Part 11 (Revision)
Publish on : Jumat, 27 September [10.01]
MISSION IN SCHOOL
°°°
Krystal tersentak saat ada yang memegang bahunya. Ia menoleh pada Daniel yang memandangnya heran. "Kenapa?"
Gadis itu menggeleng cepat, "Gak papa."
Jemari mereka kini kembali bertautan. Daniel membawa Krystal ke sebuah mini bar. Di sana, ternyata mereka bisa mengawasi Marsha yang sedang berduaan dengan seorang pria di pojok ruangan.
Krystal meringis jijik melihat Marsha yang memakai pakaian sedikit terbuka. Terlebih lagi kedua manusia itu tengah saling memagut bibir di saat ramai seperti ini.
"Kalo gak sanggup, gak usah diliatin," tegur Daniel datar.
Krystal berdecak. Siapa juga yang mau ngeliatin adegan plus-plus seperti itu? Sebenarnya ia sudah sering melihatnya, tapi tidak secara live. Sebagai sahabat yang baik dari seorang Jessica yang note bene-nya pecinta drama Korea, Krystal tentu sudah sering melihat aksi ciuman seperti tadi.
Tapi jujur, ini kedua kalinya ia menyaksikan secara live. Pertama saat di bioskop, dan kedua yaitu saat ini.
"Permisi, Tuan. Anda tidak memesan sesuatu?" tanya seorang bartender kepada Daniel.
"Apa ada air putih?"
"Ha?" Bartender itu terlihat kebingungan.
"Baiklah kalau tidak ada, kami tidak memesan apapun," putus Daniel. Kemudian bartender itu mengangguk kikuk dengan hormat lalu meninggalkan mereka.
"Lo kenapa gak pesan?" tanya Krystal pada pria itu.
"Gue gak minum," jawabnya singkat.
Krystal hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menyetujui dan memaklumi Daniel. Lagi pula, pria itu tak mungkin mau minum dan mabuk-mabukkan. Daniel juga seorang detektif, mustahil jika dia memilih pesan minuman di saat sedang mengawasi sang target.
Krystal memperhatikan Marsha lagi. Terlihat Marsha tengah minum. Entah minuman apa itu, mungkin minuman yang bisa membuatnya mabuk. Lalu pandangan Krystal beralih pada pengunjung club ini.
Dimana pria bermata teduh itu?
Bukannya Krystal jatuh cinta padanya. Lagian, mana mau Krystal jatuh cinta pada seorang pembunuh? Ya, melihat senyum mengerikan yang ia lihat tadi membuat Krystal yakin bahwa itulah pembunuhnya. Mungkin saat ini pembunuh itu sedang memerlukan waktu yang tepat untuk melakukan aksinya.
Tidak mungkin kan, si pembunuh itu membunuh Marsha di tengah keramaian seperti ini?
"Krystal."
"Ya?"
"Maaf."
Krystal mengerutkan keningnya saat Daniel mengatakan itu. Namun sedetik kemudian, matanya melebar terkejut saat merasakan sebuah benda kenyal menempel di pipinya.
Lalu sebuah bisikan terdengar menggelitik, "Ada Revan. Gue gak mau dia tau kita ada di sini."
Revan? Si bocah tengil menyebalkan itu? Kenapa bisa sampai nyasar ke sini? batin Krystal kaget.
Gadis itu mengedarkan pandangannya. Benar, tepat di hadapannya ada Revan sedang berbicara dengan seseorang. Namun Revan tak melihatnya karena pria itu membelakangi posisi Krystal saat ini.
"Di-dia ada di depan kita," cicit Krystal. Antara gugup dengan posisinya dan cemas jika Revan melihatnya di sini. Daniel mengangguk pelan. Ia menjauhkan wajahnya dan memandang tepat pada mata Krystal.
"Mau bantu gue?" tanya Daniel datar.
"Ha?"
Daniel tak menjawab, ia mengambil kedua tangan Krystal lalu meletakkannya di kedua bahunya. Membuat Krystal seolah-olah tengah mengalungkan tangan pada leher pria itu.
