Part 19 (Revision)
Publish on : Sabtu, 23 November 2019 [07.30]
MISSION IN SCHOOL
°°°
Jessica berjalan tergesa-gesa menuju toilet. Ia mendapat panggilan alam di saat dia, Allena, dan Nathan hendak pergi ke kantin untuk menemui Revan.
Bruk!
"Aduh, sialan!" Jessica mengumpat keras ketika pantatnya mencium lantai koridor dengan naas.
"Eh, sorry, Jes. Gue gak lihat tadi, heheh." Dengan wajah tanpa dosanya, Rendi nyengir dan segera membantu Jessica berdiri.
"Kampret lo! Kalau jalan lihat-lihat, dong! Mata lo dimana, sih?" kesal gadis itu.
"Ya sorry. Kan, gue gak sengaja. Lagian lo ngapain lari-larian di sini?" tanya pria berambut hitam legam tersebut.
Rendi adalah teman sekelas Jessica sekaligus ketua kelas XI IPA 2. Ia dikenal sebagai orang yang berkepribadian ramah dan murah senyum. Wajahnya gak ganteng, tapi manis. Selain itu, Rendi humoris dan suka menjahili orang lain, sebelas dua belas dengan Revan. Entah apa yang merasuki murid-murid XI IPA 2 hingga menjadikan Rendi sebagai ketua kelas mereka.
"Gue kebelet, makanya lari-larian. Lo ngapain di sekolah?"
"Ada jadwal ekstra. Ya udah, gue duluan, ya. Awas nabrak lagi." Pria itu terkekeh sejenak lalu melenggang pergi. Sedangkan Jessica hanya acuh dan kembali berlari menuju toilet di ujung sana.
Sesampainya di toilet, Jessica langsung masuk ke salah satu bilik dan segera menuntaskan panggilan alamnya.
Selesai dengan urusannya, Jessica hendak keluar dari toilet itu. Namun, dahinya mengernyit saat pintu toilet tidak bisa dibuka. Ia terus memutar kenop pintunya, tapi nihil. Jessica menggedor-gedor pintu toilet, tetap tidak ada perubahan.
"Woi! Ada orang di sana? Bukain pintunya, gue kekunci di sini!"
Hening.
Jessica terus berteriak minta tolong namun tetap tidak ada yang menyahutinya. Keringat dingin mulai membasahi wajah, ditambah ia saat ini sedang berada di tempat yang tidak disukainya. Jessica tidak suka toilet, apalagi toilet sekolah. Bukan, bukan karena ia tidak tahan terhadap bau toilet yang naudzubillah. Tapi karena hawa toilet yang entah mengapa membuat Jessica merinding. Ia benci situasi seperti ini.
"Tolong!" Sekali lagi Jessica teriak, namun tak ada jawaban sama sekali.
Lampu toilet padam. Seketika Jessica tidak melihat apapun. Jantungnya berdegup kencang. Napasnya memburu, ia memandang ke segala arah. Berharap dirinya mendapatkan pencahayaan, namun sia-sia. Sekelilingnya hanya ada kegelapan.
Lalu lampu menyala, kemudian padam lagi. Begitu seterusnya sampai Jessica menutup mata dan telinga. Ia menggeleng gelengkan kepalanya. Meskipun ia sering mengalami kejadian ini selama satu tahun terakhir, Jessica tetap ketakutan. Tiba-tiba keran air menyala, mengeluarkan cairan berwarna merah pekat. Bau anyir mulai menyeruak.
Jessica menangis, ia benci hal ini. Ketakutan itu tak kunjung hilang. Jessica membenci dirinya sendiri.
"Tolong ...."
Itu bukan suara Jessica, melainkan suara lirih seorang gadis yang berdiri di pojok toilet.
Jessica mendongakkan kepalanya perlahan. Ia kembali menutup matanya saat melihat sosok gadis itu.
"Jangan takut." Hantu itu mendekatinya.
"Pergi!" Keringat terus bercucuran di dahi Jessica, bercampuran dengan air mata. Jessica takut.
