Part 1 (Revision)
MISSION IN SCHOOL
Part ini telah direvisi sepenuhnya, guys!
°°°
Rintik hujan yang semakin deras tak membuat pria itu menyingkir untuk berteduh. Ia justru terdiam berdiri menatap seorang mayat dengan mata tajamnya. Beberapa tetes hujan yang jatuh dari langit tampak mengenai payung hitam hingga akhirnya terjatuh tak jauh dari sepatunya.
Bibir itu tak tersungging, datar dan dingin. Ia berjalan mendekati si mayat dan berdiri ketika jaraknya hanya terpaut lima meter. Mata abu-abu miliknya menangkap sebuah flashdisk berbandul huruf 'N' di tangan penuh darah milik mayat tersebut.
Ia mengambil ponsel di saku seragam OSIS-nya, menghubungi seseorang.
"Ini bukan kasus bunuh diri."
"..."
"Cari tahu semua data tentang korban, Nath."
"..."
"Gue rasa ... akan ada kasus selanjutnya."
"..."
"Oke."
"Astaga!" Daniel menolehkan kepalanya cepat mendengar suara seruan yang datang dari belakangnya.
Terlihat seorang gadis dengan rambut kuncir kuda berdiri pucat di sana. Dengan mata yang melebar menatap sosok mayat tergeletak mengenaskan, gadis itu menutup mulutnya menggunakan salah satu telapak tangan. Tangan yang memegang payung biru tampak gemetar, sepertinya ia sangat terkejut dengan apa yang dilihatnya.
"Jangan dilihat."
Pandangan itu teralihkan. Bola mata jernih dengan bulu lentik di kelopaknya tampak serasi. "Ya?"
Daniel berjalan mendekat, melihat name-tag milik gadis tersebut.
Nadeya Krystal A.
Ia mengalihkan tatapannya, menatap tajam Krystal. "Jangan dilihat."
Krystal mengerjap. "Hah?" Seakan tersadar, Krystal buru-buru mengangguk. "Ah, iya." Ia membalikkan badan, menutup matanya. Baru kali pertama Krystal melihat mayat di tengah hujan begini, apalagi genangan air hujan tadi bercampur dengan pekatnya darah.
Krystal tak bisa memungkiri bahwa dirinya penasaran dengan mayat tersebut. "Tapi ..." Ia berbalik, menatap dengan wajah keponya. "Kenapa bisa ada mayat di sini?"
Daniel hendak menjawab, namun ia melihat ada seorang guru sedang berjalan sambil menunduk di koridor. Ia menarik lengan Krystal, membawanya bersembunyi di balik tembok kelas sepuluh.
"Aduh, bentar dulu. Payungnya ribet." Krystal berdecak, menutup payung biru miliknya dan bergabung bersama Daniel. Ia merapikan poni kecil yang terkena air hujan hingga terlihat lepek.
"Kenapa sembunyi?" tanyanya polos.
"Kalau lo mau ditanya sama polisi, silakan."
Krystal mengatupkan bibir, memilih diam membisu. Ia menatap ke depan, terlihat Bu Giselle mencari sesuatu di tas kecilnya. Hingga beliau berhasil menemukan sebuah ponsel, lalu mendongak melanjutkan langkah kaki.
Krystal menutup telinganya. Ia yakin Bu Giselle akan berteriak setelah berbelok dari koridor dan melihat ada mayat mati mengenaskan dengan sekujur tubuh digenangi darah. Memang posisinya bersembunyi tidak terlalu jauh dari lokasi mayat. Ia bisa dengan jelas mendengar teriakan melengking dari gurunya itu meski sudah menutup telinga. Krystal menepuk-nepuk kedua telinganya, lalu menatap Daniel yang terlihat anteng di sampingnya.
"Kuping lo baik-baik aja?" Daniel tak menjawab. Krystal jadi takut, apa pria di sampingnya ini menjadi tuli setelah mendengar teriakan membahana milik Bu Giselle?
"Jangan berisik." Rupanya tidak. Daniel hanya tak mau mereka ketahuan bersembunyi. Pasti akan menjadi masalah besar bila dirinya tertangkap oleh pihak sekolah. Daniel tak mau identitasnya terbongkar.