Krystal terkejut, hendak menarik kembali tangannya. Namun ditahan oleh Daniel. Ketika Krystal melihat Revan dari sudut matanya sedang menghadap kemari, Daniel sudah lebih dulu menempelkan kening mereka, bahkan hidung keduanya kini bersentuhan dan menimbulkan sensasi aneh di perut Krystal, juga detakan menderu di dadanya. Meskipun mereka dalam penerangan yang remang remang, hal itu tetap tak bisa menutupi rona merah di pipi Krystal.
Di jarak sedekat ini, siapa yang tidak salah tingkah, sih?
Jantung Krystal seakan melompat keluar saat tangan Daniel menempel pada pipinya. Kini posisi keduanya terlihat seperti sedang berciuman.
Di sana, Revan melihat dua orang di depannya dengan kening mengkerut. Revan seolah mengenal mereka yang menurutnya tengah berciuman itu. Tapi, dia tak tau siapa.
Drrttt... drrttt...
Dering ponsel menghilangkan lamunannya. Revan mengambil ponselnya dan melihat siapa yang menelponnya. Ia mengangkat panggilannya lantas segera beranjak dari tempat itu.
Krystal tak mampu lagi mengedipkan matanya. Ia terus menatap manik mata tajam Daniel yang tepat berada di depannya. Dalam jarak sedekat ini, ia bisa melihat manik mata cokelat yang Daniel miliki.
Mata yang indah. Tajam seperti mata elang. Bahkan Krystal harus mengakui bahwa Daniel memang memiliki wajah yang tampan. Ternyata ia menjilat ludahnya sendiri, bukankah dulu saat pertemuan pertama mereka, Krystal menganggap Daniel memiliki wajah pasaran?
"Udah pergi?"
"Hm?"
Krystal mengerjabkan matanya, kemudian melirik ke arah belakang Daniel. Ternyata Revan sudah pergi.
"Udah."
Daniel menjauhkan wajahnya. Begitupun tangan Krystal yang kini sudah tak lagi mengalungi leher Daniel. Krystal menundukkan kepalanya, menyembunyikan rona merah yang menjalar di seluruh wajahnya.
Memalukan.
Sementara Daniel berdiri dan mengedarkan pandangannya, "Sepertinya kita kehilangan target."
Mendengar hal itu, Krystal mendongakkan kepalanya cepat dengan mata melebar. "Yang bener lo?!" Daniel hanya diam dengan mata yang awas. Krystal mendecak lalu ikut mencari keberadaan Marsha.
Semoga Marsha baik-baik saja.
***
Kriiing!
"Buset dah! Bikin gue kaget aja." Nathan mengusap-usap dadanya karena terkejut. Sementara Jessica yang berada di sampingnya hanya menaikkan sebelah alis.
"Kayak gak pernah denger bel sekolah aja lo."
"Situ nyindir?"
"Menurut lo?"
"Nggak, tadi lo muji gue. Makasih," datar Nathan. Jessica tak menyahut. Keduanya kembali memusatkan perhatian pada Megan yang saat ini tengah makan di kantin.
Awalnya, Jessica bertemu dengan Nathan di koridor. Ternyata pria itu ditempatkan di kelas XII IPA 2. Jessica langsung menarik tangan Nathan dan menyuruhnya untuk ikut mengawasi Megan.
Dua jam sudah mereka lewati. Namun, tak ada tanda-tanda mencurigakan yang dilakukan atau terjadi pada Megan. Allena dan Arlan tengah mengawasi May, tepatnya sih cuman Allena yang ngawasin karena Arlan sibuk dengan kegiatan OSIS, yaitu persiapan pesta malam tahun baru. Kebetulan, pesta itu diadakan malam nanti.
"By the way, gue gak punya pasangan buat nanti malam. Lo mau jadi pasangan gue?" tanya Jessica.
Memang acara nanti malam menggunakan konsep berpasangan. Mereka harus datang berdua dan setiap pasangan harus berbeda jenis kelamin. Tidak boleh membawa orang luar atau yang bukan warga sekolah GHS. Selain itu, para siswi harus mengenakan gaun warna putih dan topeng warna putih. Sementara para siswa memakai tuxedo hitam dan topeng hitam.
