Part 20 (Revision)

Publish on : Minggu, 1 Desember 2019 [10.40]

MISSION IN SCHOOL

°°°

Meskipun hari libur, kantin tetap saja ramai. Entah itu murid ekskul yang sedang istirahat ataupun siswa siswi yang sekedar datang ke sekolah untuk nongkrong.

Krystal, Jessica, dan Allena berjalan ke arah kantin paling ujung. Mereka memesan nasi goreng lengkap dengan es teh.

"Lo gak papa, Ca? Muka lo masih pucat, tuh," tanya Allena pada Jessica yang sedang mengaduk-aduk es tehnya.

"Gak papa, udah gak pusing lagi, kok."

"Lagian lo kenapa, sih? Bisa-bisanya pingsan di toilet." Krystal menatap sahabatnya itu penasaran.

Jessica terdiam, lalu kemudian mengedarkan pandangannya, "Eh, itu Revan! Kita mau interogasiin dia, kan?"

"Mana?"

"Tuh, di belakang lo, Len. Yang lagi antri siomay," ujar Jessica sembari menunjuk seorang pria jangkung berbaju hitam putih yang sedang mengantri siomay.

"Revan? Kenapa sama dia? Kok, perlu interogasi?" tanya Krystal tak mengerti.

"Gue, Jessica, sama Nathan tadi udah nemuin petunjuk bahwa korban selanjutnya adalah anak ekskul panahan. Nah, Revan tuh salah satu anggotanya. Ya, kita mau interogasi dia. Siapa yang paling pintar dalam ekskul itu, paling mencurigakan, dan yang lainnya." Allena menjelaskannya pada Krystal.

"Jadi, siapa yang mau interogasi?"

"Gue aja," ucap Jessica mengajukan diri.

"Lo yakin, Ca? Abis pingsan loh tadi, kalau lo lupa." Krystal tak yakin dengan sahabatnya itu. Pasalnya wajah Jessica masih terlihat pucat.

"Gak lupa, kok. Ada yang pengin gue bicarain sama dia juga."

Krystal penasaran, tapi ia mengangguk saja. Dilihatnya Jessica berdiri, "Jagain nasi goreng gue, ya. Awas kalau kalian berani ambil sesendok pun!" ancamnya, matanya menyipit, terutama saat memandang Allena.

Sementara Allena hanya memutar bola matanya malas lalu kembali memakan nasi gorengnya.

"Iya, Nyai! Udah sana, nanti keburu Revannya pergi."

Jessica menghela napasnya sejenak lalu pergi menemui Revan. Ada satu hal penting yang ingin ia tanyakan pada pemuda itu, selain ekskul panahan tentunya.

"Van."

Pria bermata coklat itu menoleh, "Eh, Ca. Kenapa?"

"Gak papa, gue mau ngomong sama lo."

"Ya itu lo lagi ngomong, ngomong langsung aja kali," ujar Revan sambil terkekeh.

Jessica berdecak, "Bukan di sini."

"Ya udah, bentar dulu. Gue belom bayar, nanti abangnya marah lagi."

Revan menghampiri penjual siomay dan memberikan uang lima ribuan lalu berbincang sejenak kemudian berbalik menuju Jessica.

"Udah. Mau ngomong dimana?"

"Ikut gue."

***

"Lo ikut ekstra Anak Panah kan?" tanya Jessica langsung saat tadi dirinya bingung ingin mengawalinya dengan kalimat apa.

Saat ini keduanya berada di depan perpustakaan. Memang, hanya area perpustakaan yang selalu sepi, entah itu saat sekolah libur ataupun tidak.

Revan mengerutkan keningnya, "Iya. Kenapa memangnya?"

"Gak papa, tanya aja. Emang tuh ekstra ngapain aja, sih?" Diam-diam Jessica merutuki dirinya yang bodoh dalam membuat pertanyaan.

"Sesuai namanya, lah. Ngelatih anak-anak supaya bisa memanah. Ya kali melatih untuk bisa memasak, salah server kalau gitu," ujar Revan terkekeh.

Jessica nyengir, "Emmm ... yang paling pintar main panah di ekstra itu siapa?"

"Yang paling pintar mah gue," jawab Revan sombong.

Jessica memutar bola mata, "Selain lo?"