Krystal mendengkus. Ia kembali menatap ke depan. Terlihat beberapa murid yang baru berdatangan menghampiri Bu Giselle dan menenangkannya. Mereka juga terkejut melihat ada mayat tergeletak di lapangan outdoor.
"Apa ini kasus bunuh diri?" gumam Krystal, namun Daniel bisa mendengarnya.
Krystal menatap penuh selidik. Ia menangkap sebuah flashdisk berbandul huruf 'N' di sana. Ada sebuah tas ransel yang masih terpasang di punggung mayat itu. Posisi tubuh mayat menghadap ke bawah. Ia mendongak, menatap pembatas di lantai tiga yang mengarah langsung ke lapangan outdoor.
"Bukan kasus bunuh diri." Suara lirih Krystal membuat Daniel menoleh menatapnya. Ia cukup terkejut mendengar kalimat itu. Rupanya Krystal bukan gadis bodoh yang menyimpulkan semuanya tanpa berpikir cerdas. Krystal mengalihkan tatapannya pada Daniel. "Iya, kan?"
"Gimana lo bisa yakin?"
Krystal mengangkat bahu. "Hanya asal tebak," jawabnya enteng.
Daniel menatap Krystal datar. "Lo gak takut?"
"Hem?" Krystal mengangkat alis tak mengerti, ia mengalihkan tatapan pada mayat tadi. "Oh, mayat itu? Gue awalnya kaget. Kalau emang bener ini bukan bunuh diri, mungkin gue bakal takut."
Daniel diam tak menyahut. Sebenarnya mereka bisa pergi saat itu juga agar tidak ketahuan, atau bahkan memilih keluar karena pasti tak ada yang menyadari keberadaan keduanya. Namun, masih ada hal yang harus dipastikan oleh Daniel. Sedangkan Krystal, entah apa yang gadis itu pikirkan.
Ia beralih menatap Daniel. Krystal baru sadar bahwa dirinya belum pernah melihat Daniel di sekolah ini. Atau Krystal saja yang memang tidak mudah bergaul di sekolah? Ah, tidak mungkin. Kalau ukuran seorang cowok ganteng yang tingginya 187 cm, Krystal pasti mengenalinya. Minimal, tahu nama.
Ah, pasti dia murid baru yang lagi jadi trending topic di kelas gue.
Krystal tersenyum, ia menepuk pundak Daniel, membuatnya menoleh. "Nama gue Nadeya Krystal A. Lo bisa panggil gue Krystal. Nama lo Daniel, kan?"
Daniel melirik Krystal datar. Seakan mengatakan pada gadis itu, udah tau kenapa tanya?
Ia lebih memilih untuk mengabaikan perkenalan Krystal, menatap para guru berdatangan dengan mata tajamnya.
Beberapa menit berlangsung, polisi datang bersama ambulance. Kepala sekolah tampak mengusap wajahnya yang pucat, beliau mungkin tak ingin ada rumor buruk menyebar dan mencoreng nama baik sekolah.
Seorang polisi berbadan gempal berjalan menjauh dari lokasi, menerima sebuah panggilan dari seseorang. Krystal melebarkan mata, posisinya dengan polisi itu hanya sekitar 5 meter.
"Halo, Pak."
Krystal tak berniat untuk menguping, namun telinganya cukup peka mendengarkan suara polisi itu. Daniel sendiri terdiam menunggu apa yang akan polisi tersebut katakan.
"Sepertinya ini memang kasus bunuh diri, Pak. Tak ada kejanggalan yang merujuk pada kasus pembunuhan," lanjutnya beberapa saat. "Siap, Pak. Akan saya berikan laporannya segera."
Sambungan tersebut dimatikan. Si polisi berbadan tegap itu kembali menghampiri keramaian, mencoba berkomunikasi dengan polisi lain lalu menyuruh para murid untuk segera meninggalkan mereka. Beberapa guru tampak menggiring anak didik mereka, mengatakan bahwa ini bukan waktunya untuk berkerumun dan memerintahkan agar segera masuk ke dalam kelas.
Beneran kasus bunuh diri?
Krystal tampak ragu. Ia berpikir untuk beberapa saat, lalu menggelengkan kepala ketika sadar bahwa dirinya tak harus memikirkan semua ini. Biarlah polisi yang bekerja, kenapa dia harus repot-repot memikirkannya?