Sangat ribet. Kalau saja tau akan seperti ini, waktu itu Jessica gak akan memberikan voting pada Arlan untuk menjadi ketua OSIS.
"Oke. Gue juga---"
"Weh, gak bisa! Nathan nanti jadi pasangannya gue! Titik!"
"Astaga!" Jessica dan Nathan sama-sama terkejut, bahkan keduanya hampir terjungkal ke belakang saat mendengar suara cempreng Allena. Udah gitu, Allena langsung motong ucapan Nathan.
"Lena, sejak kapan lo di situ?" tanya Jessica bingung.
Allena memutar bola matanya, "Sejak lo berdua ngumpet di sini."
"Gimana bisa? Bukannya lo lagi ada tugas ngawasin May?"
"Bisa, lah. Kan, yang gue awasin juga ada di sana." Allena mengarahkan jari telunjuknya ke kantin. Terlihat May tengah bersama teman-temannya makan di tempat yang tak jauh dari keberadaan Megan.
"Udah, gak usah ngalihin topik. Intinya, nanti malam Nathan jadi pasangan gue!" ketus Allena membuat Jessica mendelik.
"Eh, apa-apaan! Kan, gue dulu yang udah ngomong ke Nathan. Lagian lo juga pasti bareng sama Arlan, kan?"
"Males gue sama Arlan. Ya kali tiap hari gue pasangannya dia. Lagian juga, Arlan mau sama orang lain. Pokoknya, Nathan udah gue klaim jadi pasangan gue. Dan lo, cari aja yang lain. Oke?"
Jessica mendengus, "Ya udah si, terserah. Tapi, gimana nanti kita ngawasin mereka?" tanyanya sembari melirik Megan lalu May.
Allena mengibaskan tangannya, "Itu gampang. Lo bisa ngawasin Megan dan gue ngawasin May."
"Lah, gue?" tanya Nathan sembari menunjuk dirinya sendiri.
"Lo diam aja. Lagian, lo juga gak tau seluk beluk sekolah ini."
"Meskipun gue murid baru di sini, jangan remehkan gue. Gue tau semua sisi sekolah ini, bahkan sampe sudut-sudutnya," desis Nathan.
"Iyain aja." Allena memutar bola matanya.
"Eh, Ca."
"Kenapa?"
"Krystal mana? Dari tadi gak keliatan, Daniel juga gak keliatan batang hidungnya," tanya Allena.
"Mereka bolos, sambil ngawasin Marsha juga," jawab Jessica singkat.
Allena mengangguk anggukkan kepalanya, "Mereka pacaran?"
"Gak tau. Kenapa? Cemburu lo?" kekeh Jessica.
Allena mengangguk santai.
Mata Jessica melebar, "Lo suka sama Daniel?!"
"Iya. Kan, dia ganteng. Tapi lo tenang aja, gue cuman suka sama tampangnya doang. Gak lebih."
"Kalo gue?" tanya Nathan tiba tiba.
"Hm?"
"Gue juga ganteng,"
Allena tersenyum manis, "Sayangnya lo nyebelin," ledeknya.
***
"Kak Marsha!"
"Eh, lo manggil gue?" tanya seorang gadis yang baru saja keluar dari toilet. Tanpa menjawabnya, Krystal menarik tangan Marsha dan membawa gadis itu keluar club.
"Eh, woi! Lo apa-apaan, sih?! Main narik tangan orang aja!" protes Marsha.
Namun Krystal tak memerdulikannya. Ia membawa Marsha keluar lewat pintu samping. Ternyata Daniel juga sudah ada di sana. Awalnya mereka bingung mencari keberadaan Marsha yang tiba-tiba menghilang. Tapi kemudian Daniel melihat cewek itu berjalan menuju toilet. Akhirnya ia menyuruh Krystal untuk mengikuti Marsha dan membawanya keluar club, sementara pria itu akan menunggu di luar.
"Siapa, sih, lo?!" bentak Marsha, menyentakkan tangan Krystal.
"Kak, lo harus di sini dulu. Di dalam gak aman buat lo," ujar Krystal cemas.
"Apaan, sih?! Gue juga gak kenal sama lo." Marsha memerhatikan wajah Krystal dengan teliti, "Eh, lo cewek yang tadi di kantin, kan?"