"Gak tau. Kenapa, sih? Tumben banget lo nanya gituan ke gue, aneh." Jessica menelan salivanya kemudian memalingkan muka.

"Penasaran aja," gumamnya.

"Lo interogasi gue?" tanya Revan santai, pria itu memandangi lapangan basket yang ada di hadapannya.

"Hah?"

"Lo punya pertanyaan apa ke gue? Kalau misal ada sangkut pautnya sama geng detektif abal-abalan lo itu, gue mungkin bisa bantu," ujar Revan datar.

Jessica memerjabkan matanya. Ia menyelipkan helai rambut yang tak terikat di samping telinga, mencoba tidak terlihat gugup.

"Van." Revan menoleh, "lo tahu sesuatu tentang kasus ini?"

Pria itu hanya tersenyum tipis, "Gue tahu."

"Seberapa banyak?"

"Sembilan puluh delapan persen."

Mata Jessica membulat. Revan tahu sebanyak itu. Artinya, kemungkinan besar dia tahu siapa dalang di balik pembunuhan ini. Tapi, kenapa dan bagaimana Revan bisa tahu? Siapa Revan sebenarnya?

"Lo mau tahu siapa pembunuhnya?" tanya Revan santai. Jessica mengangguk ragu. "Sebaiknya jangan, atau lo bisa jadi kelinci selanjutnya. Gue gak mau itu terjadi sama lo, cukup mereka aja. Biarkan semuanya mengalir, waktu yang akan mengakhirinya sendiri," ucap Revan.

Bahkan Revan tau tentang 'kelinci' itu. Tapi, siapa yang dimaksud Revan sebagai 'mereka'?

"Van." Jessica menatap pemuda itu dengan sorot dalam. Revan melihatnya, namun pria itu memilih untuk memalingkan wajah dan menunduk. Sementara Jessica masih menatapnya, "Apa kematian Ressa ada hubungannya dengan kasus ini?" Dan pertanyaan yang sejak tadi mengganjal di hatinya dapat terlontarkan.

Beberapa menit Jessica menunggu, Revan tetap diam. Jessica menghela napasnya panjang lalu ia menatap langit yang terlihat cerah siang ini. Ia tersenyum samar. "Kalau gue bilang gue ketemu Ressa ... lo percaya gak, Van?"

***

Setelah kepergian Jessica, Nathan dan Daniel datang lalu duduk bersama Krystal dan Allena. Keduanya langsung memesan mie ayam dan es teh.

"Arlan mana?" tanya Allena.

Daniel diam, sedangkan Nathan mengedikkan bahunya, "Doi langsung pergi dan ngilang di tikungan setelah kalian mutusin ke kantin."

"Terus kalian ngapain? Kok, lama banget tadi."

"Gak ada, cuman urusan kecil doang," jawab Nathan sembari mengaduk-aduk mie ayamnya.

Krystal melirik ke arah Daniel. Pria itu nampak sedang berpikir keras. Terlihat seperti tengah melamun, namun wajahnya tetap datar. Dari situ, Krystal menebak bahwa Daniel mengetahui sesuatu, atau terkena suatu masalah.

"Mau kemana lo?" tanya Allena saat melihat Krystal tiba-tiba berdiri dari tempat duduknya.

"Toilet, mau ikut?"

"Gak, ah."

"Ya udah. Niel, buruan!" Krystal menarik lengan Daniel sampai membuat pemuda itu terkejut.

"Hah? Kemana?"

"Ck. Toilet," jawab Krystal.

"Kenapa gue ikut?"

Krystal langsung menarik tangan Daniel, "Ya kan lo bodyguard gue, pinter!" bisiknya sambil melirik Allena yang nampak acuh. Semoga Allena tidak mendengarnya.

Setelah beberapa detik, Daniel sadar. Ia mengangguk lalu mengikuti langkah Krystal dari belakang. Hal itu membuat Krystal geram. Pasalnya Daniel bersikap seolah bodyguard asli yang berjalan di belakang majikannya. Ya, memang benar sih, kalau Daniel itu ditugaskan menjaga Krystal. Tapi gak gitu juga kali.

"Ih, sampingan dong! Masa lo jalan di belakang, sih?" Krystal menarik tangan Daniel dan membuat pria itu berjalan di sampingnya.

