Part 27
Publish on : Minggu, 5 April 2020 [23.00]
Pertama-tama aku mau ucapin makasih buat vote yang kalian berikan :* Aku juga minta maaf yang sebesar-besarnya buat kalian yang nungguin cerita ini up date sampe lumutan :( Meskipun kini sekolah diliburkan beberapa minggu dan aku harus mengurung diri di rumah, tugas sekolah tetap aja diberikan dan itu sungguh menyibukkanku. Dan kelas online tidaklah semenyenangkan kelas nyata. Maaf, aku jadi curhat :)
Udah yah, aku lagi gak mau banyak omong. Kita langsung aja.
Kalau ada typo, komen aja yaa :* Kebetulan aku baru nulis part ini dan langsung ku publish.
Cekidot!
MISSION IN SCHOOL
***
"Anne Zila Pramila dan Anna Zoya Pramila. Lahir pada 27 April, 17 tahun yang lalu. Keduanya saudara kembar, Zila sebagai kakak dengan selisih kelahiran tujuh menit. Zila bersekolah di Galaxy High School sementara Zoya di Epic High School. Keduanya nyaris memiliki bentuk wajah yang sama. Hanya saja Zila sedikit lebih tinggi daripada Zoya. Zila baru saja keluar dari Galaxy High School sekitar satu bulan yang lalu, alasan tidak disertakan." Nathan membacakan data yang ia peroleh dari laptopnya. Allena, Krystal, dan Daniel mendengarkannya dengan baik.
"Jadi, apa dia benar-benar bisa dipercaya?" tanya Krystal ragu.
Allena mengangkat bahunya, "Mungkin bisa, mungkin tidak. Tapi menurut gue, Zoya bicara jujur."
Krystal menghembuskan nafasnya panjang. Kini mereka berempat berada di dalam mobil Daniel, berniat mengunjungi kediaman mendiang Chika, korban kedua pembunuhan berantai yang sedang mereka selidiki. Dimana Arlan dan Jessica? Keduanya pergi bersama Zoya ke RSJ Jakarta, berniat menjenguk Zila sekaligus membuktikan ucapan Zoya tentang kembarannya itu.
"Ini rumahnya." Daniel menghentikan mobil di pinggir jalan, agak memberi jarak dari tujuannya. Sebuah rumah megah berpagar yang terlihat tidak berpenghuni, Krystal jadi ragu dengan rumah itu.
"Lo yakin itu rumahnya?" Daniel mengangguk. Ia ingat betul beberapa minggu yang lalu pernah mengintai rumah tersebut di tengah malam untuk mengawasi Chika.
"Yuk, keluar!" Allena berseru.
Baru saja ia akan membuka pintu mobil, Daniel menginterupsi, "Lo sama Nathan tunggu di sini, awasi keadaan sekitar. Biar gue sama Krystal yang pergi ke sana."
Pria itu lalu mengambil dua buah alat kecil kemudian memberikannya pada Nathan, "Segera hubungi gue kalau ada yang mencurigakan. Kali ini kita gak boleh lengah, gue udah muak sama mereka." Nathan mengangguk singkat, ia menerima pemberian Daniel dan segera memakainya di kuping. Sementara Allena memberikan pandangan penasaran.
Satu alat kecil yang lainnya diserahkan pada Krystal, membuat gadis bermata cokelat itu memandang bingung, "Gue pake juga?" tanyanya sembari menunjuk dirinya sendiri.
Daniel mengangguk sekali, "Rambut lo panjang, bisa buat nutupin supaya gak ada yang curiga."
Krystal akhirnya mengangguk lalu memakai alat tersebut. Ia tahu alat ini, Krystal sering melihatnya di film action dan detektif. Dan dia merasa bangga bisa memakainya.
"Kita turun." Krystal mengangguk, ia membuka seatbelt dan turun dari mobil. Diikuti oleh Daniel. Sedangkan Allena dan Nathan tetap berada di dalam mobil, mengawasi CCTV di sekitar rumah Chika yang sudah diretas oleh Nathan beberapa waktu lalu.