Ragu, Krystal menganggukkan kepalanya.
"Kenapa lo bisa ada di sini? Lo ngikutin gue, ya?!"
"Eh, enggak, Kak. Justru di sini gue sama temen gue mau nolongin lo dari bahaya."
Sekilas Marsha melirik Daniel, teman yang Krystal maksud. Dalam sekejap dia terpesona akan ketampanan pria berwajah datar itu. Namun, raut mukanya kembali garang saat menatap Krystal. "Ngaco lo kalo ngomong! Bahaya apaan, sih?"
"Ya itu, intinya nyawa Kakak dalam bahaya sekarang!"
Marsha mendelik tak suka, "Maksud lo apaan, sih, ngomong kek gitu ke gue?!"
"Terserah Kakak mau anggap gue ngaco atau gimana. Tapi tolong, sekali ini aja Kakak turutin gue buat gak masuk ke dalam lagi."
"Eh, gue tegasin sekali lagi ya. Gue ... gak kenal sama lo. Lo cuman junior gue di sekolah, dan jangan sok deket gitu ke gue sampai bilang nyawa gue dalam bahaya. Emang lo siapa, hah?!" garang Marsha tersulut emosinya.
"Kak---"
"Kalo lo balik ke dalam lagi, nyawa lo bisa melayang. Di dalam, ada yang lagi ngincar nyawa lo. Dia bawa pisau lipat, dan gue gak yakin lo bisa selamat," datar Daniel.
Marsha menatap bingung ke pria itu, "Lah, terus urusannya sama gue apa kalo ada yang bawa pisau lipat? Kenapa dia ngincar gue?"
"Karena lo target selanjutnya."
"Target? Maksudnya apaan, sih?! Target apaan coba?"
"Pembunuhan berantai."
Mata Marsha melebar, "Gue gak paham, sumpah! Pembunuhan berantai apanya, sih?"
Krystal menghela napasnya panjang. Kalau sudah begini, ia harus menceritakan semuanya pada Marsha kecuali di bagian-bagian yang memang tidak boleh diceritakan, seperti siapa saja yang menyelidiki kasus ini dan bagaimana mereka menemukan clue.
"Jadi, gue target selanjutnya?" Krystal mengangguk prihatin.
"Dan semua kejadian bunuh diri di sekolah itu ... manipulasi?"
"Iya, Kak." Marsha terlihat sangat terkejut.
"Wah! Kayaknya kalian bakat banget bikin drama deh, sumpah!" Sedetik kemudian terdengar gelak tawa dari Marsha.
Rupanya ia tak percaya semudah itu pada penjelasan Krystal. Melihatnya, Krystal membelalakkan mata. Ia merasa dipermainkan.
"Kalian terlalu banyak makan drama kayaknya, deh. Perut gue sampe geli gini, anjir!"
"Kak, kita serius!"
"Oke-oke, gue gak tahan ketawa terus. Terserah kalian mau bilang apa, gue balik dulu ya. Babay!"
Masih dengan tertawa geli, Marsha kembali masuk ke dalam club. Krystal membuka mulutnya tak percaya. Napasnya menggebu-gebu. "Nyawanya diambang kematian, dia malah ketawa-ketiwi kayak gitu! Nyebelin banget tuh senior!" geram Krystal.
"Udah deh, biarin. Saat ini dia aman, gue tadi lihat cowok jaket hitam itu udah keluar club," ujar Daniel.
"Tapi gue sebel banget sama Kak Marsha. Gue udah jelasin panjang lebar sama dia dan dia masih gak percaya sama gue. Emang muka gue kurang serius apa gimana, sih? Dia pikir gue tadi ngelawak apa? Bisa-bisanya dia malah ngatain kita bikin drama lah, kecanduan drama, lah. Bikin kesel tau gak! Kalau aja tadi---"
"Diem, deh. Cerewet banget jadi cewek." Krystal langsung terdiam saat sengatan aneh mengalir di jantungnya ketika telapak tangan Daniel mengacak-acak pucuk rambutnya, membuatnya tak bisa berkutik lagi.
Sial.
***
To be continued...
Jangan lupa vote, comment, dan follow Author yaaa :*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top