Daniel hanya diam seperti biasanya.

Di pertigaan lorong kelas XII, Krystal berbelok. Daniel yang menyadari bahwa gadis itu salah arah segera mencekal lengannya.

"Mau kemana lo? Kan, toiletnya di kiri."

Krystal memutar bola matanya, "Gak jadi ke toilet."

"Terus?"

"Gue mau nanya sesuatu sama lo." Krystal menatap pemuda itu serius. Ia lalu membawa Daniel ke belakang gudang sekolah yang sepi. "Lo tahu sesuatu?" tanya Krystal to the point.

"Tentang?"

"Kasus ini. Gue tahu, lo nyembunyiin sesuatu dari kita, kan?" Tatapan Krystal memicing, "dari tadi lo ngelamun terus."

Daniel menghela napasnya, "Buat apa lo tahu?" tanyanya datar.

Krystal membuka mulutnya, "Lo tuh, ya! Kasus ini ada kaitannya sama gue, jadi gue---" Kata-katanya terhenti saat Krystal menyadari dirinya keceplosan. Krystal menggigit bibir bawahnya.

Nih mulut ember banget sih!

Mendengar itu, Daniel tersenyum miring dan menatap Krystal, "Akhirnya lo ngaku juga."

Terlihat kerutan di dahi Krystal, "Maksudnya?" tanya gadis itu.

"Gue juga tahu lo nyembunyiin sesuatu." Daniel merogoh sakunya lalu mengeluarkan selembar kertas, "Nathan meretas isi handphone Nicko dan Chika. Di sini ada salinannya dan itu semua mengarah pada pesan misterius. Seperti kasus Nicko, ada yang mengirim pesan bahwa flashdisk dan buku paket pria itu tertinggal di laci meja. Pesan itu membuat Nicko langsung percaya karena memang flashdisk dan bukunya tertinggal. Tapi, dia gak tau kalau dirinya dijebak sama pengirim pesan.

"Lalu yang kedua, Chika. Dia dapat pesan yang mengarah kalau gue pengirimnya, padahal bukan. Pengirim pesan ini menggunakan nama gue untuk menjebak Chika. Chika dapat pesan kalau gue menerima nada sama lagu yang Chika buat sendiri. Padahal aslinya enggak, gue udah pernah nolak secara langsung waktu dia pertama kali nyamperin gue buat ngasih nada sama lagunya. Dapat pesan yang kayak gitu membuat Chika merasa senang. Lalu pesan itu juga berisi perintah supaya Chika langsung ke ruang musik karena gue udah nunggu di sana, padahal dia dijebak. Itu terjadi waktu gue ngikutin Chika. Gue juga lihat Chika sempet mampir ke rumah sahabatnya, Marsha. Marsha awalnya gak mau Chika dateng ke sekolah malam-malam, tapi Chika keras kepala. Alhasil mereka cek-cok. Sampai Chika tetap datang ke sekolah dan semua itu terjadi," jelas Daniel panjang lebar.

"Lo tahu sebanyak itu?" Krystal tak percaya.

"Gue detektif, tahu gimana cara cepat semuanya selesai tanpa harus terfokus pada korban selanjutnya tetapi juga menyelidiki korban yang sudah berjatuhan."

Krystal menganggukkan kepala, "Lo gak penasaran tentang kaitannya kasus ini sama gue?"

Tak disangka, Daniel tersenyum tipis, "Nanti juga ketahuan. Kalau lo belum siap cerita, gue gak maksa."

Krystal menatap Daniel, pun sebaliknya. Untuk ke sekian kalinya, Krystal dibuat kagum oleh sosok Daniel Zeandra.

***

"Apa maksud lo?" tanya Revan bingung setelah Jessica mengatakan kalimat itu.

Ressa sudah meninggal, ia sendiri yang melihat jasad sahabatnya dibawa ambulance. Ia sendiri yang melihat jenazah sahabatnya dikubur.

"Hah? Eh, enggak ... gak papa, heheh." Jessica menggigit bibir bawahnya.

Mulut sialan! Kenapa bisa sampai keceplosan?

"Jangan bohong. Lo ketemu Ressa, maksudnya apa? Dia udah gak ada." Revan memandang Jessica tajam.

