya dengan ganas ke arah Arlan. Sayang, lemparannya meleset dan malah mengotori lantai, "Gue serius, Lan!" Ia merengek.
Arlan menghentikan ketikannya lantas menyipitkan mata menatap sang adik, "Lo beneran lagi suka sama lawan jenis?"
"Iya. Dan ini yang pertama kalinya, jadi gue masih agak ragu." Allena menunduk malu. Gadis menyebalkan ini, Arlan bahkan sampai terdiam beberapa detik untuk memahami situasi.
"Siapa yang lo suka?"
Allena menatap kembarannya. Nampak semburat merah muda muncul di kedua pipi, Arlan melongo melihatnya. Fix, Allena benar-benar sudah mencapai masa merah jambunya! Tapi, kenapa Arlan justru merinding?
"Harus banget ya gue kasih tau?" Gadis itu menautkan kedua jarinya. Persis seperti remaja labil yang salah tingkah. Aish, Arlan tak habis pikir ternyata adiknya sudah dewasa. Dan pertanyaan Allena membuatnya ingin menjedotkan diri ke tembok.
"Ya haruslah bego!"
Allena menepuk keras bahu Arlan, "Ish, Arlan! Lo gak boleh ngomong kasar. Itu menurunkan derajat seorang Ketua OSIS!"
Lah?
LAH?!
Arlan segera menempelkan punggung tangannya di dahi Allena. Membandingkan dengan suhu di dahi miliknya sendiri.
"Gak panas," gumamnya.
"Arlan!"
"Ya jawab aja si siapa orangnya. Gak usah sok malu kayak remaja baru puber gitu, aneh aja gue liatnya. Berasa ada keajaiban dunia ke delapan," ujar Arlan datar.
Allena memberengut, ia lalu membisikkan sebuah nama di telinga sang kakak. Detik berikutnya Arlan melebarkan mata, menatap tak percaya pada Allena.
"Anjir! Sumpah lo?!"
Dan Allena hanya mengangguk malu.
Aish!
***
"Niel."
"Hm?" Tanpa menoleh, Daniel masih sibuk membereskan piring bekasnya dan Krystal lalu membawanya ke dapur.
"Kira-kira kelinci selanjutnya siapa?" Krystal mulai menerka-nerka. Gadis itu duduk lesehan di lantai, bersandar pada sofa.
Daniel mengangkat bahunya, "Segala hal yang didasarkan pada perkiraan tanpa bukti memiliki persentase kegagalan 80%."
Ya, Krystal memilih bodo amat dengan ucapan Daniel. Ia kembali berkutat pada surat-surat berisi clue yang diperolehnya sejak ada korban pertama. Krystal menyipitkan matanya, merasa ada yang janggal.
Sementara itu, Daniel selesai dengan urusannya. Ia melihat raut wajah Krystal yang terlalu serius lalu menghampiri gadis itu dan duduk di sofa, tepat di belakang Krystal yang lesehan di bawahnya.
"Kenapa?"
Krystal menggeleng, "Gue ngerasa ada yang aneh aja di surat ini." Ia menunjuk ke-enam surat tersebut. Daniel tersenyum samar.
"Lo urutin aja setiap huruf yang ada di surat dari awal sampai akhir. Mungkin, itu bisa menjadi sedikit tanda."
Ah benar, kenapa Krystal tidak memikirkan itu sedari tadi? Dia dari dulu sangat penasaran dengan huruf terakhir setiap clue. Tanpa menunggu apapun lagi, Krystal mengurutkan semua surat dan menulis hurufnya satu per satu.
K-E-M-B-A-R.
"Kembar?" gumamnya bingung. Ia berhasil memecahkan huruf ini. Namun Krystal tidak memahami makna yang terkandung di dalamnya. Ya, Krystal tahu arti kembar secara umum. Tapi dia tidak pernah tahu apa kaitannya kata itu dengan kasus ini.
"Sudah ada gambaran?"
Krystal menggeleng. Daniel menunduk, mendekat ke arahnya dan menarik sebuah surat. Posisi wajahnya kini tepat berada di samping wajah Krystal. Sedangkan Krystal masih dalam ekspresi bingungnya.
"Kira-kira apa maksud kembar?" tanya Daniel mencoba memancing Krystal.
Namun justru gadis itu mendengus, "Bukannya tadi lo bilang 'Segala hal yang didasarkan pada perkiraan tanpa bukti memiliki persentase kegagalan 80%.' Dan mungkin aja perkiraan gue salah total."