"Itu apaan?" Karena masih penasaran dengan benda kecil di telinga Nathan, Allena memutusan untuk menanyakannya.
"Lo gak tahu ini apaan?" Nathan menatap Allena dengan alis terangkat, cukup terkejut karena gadis itu tidak tahu benda semacam ini.
Dengan polos, Allena menggeleng. Nathan memandangnya datar.
***
Krystal menekan bel rumah di depannya. Ia menunggu sambil melihat-lihat di sekitar rumah itu. Rumahnya memang besar, tapi nampak seperti tidak berpenghuni. Dan Krystal ragu akan ada orang yang membukakan pintu untuknya dan Daniel. Mereka berdua masih berada di luar gerbang. Bahkan bangunan ini terlihat lebih tua daripada rumah yang lainnya. Terbukti dengan gerbang bercorak ukiran yang sudah karatan itu.
Sekali lagi Krystal menekan bel, berharap penghuni rumah ini mendengarnya. Namun sia-sia, sepertinya dugaannya benar. Tidak ada siapa-siapa di rumah itu.
"Lo yakin ini rumahnya? Gak ada siapapun di dalam." Krystal menoleh pada Daniel yang sedang mengamati rumah Chika dengan tatapan datarnya.
"Gue yakin. Tapi sepertinya rumah ini udah gak dihuni lagi." Daniel menghela nafasnya panjang.
"Trus gimana?"
Pria itu tampak memutar kepalanya ke sekitar, "Mungkin ada seseorang yang bisa kita tanyai." Ia lalu melangkah menuju sebuah rumah di samping kediaman Chika, menghampiri seorang perempuan tua yang tengah menyapu teras rumah.
"Permisi, Nek." Nenek itu menghentikan aktivitasnya sejenak lalu melihat ke arah Daniel dengan kerutan samar di kening.
"Ya. Ada perlu apa, Nak?" Beliau meletakkan sapu ijuknya di belakang pintu, lalu berjalan pelan menghampiri Daniel.
"Maaf sebelumnya. Apa benar rumah di sana itu kediaman keluarga Ladya?" tanyanya sopan, menunjuk dengan jempolnya ke arah rumah Chika.
Sejenak si nenek membenarkan posisi kaca matanya yang sedikit melorot, lalu ia kembali menatap Daniel dengan pandangan menilai, "Benar, itu rumah mereka. Siapa kamu?"
"Saya Daniel, teman sekolahnya Chika. Apa ... rumah itu kosong?" tanyanya lagi.
Si nenek menghembuskan nafasnya panjang, "Rumah itu sudah lama tidak berpenghuni, Nak. Terakhir kali yang Nenek tahu, hanya Chika yang tinggal di sana. Lalu beberapa hari ini Nenek tidak lagi melihat anak itu. Apa kamu tahu dimana dia?" Daniel memilih tidak menjawabnya, menunggu nenek kembali melanjutkan ucapannya.
"Chika anak yang malang. Dia harus tinggal seorang diri di kota penuh bising ini, sedangkan kedua orang tuanya sibuk bekerja di luar negeri. Dengar-dengar, Chika terlibat pergaulan yang tidak baik. Anak itu sering pulang malam dan tidak pernah berinteraksi dengan tetangga sekitar. Nenek merasa kasihan padanya, ia dulu adalah anak yang sangat baik dan lucu. Mentalnya pasti terganggu karena kehilangan kasih sayang kedua orang tua." Wanita beruban itu menerawang jauh, mengingat-ingat polah Chika kecil yang dulu seringkali bermain di halaman rumahnya.
"Hanya itu yang nenek tahu tentangnya. Lalu, untuk apa kamu mencarinya? Atau kamu pacarnya?"
Daniel menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal, "Sebenarnya Chika sudah meninggal, Nek."
Sudah Daniel duga, raut wajah si nenek terlihat sangat terkejut, "Meninggal? Bagaimana bisa?"