"Aku tidak akan menyakitimu." Darah yang terus mengalir dari pelipis sosok itu mengeluarkan bau anyir. Langkahnya semakin mendekati Jessica.
"Gue bilang pergi!" Jessica terduduk lemas. Ia sangat takut sekarang.
"Aku mohon ... dengarkan aku." Sosok itu berujar lirih.
"PERGI SIALAN!"
Jessica merapalkan doa di dalam hatinya. Matanya masih terpejam. Air matanya pun masih berdesakkan keluar membasahi pipi, bercampur dengan keringat yang juga sudah membuat rambut Jessica lepek. Gadis itu terlihat sangat kacau.
Lima menit berlalu, tidak ada suara apapun. Jessica mencoba membuka matanya. Nihil. Hantu itu sudah pergi. Lampu menyala kembali. Keran air-nya pun mati, tidak ada darah di sana. Hanya saja ...
Tiba-tiba dinding toilet mengeluarkan tetesan darah. Bau anyir kembali Jessica cium. Namun gadis itu tetap diam sembari menatap darah yang merembes keluar dari dinding.
MAAFKAN AKU.
Darah itu membentuk sebuah kalimat. Jessica tidak mengerti maksudnya. Mengapa hantu itu meminta maaf kepadanya? Apa karena sudah menakut-nakutinya?
Jessica tak menghiraukan pertanyaan batinnya tersebut. Ia memilih untuk mencoba memutar kenop pintu, ternyata terbuka. Langsung saja Jessica keluar dari bilik toilet. Tapi, baru saja keluar dia sudah disuguhi pemandangan mengerikan.
Hantu itu, berada tepat di depannya. Dengan darah yang memenuhi wajah pucatnya. Berdiri memakai seragam sekolah yang lusuh dan ternodai oleh banyak darah.
Jessica berteriak, lalu kemudian ia tak sadarkan diri. Jessica tahu siapa sosok itu.
Dia ... Teressa Karmila.
***
"Gimana kondisi Jessica, Len?" Krystal menghampiri Allena yang tengah berbicara dengan Nathan. Wajahnya pucat, ia khawatir. Allena tiba-tiba saja menghubunginya melalui ponsel Jessica dan memberitahu bahwa sahabatnya itu pingsan.
"Kata Bu Nisa, sih, gak papa. Cuman kecapekan aja," jawab Allena sembari menoleh kepada kembarannya. Arlan terlihat berbeda. "Tuh bocah kenapa?" tanyanya berbisik pada Krystal dengan pandangan menyipit dan menunjuk Arlan.
Sejenak Krystal ikut menatap ketua OSIS itu. Ia juga baru sadar pandangan Arlan berbeda. Bahkan sejak keluar dari rumah Nicky tadi, Arlan membisu. Pemuda itu tiba-tiba menjadi lebih pendiam.
"Gue juga baru sadar," gumam Krystal lirih.
"Apa yang lo dapatin di rumah almarhum Kak Nicko?" Allena bertanya sembari menaikkan kedua alisnya.
"Cuman kisah antara almarhum Kak Nicko, Kak Nicky, dan Ressa."
Allena mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia kembali memalingkan pandangannya kepada Arlan. Kembarannya itu terlihat marah, kecewa, dan sedih. Ia tentu juga bisa merasakannya.
Apa ini ada hubungannya dengan Ressa?
Setahu Allena, hubungan Arlan dan Ressa tidak pernah terkena masalah. Mereka menjalin hubungan itu selama lima bulan sebelum akhirnya Ressa bunuh diri. Saat mereka resmi berpacaran, Allena merasa bahwa otak Arlan sedikit bergeser karena senyum-senyum sendiri dari mulai pulang sekolah sampai berangkat sekolah lagi.
Di situlah Allena merasa bahwa orang yang sedang jatuh cinta pasti akan segila Arlan. Itu artinya, semua orang di muka bumi ini pasti punya sisi gila.