Daniel memutar mata, "Udah, tinggal jawab aja napa."
"Gue gak tahu." Krystal tersenyum lebar. "Emang apa maksudnya? Dan tunggu, gimana lo bisa tahu kalau surat itu akan membentuk sebuah kata? Seakan-akan lo emang udah tahu ini semua." Krystal menolehkan wajah, memandang Daniel dengan curiga. Tak sadar bahwa jarak wajah mereka begitu dekat.
Daniel mengedikkan bahunya, "Suatu saat nanti lo tahu jawabannya."
Krystal mendengus, "Trus arti kembar di sini apa?"
"Pernah berpikir tentang kehidupan orang yang sangat berkaitan dengan kehidupan semua korban di sini?" Bukannya menjawab, Daniel justru melontarkan pertanyaan yang membuat kebingungan Krystal bertambah.
"Jangan sok main teka teki deh. Ini hampir malem, dan otak gue lagi di istirahatkan."
"Oke. Satu pertanyaan gampang. Siapa yang selalu ada di dalam kisah kehidupan para korban?" Mereka masih sama-sama berada di posisi sebelumnya.
Krystal terlihat berpikir, mengaitkan satu cerita ke cerita lainnya. Sedangkan Daniel menunggu sambil sesekali memainkan rambut cokelat panjang milik Krystal.
Detik berikutnya, Krystal melebarkan mata. Daniel terkekeh pelan, "Ketemu jawabannya?"
Krystal masih tak percaya dengan jawaban yang ia temukan, "Maksud lo ... Teressa?"
Daniel mengangguk, menunggu Krystal melanjutkan analisanya.
"Teressa? Dan kata kembar? Apa mungkin?"
Gadis itu tiba-tiba berdiri dari posisinya, menatap Daniel ragu, "Mungkinkah Teressa punya kembaran?!"
Daniel tersenyum, "Who know?"
"Wah! Ini gila! Bagaimana kalau memang itu benar?" Krystal histeris sendiri, merasa bahwa ia berhasil memecahkan sesuatu yang sangat penting dari kasus ini.
Setelah merasa tenang, Krystal kembali duduk lesehan. Namun sepertinya dia menyadari satu hal yang janggal. Krystal lalu membalikkan badannya, menatap Daniel.
Ia menggaruk belakang kepala, "Emm ... sebelum gue tadi berdiri, kenapa gue ngerasa merinding?"
Daniel tersenyum miring lalu mengacak pucuk rambut Krystal, "Gue juga."
Tuh kan, bahkan Krystal merasa lebih merinding setelah Daniel melakukan itu. Lantas ia segera berbalik dan mencoba terlihat fokus pada surat-surat di depannya, nyatanya dia sedang menetralkan detak jantung.
Sial. Kenapa tiba-tiba pipinya memanas?!
Drrttt ...
Bunyi notifikasi pesan masuk terdengar dari ponsel Krystal yang terletak di atas meja. Krystal mengambil ponselnya, penasaran siap yang mengirim pesan di zaman canggih seperti ini.
Unknown
Malam ini. Pukul 23.55. Segeralah ke atap sekolah, sebelum kelinci penuh ambisi itu melompat melewati zonanya.
Krystal mematung. Daniel yang penasaran pada pesan itu mengerutkan keningnya. Terlebih saat melihat ekspresi Krystal yang terkejut, ia langsung merampas ponsel itu dan membacanya.
Nampak rahang Daniel mengeras.
Sial!
Krystal beranjak secara tiba-tiba, "Niel, kita harus ke sekolah sekarang!"
"Tunggu, Tal. Kita gak tahu pesan ini nyata atau hanya pancingan!"
"Itu nyata, gue yakin pesan itu sepenuhnya benar! Gue udah pernah nerima pesan yang sama dan hasilnya selalu tepat sasaran! Gue mohon kita ke sana sekarang, gue gak mau terlambat lagi, Daniel!" Krystal langsung berlari keluar rumah. Daniel mengumpat, ia mengikuti gadis itu.
Diam-diam Daniel menghubungi Nathan dan menyuruhnya mengabari yang lain. Tak lupa mengirimkan nomor ponsel yang tadi mengirimi Krystal pesan dan meminta Nathan untuk segera memeriksanya.
Kali ini pembunuh itu benar-benar menggila!
***
To be continued ...
Mau up date kapan lagi? :*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top