Tapi, gue penasaran.
Kenapa dia bisa mati?
Apa bener karena bunuh diri?
Atau karena hal lain?
Dibunuh?
Siapa pelakunya?
Kenapa polisi langsung percaya bahwa ini kasus bunuh diri?
"Ah, sial." Daniel berdecak, ia terganggu dengan keberadaan Krystal. Apalagi ketika gadis itu mengumpat keras.
"Lo bisa diam?"
"Arasseo." Krystal membungkam mulutnya, menuruti perintah Daniel.
Tapi, kenapa Daniel ngumpet di sini?
Apa dia tahu sesuatu?
"Sedang apa kalian di sini?"
Suara berat khas seorang pria paruh baya itu membuat Daniel dan Krystal menoleh. Krystal membulatkan mata, kedua tangannya terangkat menutupi mulut.
"Pak Sam."
***
Krystal tak bisa berhenti menautkan kedua jarinya sambil menunduk. Sedangkan Daniel tampak duduk tenang di sampingnya. Samuel—pemilik Galaxy High School—menghela napas panjang. Ia tadinya datang ke sekolah begitu mendengar ada kasus bunuh diri. Sesampainya di sini, justru Samuel juga mendapati dua anak muridnya tengah bersembunyi di balik dinding, layaknya seorang pengamat.
Karena Daniel dan Krystal hanya diam saat ditanya, Samuel memutuskan untuk membawa mereka ke ruang pribadinya. Namun, tak ada yang membuka mulut meski 15 menit telah berselang.
"Sedang apa kalian di sana?" Pria berumur 40-an itu kembali bertanya.
Krystal hendak menjawab, namun urung ketika kaki Daniel menyenggolnya, memberi isyarat untuk tetap diam.
Daniel menatap Samuel. "Kami hanya penasaran, lalu memutuskan untuk melihatnya dengan sembunyi."
"Kenapa harus sembunyi? Siswa lain justru terang-terangan melihat meski guru sudah melarang."
"Kami punya alasan yang gak bisa disampaikan, Pak. Maaf," ujar Daniel menundukkan kepala. Krystal menoleh ke arahnya, tak percaya dengan apa yang pria itu katakan.
Samuel menghela napas. "Ada yang mau kamu sampaikan, Krystal? Setidaknya supaya bapak tidak curiga dengan apa yang kalian lakukan sampai harus bersembunyi seperti itu."
Krystal gelagapan. Ia menggelengkan kepala dan berkata, "Tidak, Pak."
"Baiklah. Lagipula pihak kepolisian sudah menetapkan bahwa itu adalah kasus bunuh diri, tidak ada yang mencurigakan dari kasus ini. Hanya saja ...," jeda Samuel pada ucapannya, "bapak masih merasa aneh. Nicko adalah murid teladan di sekolah ini, bapak masih belum percaya dia akan membunuh dirinya sendiri."
"Apa kami sudah boleh pergi, Pak?" Samuel terkekeh dengan pertanyaan Daniel. Ia menganggukkan kepala.
Kedua pelajar beda gender itu beranjak berdiri. Baru saja berbalik, langkah kaki Daniel terhenti mendengar suara Samuel.
"Daniel, bapak mau bicara berdua sama kamu. Apa boleh?"
Krystal merasa dirinya harus keluar dan memberikan ruang pada Daniel juga pemilik sekolahnya. Ia pamit undur diri, tak lupa menutup pintu.
"Nicko punya kembaran, namanya Nicky. Kebetulan Nicky sedang menjalani skorsing. Dia pasti akan menuduhmu melakukan pembunuhan terhadap kembarannya karena tak bisa menerima kenyataan bahwa Nicko meninggal akibat bunuh diri. Terlebih lagi kamu adalah murid baru di hari yang sama dengan kematian Nicko," ujar Samuel.
Daniel berbalik menghadapnya. "Saya bisa mengatasinya sendiri, Pak. Tidak perlu khawatir. Nama baik sekolah bapak tidak akan tercemar karena kasus bunuh diri ini."