Daniel tersenyum maklum, "Saya sedang menyelidiki penyebabnya, Nek. Karena itu, saya mendatangi rumah mendiang Chika."
Nenek itu tersenyum kasihan, "Chika memang memiliki nasib yang menyedihkan. Dia bukan orang jahat, meskipun banyak yang mengatakan bahwa kelakuan anak itu sangat buruk saat di sekolahnya."
"Saya tahu itu, Nek." Daniel lalu menghembuskan nafasnya panjang, "Apa Nenek tahu keluarga Chika dimana?"
Si nenek terlihat berpikir, "Kalau tidak lupa. Keluarga Ladya pindah ke Singapura lima hari yang lalu."
"Singapura?" Nenek itu mengangguk, "Baiklah, Nek. Terima kasih sudah mengatakannya. Kalau begitu, saya pamit dulu. Teman saya sudah menunggu lama di sana."
Nenek menoleh, terlihat Krystal yang berdiri di depan gerbang sambil menatap mereka penasaran. Nenek terkekeh, "Gadis yang cantik. Dia tidak akan cemburu melihat anak muda sepertimu mengobrol dengan nenek tua sepertiku kan?"
Daniel melongo, "Eh?"
Masih tertawa pelan, si nenek menepuk bahu Daniel, "Sudahlah, kamu bisa pergi. Meskipun umurku hampir 4 kali umurmu, aku bisa tahu bahwa mata kalian berdua memiliki binar yang sama."
Daniel hanya mengangguk canggung, masih tak paham dengan apa yang diucapkan nenek itu. Ia kembali pamit lalu membungkukkan diri sebagai tanda hormat, lalu bergegas pergi menuju tempat Krystal berada.
Krystal memandanginya dengan wajah penasaran, "Gimana? Apa yang nenek itu bilang?"
"Aneh. Beliau bilang binar mata kita sama."
Krystal melongo, "Hah?"
"Abaikan. Dia bilang keluarga Chika udah pindah lima hari lalu ke Singapura. Selama ini bahkan Chika hidup sendirian di rumahnya." Daniel menyandarkan tubuhnya pada gerbang rumah Chika, terlihat putus asa.
"Jadi kesimpulannya, kita gak dapet apa-apa hari ini?" Daniel mengangguk.
Krystal mengeluh, tapi kemudian ada yang aneh. Ia mendengar suara grasak grusuk dari telinganya. Tidak, suara itu terdengar dari alat yang terpasang di telinganya.
"Nath?" panggilnya. Daniel menegakkan tubuh, memandang Krystal penasaran.
"Ada yang ngikutin kalian." Di dalam mobil sana, Nathan memerhatikan monitor laptop dengan pandangan tajam. Nampak seorang pria berbaju serba hitam mengamati Krystal dan Daniel dari kejauhan.
"Hah? Serius?" Krystal terlihat cemas, "Siapa?"
"Gue gak tahu. Dia pakai pakaian hitam. Dugaan gue, dia seorang cowok. Tubuhnya tinggi, dan dia pakai topi." Allena yang berada di samping Nathan terlihat mengamati pria misterius di dalam monitor dengan saksama.
"Dimana dia?"
"Di balik gang samping rumah nenek yang tadi Daniel temui. Dia sembunyi di balik pagar."
Allena mengerutkan keningnya, sepertinya ia familiar dengan pria misterius itu. Lalu detik selanjutnya Allena sadar siapa dia. Segera gadis itu mendekatkan dirinya ke arah Nathan.
"Ta, sepertinya gue kenal orang itu. Dia Revan, temen sekelas lo!"
Krystal membuka mulutnya tak percaya, Daniel menatapnya penasaran, sedangkan Nathan tengah menetralkan detak jantung yang dengan kurang ajarnya berdetak kencang setelah Allena membisikkan informasi itu tepat di kupingnya yang terpasang alat pendengar khusus.
Tolong, jarak mereka tadi menjadikan Nathan --si playboy dari jaman manusia purba itu-- menahan nafasnya.
***
To be continued ...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top