Tapi setelah berita Ressa yang bunuh diri dan meninggal sampai di telinga Allena, ia langsung kembali ke sekolah untuk menemui Arlan. Kebetulan saat itu Arlan sedang mengikuti latihan basket untuk turnamen lomba. Allena tiba-tiba merasa jantungnya berhenti berdetak, kacau, dan ia tau bahwa semua itu adalah rasa yang dirasakan oleh Arlan.
Sesampainya di sekolah, Allena menerobos hujan dan menuju lapangan basket. Tapi nihil. Kemudian kakinya melangkah entah kemana, dan sampailah dia di rooftop, tempat dimana Ressa memilih untuk bunuh diri.
Arlan ada di sana. Berdiri, memandang ke langit, membiarkan jersey kebanggaannya basah. Sejenak Allena merasa khawatir, takut kembarannya itu memutuskan untuk ikut bunuh diri juga. Tapi setelah ia melihat Arlan terduduk di sana, dia langsung menghampirinya dan memeluk tubuh jangkung itu.
Arlan menangis. Meski tidak ada suara yang keluar, Allena tahu. Saat itu, Allena hanya berharap bahwa kejadian ini tak akan terulang lagi. Meski hari-harinya dan Arlan tidak pernah luput dari pertengkaran antarsaudara, tapi tidak bisa dipungkiri jika Arlan saat ini adalah pelita hidupnya. Allena hanya memiliki Arlan, ia tak mau Arlan sekacau ini. Apalagi setelah berkali-kali mendengar ucapan yang sama saat itu.
Gue hancur, Len.
"Lena!"
Lamunan Allena hilang saat Krystal memanggilnya. Kini semua orang memandangnya aneh. Allena mengerjabkan matanya lalu berdehem.
"Ngapain kalian lihatin gue kayak gitu? Kecantikan gue overdosis, ya?"
Semuanya mendadak menghela napas lega, "Gue kira lo kenapa-napa. Abisnya diam mulu dari tadi," ujar Krystal.
"Dia itu begonya yang overdosis, pede-nya gak ketulungan. Mungkin waktu pembagian kapasitas otak, dia cuman kebagian ampasnya doang. Jadi gak seimbang antara kapasitas otaknya sama punya Arlan. Beda jauh," sahut Nathan.
Allena berdecak, "Serah lu berondong! Yang penting gue cantik."
"Udah, deh. Ke kantin, yuk! Abis pingsan gue lapar banget, kayak gak makan seabad." Jessica mengusap-usap perutnya dengan tampang memelas. Bahkan Allena tidak sadar bahwa Jessica juga sudah siuman dan keluar dari UKS.
Wajah gadis itu juga masih pucat, tapi tidak sepucat tadi saat Allena dan Nathan menemukan Jessica pingsan di sudut toilet.
"Yuk, ah! Gue juga lapar." Krystal menggandeng tangan Jessica. Mereka jalan duluan menuju kantin.
Allena yang merasa ditinggal pun langsung mengejar mereka. Gadis itu memberengut dan ikut menggandeng lengan Jessica lalu mereka kembali berjalan. Arlan beranjak dari tempatnya. Ia menuju koridor kelas XII, menghilang di balik tikungan. Entah Arlan pergi kemana.
Sementara itu, Nathan menghampiri Daniel dan menyerahkan sebuah kertas.
"Gue udah cek handphone Nicko sama Chika yang lo kasih waktu itu. Ada salinan sms dan chat WhatsApp sampai media sosialnya di kertas ini," ujar Nathan.
Daniel menerima kertas tersebut, "Apa yang lo dapat?"
"Semua dugaan lo benar."
***
Maafin aku, Ar. Aku belum bisa balas perasaan kamu sampai sekarang.
Kalimat itu masih terngiang-ngiang di telinga Arlan. Kalimat terakhir kali yang ia dengar dari bibir pucat Ressa, pacarnya. Saat itu Arlan sedang mengikuti latihan basket untuk turnamen minggu depan. Lalu tiba-tiba Ressa menghampirinya, ia merasa senang dan meminta izin untuk pergi dari latihan dan menemui Ressa. Keduanya pun menuju tempat favorit mereka, rooftop.
