Epilog

Publish on: Rabu, 13 Mei 2020 [00.35]

Ya, ini epilog :(

MISSION IN SCHOOL

***

5 hari kemudian ....

Sepi. Satu kata yang tepat menggambarkan suasana di pemakaman itu. Dua orang pria tengah berdiri di kedua sisi sebuah makam yang masih basah dengan bunga mawar tertabur di atasnya. Ke-empat mata menatap sendu dengan menahan rasa sesak di dalam dada. Rasanya, mereka tidak ingin menerima takdir ini.

Sebuah perpisahan bertajuk kematian.

Raja berjongkok. Pakaian hitam yang ia kenakan seolah menggambarkan suasana hatinya. Raut wajahnya datar, namun sarat akan kepedihan. Ia melepas kaca mata hitamnya, menatap ukiran nama yang selalu terpatri di dasar hatinya kini juga tertulis jelas di batu nisan.

Joanne Ratu Dewantara.

Kenapa lo pergi secepat ini, Rat?

Raja menahan sesak di dadanya. Ia meletakkan sebuket bunga mawar di depan batu nisan. Lantas memajukan wajahnya dan mengecup sekilas ukiran nama sang adik itu.

Daniel ikut berjongkok, ia menunduk, kembali mengenang masa-masa yang pernah dia lewati bersama Ratu. Memang, rasanya sakit melihat Ratu pergi. Rasanya sesak, melihat Ratu mati tepat di hadapannya. Tapi ini takdir, Daniel tak bisa mengelak. Sekuat apa pun ia menyangkalnya, kini Ratu telah tiada.

Tetaplah bahagia tanpa Ratu.

Kalimat itu terngiang jelas di ingatan Daniel. Keinginan terakhir Ratu, masih sama seperti yang gadis itu ucapkan satu tahu lalu saat Ratu memilih pergi. Kala itu, Ratu pergi meninggalkannya dan lebih memilih bergabung bersama Rissa. Namun kali ini, Ratu pergi meninggalkannya, benar-benar pergi dari dunia ini, untuk selama-lamanya.

Semoga lo bahagia di sana, Ratu.

Raja sekilas melirik Daniel, melihat guratan sendu terpatri pada wajah datar itu. Ia menghela napas. Bagaimana pun juga, Daniel pernah menjadi sahabatnya. Meskipun kini hubungan mereka hancur karena suatu alasan.

"Niel."

Merasa dipanggil, si pemilik nama mendongak.

Raja menyerahkan secarik amplop berwarna biru padanya, "Ada titipan, dari Ratu." Daniel mengerutkan keningnya. Raja mengalihkan pandangan, "Surat Ratu satu tahun yang lalu. Gue gak sempet kasih ke lo waktu itu."

"Kenapa?"

"Lo tahu sendiri alasannya."

Akhirnya Daniel memilih bungkam. Ia memasukkan amplop tersebut ke dalam sakunya, berniat untuk membukanya nanti.

"Gue gak tahu harus ngomong apa lagi," ujar Raja.

"Lo gak capek musuhan terus sama gue?" Daniel bertanya, namun pandangannya tetap terarah pada pusara Ratu.

Raja terkekeh, "Well, mungkin udah saatnya ngabulin permintaan terakhir Ratu." Dia mengulurkan tangannya, "Balikan?"

"Gue bukan maho."

"Anjir!"

Daniel tertawa pelan, ia membalas uluran tangan Raja, "Iya, balikan. Lo tetep sahabat gue yang paling rese."

"Ugh, salut!"

Lantas keduanya kembali tertawa. Mungkin ini saatnya mereka melepas masa lalu. Tidak mudah memang, apalagi itu cukup membekas seperti luka. Sebuah alasan yang membuat Raja memilih untuk pergi meninggalkan Krystal tanpa pamit. Sama seperti alasan kenapa Daniel memilih untuk pergi dari rumahnya.

Raja berdehem, "Mama ... apa kabar?"

Hanya senyuman kecut yang Daniel tampakkan. "Gak tahu."

"Lo beneran gak mau balik? Ini udah bertahun-tahun loh. Mereka pasti nyariin lo kemana pun."

Daniel terdiam sejenak, "Jangan bahas itu lagi."

Mendengar nada bicaranya, Raja akhirnya tahu bahwa Daniel masih kecewa pada mereka. Dia tak bisa melakukan apa pun lagi, karena dirinya pun sama. Raja juga kecewa, terlebih fakta itu terasa sangat menyesakkan.

"Bang Esa selalu ngirim pesan misterius ke Krystal," ujar Daniel tiba-tiba.

Raja mengetatkan rahangnya, "Dia cari mati."