Jessica makin bingung sekarang. Ia memikirkan segala cara untuk mengalihkan pembicaraan ini. Bagaimana pun juga, tidak ada yang boleh tahu rahasia terbesarnya itu.

Drrrttt... Drrrttt....

Gadis itu tersentak saat merasakan getaran pada ponselnya. Ia mengucap syukur dalam hati lalu segera mengangkat panggilan itu.

"Halo, Len."

"Eh, Cabe! Lo dimana anjir?!"

"Depan perpustakaan. Kenapa, sih?"

"Nasi goreng lo udah dingin, makan gue aja, ya? Lo kelamaan, sayang kalo dibiarin, mubadzir, gak baik."

Jessica memutar bola mata, "Serah lu!"

"Oke, deh. Langsung gue makan, nih. Lo cepat balik! Interogasi kok lama banget. Situ beneran interogasi atau malah modus buat pdkt?"

"Bacot lo!"

"Hewan mah itu."

"Itu bekicot, pinter!"

"Hahah, udah deh, gue tutup. Bay!"

Tuutt!

"Eh, Van. Gue duluan, ya! Udah ditungguin soalnya, heheh." Jessica nyengir lebar dan segera beranjak.

Namun, lengannya dicekal oleh Revan, "Gue tahu ada yang lo sembunyiin dan itu ada hubungannya sama gue atau Ressa. Gue mohon, kalau lo siap untuk ceritain itu, gue selalu ada."

Jessica mengangguk ragu. Kemudian ia langsung melenggang pergi meninggalkan Revan saat cekalan pria itu lepas.

Revan memandangi sejenak punggung kecil yang kian menjauh tersebut. Setelah Jessica tidak terlihat, ia mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang.

"..."

"Lo bebas lakukan apapun ke mereka, tapi jangan pernah sakitin Jessica. Dia cuman gak sengaja masuk ke geng detektif itu. Gue ada urusan pribadi sama cewek ini."

Tuut!

Revan memutuskan sambungan teleponnya. Pria itu menghela napas panjang. Ia sebenarnya tidak ingin melakukan ini, tapi ia terpaksa. Bukan ini yang Revan mau, tapi semuanya sudah terjadi. Revan tidak bisa lagi mengubahnya. Cukup ikuti saja seperti air yang mengalir.

"Revan?"

Panggilan itu membuat Revan cukup terkejut. Ternyata di belakangnya ada Krystal yang sedang berdiri. Di samping Krystal, ada Daniel dengan muka datarnya. Melihat itu, Revan langsung mengubah mimik wajah.

"Hei Krys, Niel!" sapanya riang.

"Jangan panggil gue Krys! Berasa cowok tau gak," kesal Krystal menatap Revan tajam.

"Ya ampun, Neng! Lo pengin gue panggil apa, sih?! Serba salah gue macam Mak Raisa. Krys gak boleh, Tal juga salah, mau gue panggil Deya?"

Mendengar nama panggilan itu disebut, entah kenapa hati Krystal berdenyut sakit. Ia ingat siapa yang selalu memanggilnya dengan sebutan Deya.

"Itu apa lagi! Jangan pernah lo manggil gue dengan nama itu!" ancamnya sembari melotot pada Revan.

"Apa salah hamba, Tuhan?" Revan memasang wajah melasnya. "Bodo amatlah, Neng. Abang mau pergi aja. Dah, Eneng! Oh ya, Daniel, diam aja lo dari tadi. Gue duluan ya, bro!" Revan menepuk sekilas bahu Daniel lalu melenggang pergi.

Sementara Krystal sempat ingin protes karena panggilan Revan yang tampak mengesalkan baginya. Tolong lah, ya. Krystal kan baik, manis, imut, cantik, rajin menabung pula. Masa dipanggil Eneng, sih?

Melihat wajah kesal gadis itu, Daniel terkekeh pelan. Ia lalu mendekat kemudian menekan pipi Krystal dengan jempol dan jari telunjuknya hingga bibir Krystal terlihat seperti bebek.

"Gak usah cerewet. Malu sama bebek," ujar pria itu sebelum akhirnya beranjak pergi memasuki perpustakaan.

Krystal masih terdiam. Ia memegang pipinya yang terasa panas. Kerutan samar ada di dahinya.

"Apa hubungannya sama bebek?"

***

To be continued...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top