Arlan memandang ke bawah, tepat dimana ia bisa melihat para murid yang sedang mengikuti ekstra basket. Ia tersenyum getir, tempat inilah yang menjadi saksi akan berakhirnya kehidupan Ressa. Tempat ini juga yang menjadi awal hubungan mereka.
Ressa, gue suka sama lo. Mulai saat ini lo jadi pacar gue.
Arlan terkekeh pelan. Ia mengingat-ingat kembali awal mula dirinya berpacaran dengan Ressa. Saat itu, entah kenapa Arlan langsung meng-klaim Ressa sebagai pacarnya. Ressa hanya diam melongo dan beberapa kali mengerjabkan mata. Terlihat sangat menggemaskan. Bagi Arlan, Ressa adalah cinta pertamanya. Gadis nerd itu, satu-satunya perempuan yang ingin ia lindungi setelah Allena.
Tapi, kalimat terakhir Ressa masih terekam jelas di memorinya. Arlan tertawa miris, ternyata hanya dirinya-lah yang mencintai. Satu kalipun, Ressa tidak pernah membalas perasaannya. Itu sama saja dengan kalimat, bahwa hubungan yang ia jalani sia-sia. Ressa tidak pernah menyukainya, gadis itu hanya kasihan padanya. Mungkin Ressa adalah gadis yang terlalu baik sampai-sampai untuk menolak perasaan seorang pria seperti Arlan pun ia tak mampu. Tapi Arlan lebih memilih untuk ditolak daripada menjalani hubungan tanpa adanya perasaan yang berbalas.
Bagaimanapun Arlan menyangkal, semua itu adalah kesalahannya. Arlan tidak pernah menembak Ressa, ia hanya mengungkapkan perasaan lalu dengan seenak jidatnya meng-klaim Ressa sebagai pacar. Tentu saja hal itu sama dengan tidak memberikan Ressa kesempatan untuk menolak. Jadi, siapa yang salah? Arlan sendiri, kan.
Setelah mendengar kisah Nicko di rumah Nicky tadi, Arlan merasa marah. Dia kecewa. Ressa sudah di bully sejak awal dirinya masuk SMA. Tapi, Arlan sama sekali tidak menyadarinya. Seringkali ia mendapati lengan Ressa memar, Ressa bahkan sering terlihat pucat, tapi gadis itu tidak pernah memberitahu kebenarannya. Ressa hanya berkata bahwa dirinya baik-baik saja. Bahkan dia masih sanggup untuk tersenyum pada Arlan yang sudah khawatir padanya.
"Bodoh," gumamnya mengarah pada diri sendiri.
Arlan kembali menatap ke bawah, berada di rooftop memang membuatnya tenang. Apalagi ketika melihat ratusan anak berkeliaran di bawah sana. Kira-kira kalau jatuh ... gimana rasanya, ya?
"Kalau mau lompat, ya lompat aja. Paling kalau gak mati, lo bakal sekarat."
Hampir saja Arlan terjatuh. Pria itu memegangi dadanya yang berdetak kencang. Untung saja kakinya bisa menyeimbangkan diri, kalau tidak ... entah bagaimana nasibnya nanti.
Ia menoleh ke belakang, dimana suara tadi berasal. Sejenak Arlan melongo melihat seorang gadis cantik berambut coklat yang di kuncir kuda sedang duduk di kursi tua sambil memakan apel. Arlan tidak pernah melihat gadis itu sebelumnya.
"Kenapa? Gue cantik? Tahu kok, udah dari lahir."
Diam-diam Arlan teringat akan kembarannya. Sepertinya spesies seperti Allena yang otaknya bergeser, begonya gak ketulungan, dan pede-nya overdosis akan bertambah di sekolah ini.
Arlan mengucap istighfar dalam hatinya, beban sebagai ketua OSIS akan bertambah lagi. Ia kemudian berjalan begitu saja meninggalkan rooftop juga gadis yang belum diketahui namanya itu.
Sementara gadis itu bermonolog, "Loh, gak jadi bunuh diri?"
***
To be continued...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top