"Bapak akan menutup kasusnya secepat mungkin," putus Samuel, "meski pihak kepolisian masih ingin menyelidikinya."
"Apa hanya itu yang ingin bapak sampaikan?" tanya Daniel. "Saya masih ada kesibukan lain, Pak."
Samuel tertawa. "Kamu itu, bersikaplah sopan dengan orang yang lebih tua, Niel."
"Saya pergi sekarang, Pak." Daniel menundukkan kepala, lalu membalikkan badan.
"Ayahmu ...," Daniel menghentikan langkahnya mendengar kata itu, "dia yang mengirim kamu supaya masuk sekolah ini."
"Kapan kamu kembali, Niel? Ini sudah hampir tujuh tahun. Ayahmu masih nunggu kamu untuk kembali padahal dia bisa langsung memaksamu pulang," lanjutnya.
"Aku tahu." Daniel membalikkan badan, menghadap ke arah Samuel. "Aku tahu itu, Paman."
"Berhentilah keras kepala dan kekanakan. Kasihan ayahmu."
"Paman menganggapnya kekanakan?" datar Daniel. "Sebaiknya katakan sama dia, tidak perlu berharap. Aku gak akan pernah kembali. Dan satu lagi, Paman tidak perlu ikut campur dengan urusan keluarga orang lain. Aku masih menghormati Paman sebagai adik dari ayah kandungku. Permisi."
Daniel menundukkan kepala, pamit undur diri. Samuel tampak menghela napas pasrah, rasanya sulit untuk membuat keponakannya kembali ke rumah.
Tangan Daniel sudah terulur menarik kenop pintu. Terlihat Krystal berdiri tepat di depannya dengan tangan berada di belakang telinga. Gadis itu terlihat terkejut karena ketahuan tengah menguping. Ia berdehem canggung.
***
"Tuh anak ke mana, sih?!" Jessica mondar-mandir di depan kelas, sesekali memeriksa ponselnya namun tak ada notifikasi dari Krystal.
Saat ini sudah pukul 9 pagi, namun ia tak bisa menemukan keberadaan sahabatnya. Padahal tas Krystal ada di dalam kelas, hanya orangnya yang tak terlihat. Tidak mungkin Krystal pergi ke toilet terlalu lama. Lagipula, Krystal bukan tipe cewek yang suka ke toilet saat masih pagi.
"Ngapain lo di situ?" Suara bass itu menghentikan aktivitas Jessica.
"Gak lihat? Temen lo gak balik-balik, gak tahu ke mana."
Revan menyenderkan punggungnya pada pintu. Ia bersidekap dada, mengamati wajah khawatir Jessica, lalu terkekeh. "Krystal udah gede kali, lo kayak emaknya aja."
Jessica berdecak. "Lo kalau mau ribut mending sama tembok aja, Van." Ia mengibaskan tangannya.
"Bukannya kelas kita kedatangan murid baru? Siapa tahu Krystal lagi sama dia," ujar Revan, seolah memberikan pencerahan pada Jessica.
"Ah, iya, bener! Tapi, kenapa Krystal sama murid baru itu? Mereka, kan, gak saling kenal."
"Katanya murid baru itu ganteng, tinggi, tipe Krystal banget, kan?" pancing Revan.
Jessica menganggukkan kepala. "Mungkinkah Krystal lagi sama murid baru? Dia langsung suka gitu sama Daniel? Terus gue ngapain dari tadi di sini mondar-mandir khawatirin dia?" gumamnya pada diri sendiri.
Revan tertawa melihat ekspresi Jessica. Ponselnya bergetar, tawa pria itu luntur setelah membaca sebuah pesan yang ia terima. Tanpa melakukan hal yang lain lagi, Revan langsung melangkah pergi.
"Eh, lo mau ke mana?"
"Toilet."
Jessica mengerutkan kening. "Gak ada toilet di sebelah sana," gumamnya heran.
***
"Gue gak denger apapun, suer." Krystal mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya, berusaha meyakinkan Daniel bahwa ia tak mendengar apapun.
Memang benar, telinga gadis itu tak cukup peka untuk mendengar apa yang Daniel dan pemilik sekolah bicarakan. Krystal akui, ia telah menguping mereka. Namun, ia yakin tak mendengar apa yang mereka bicarakan.
Daniel mendorong kening Krystal, menyingkirkan gadis itu dari hadapannya. Ia kembali melangkah, meninggalkan Krystal yang tengah mengusap keningnya.
"Tungguin!" Ia berlari menyejajarkan langkah Daniel. "Apa hubungan lo sama Pak Sam? Kalian kerabat? Kenapa tadi lo seolah udah kenal banget sama beliau sampai-sampai ngomong seenaknya?"
Daniel menghentikan kakinya. Ia menatap tajam Krystal. "Diem."
"Oke."
Baru saja hening dua menit, Krystal kembali buka suara. "Tapi, kenapa kalian kelihatan deket gitu? Apa hubungan lo sama Pak Sam? Apa beliau ayah lo? Ah, tapi kalian gak ada kemiripan sama sekali. Apalagi rambut lo itu ngejreng banget, sedangkan Pak Sam hitam legam." Krystal membuka mulutnya. "Jangan-jangan Pak Sam itu adik dari ayah lo."
Langkah kaki Daniel terhenti, ia membalikkan badan. Krystal meringis menatap wajah datarnya. "Jangan ikutin gue."
"Gue gak ikutin lo. Kan, kelas gue lewat sini," ujar Krystal tak terima.
"Kalau gitu, jangan berisik."
"Oke." Kali ini Krystal benar-benar diam. Daniel melanjutkan jalannya, sampai ia melihat ada seseorang berpakaian serba hitam di balik tembok melemparkan sebuah kertas ke arahnya, lalu pergi begitu saja.
Krystal membungkuk, mengambil remasan kertas itu. Sedangkan Daniel masih terpaku pada orang yang kini telah menghilang. Ia sadar ada yang tidak beres di sini.
"Ada yang kirim lo surat cinta, 'kah?" Krystal membolak-balikan remasan kertas berwarna merah muda itu.
"Buang aja," ujar Daniel.
"Jangan gitu, dong. Kasihan yang udah bikin surat ini." Krystal menyerahkan kertas tersebut pada Daniel. "Selamat, lo dapat surat cinta di hari pertama masuk sekolah."
Daniel memutar bola mata. Ia pergi berlalu tanpa menerima kertas itu. Krystal berdecak, memilih untuk membacanya sendiri.
"Ini ... bukan surat cinta."
Meski lirih, Daniel masih bisa mendengar suara Krystal dengan jelas. Ia berbalik, menghampiri gadis itu dan membaca isi kertas.
Nikmati permainanku yang baru saja kumulai.
Krystal membuka remasan kertas berikutnya. Masih ada banyak kertas lagi, ia rasa penulis surat ini menuliskan setiap kalimat dalam satu kertas, lalu meremas dan menumpuknya.
Ini bukan permainan biasa, dan kalian harus menyelesaikannya.
Krystal terdiam. Netranya menatap Daniel, pria itu tak menunjukkan reaksi selain datar.
Cepat bertindak sebelum aku yang menyelesaikannya sendiri.
Krystal tak tahu maksud dari isi kertas tersebut. Ini memang bukan surat cinta untuk Daniel, lantas apa?
Kejutan pertama memang terlalu cepat terjadi.
Dua kertas terakhir masih belum Krystal buka.
Orang seperti kalian tentu tak perduli dengan hal ini.
Siapa maksudnya? Krystal benar-benar tak bisa menebak apapun. Tangannya tergerak membuka lembaran terakhir.
Ada alasan di setiap perbuatan. Dan yang pergi tak akan bisa di kembalikan. Ingin ku akhiri semuanya secara cepat. Tapi aku tak akan bisa merasa lega. Anak paling pintar bukan berarti anak baik. Mungkin kejutan kedua akan datang suatu hari nanti. Aku harap kalian menikmati permainanku.
-K
Tebakan Daniel benar, ada yang tidak beres di sini. Ia menoleh, menatap Krystal yang terdiam membisu. Tak seharusnya Krystal ikut membaca hal yang tak boleh gadis itu ketahui.
"Jangan pikirkan."
Krystal menatap Daniel. "I–itu surat—"
Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Daniel sudah lebih dulu menarik tangan Krystal, membawanya pergi dari tempat itu.
***
To be continued.....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top