Daniel menggeleng kecil, "Gue rasa dia punya alasan. Dia gak akan seberani itu buat ngancam gue lewat Krystal." Dia diam sebelum mengeluarkan napas panjang, "mungkin."

"Gue titip ini, buat Krystal." Raja mengeluarkan sebuah surat. "Sepertinya dia masih marah ke gue, dan kecewa tentunya."

Daniel menerimanya, "Lo masih suka?"

"Gak mungkin gue nyangkal. Lo bisa lihat dengan jelas." Ya, Daniel tahu Raja masih menyukai Krystal. "Tapi gue gak bisa balik lagi sama dia."

"Kenapa? Kemungkinan Krystal masih suka sama lo." Daniel mengalihkan tatapan, seperti tak berani menatap lawan bicaranya saat ia mengatakan itu.

Raja terkekeh sejenak, "Lo buta? Jelas-jelas Krystal udah move on." Ia lantas beranjak, menepuk bahu Daniel dua kali. "Jaga dia. Kali ini bukan buat gue, tapi buat diri lo sendiri."

Daniel mematung, bahkan sampai Raja benar-benar pergi meninggalkannya seorang diri di pemakaman ini. Ada sebuah tekad yang ia mantapkan di dalam hatinya.

Drrttt ... Drrttt ....

Ponselnya bergetar dengan layar bertuliskan 'Jessica'. Segera Daniel mengangkatnya. Hingga sebelum ia mengatakan 'halo', Jessica sudah lebih dulu memotong.

"Krystal sadar."

***

"Kenapa dia juga ditangkap, Pak?" tanya Jessica tak mengerti saat melihat Revan datang ke rumah sakit dengan tangan diborgol, ada dua orang polisi di samping pria itu.

"Dia yang menyerahkan dirinya sendiri," jawab salah satu laki-laki berseragam dengan name-tag 'Arya K.' yang berdiri tegap di sebelah kanan Revan.

Jessica menatap Revan tak mengerti. Yang ditatap justru melempar senyuman, "Gue emang salah, Jes. Yang lain dimana?"

"Eh? Anu, di dalem." Jessica minggir, memberikan jalan untuk masuk. "Tapi Krystal ketiduran, efek obat."

Revan tak membalas, ia memasuki ruangan putih itu. Kedua polisi yang mengikutinya memilih berjaga di luar. Jessica segera mengekori langkah Revan.

Tak banyak yang Revan lakukan. Dia hanya meminta maaf pada Zoya dan Arlan yang ada di sana. Allena sudah pasti di ruangan yang lain, bersama dengan Nathan yang lima hari lalu terluka parah. Beruntung Nathan tidak mengalami gegar otak.

Selepas Revan selesai dengan urusannya, dia menatap Jessica yang juga memandangnya sejak tadi. Pria itu mendekat lantas berdiri di depannya, "Maaf." Jessica tersentak saat Revan mengecup pucuk kepalanya. Niatnya Revan akan memeluk, tapi kondisi kedua tangannya yang diborgol menjadi hambatan. Arlan dan Zoya sontak mendelik lantas mengalihkan pandangan sambil berdehem melihat hal itu. Jessica yakin, wajahnya sudah semerah tomat.

"Jaga diri selagi gue hibernasi di sel." Revan terkekeh, ia masih saja sempat untuk bercanda. Kini dia mendekat lagi, membisikkan sebuah kalimat yang membuat tubuh Jessica menegang. "Tunggu gue bebas, dan gue akan tunggu jawaban lo."

Hingga akhirnya Revan mundur, melangkah pergi setelah melempar senyuman yang sialnya membuat Jessica kembali memerah. Zoya mendekat pada Jessica, menggodanya, membuat gadis itu menggerutu sambil mengacak-acak rambutnya. Untung gak ada Allena, atau Jessica akan dibuat gila karena Allena pasti merecokinya lantas menggodanya sampai mampus.

Jessica benar-benar sadar, dia sudah jatuh pada pesona bocah tengik macam Revan.

Selepas kepergian Revan, Daniel datang. Pria itu seakan tak perduli dengan adanya tiga manusia di dalam ruangan dan memilih mendekati sosok gadis terbaring lemah di atas brankar.

"Krystal ketiduran, mungkin juga karena pengaruh obat dari dokter," ujar Jessica spontan.

Sadar akan situasi, ia menarik tangan Zoya dan Arlan. Membawa keduanya keluar dengan alasan menjenguk Nathan. Padahal mereka sudah menjenguknya saat Krystal sedang diperiksa dokter.

Daniel menatap wajah damai tanpa riasan di hadapannya. Ia tertegun melihat wajah pucat itu. Tangannya terangkat menggenggam jemari Krystal yang tergeletak di samping tubuhnya.

Jantungnya nyaris berhenti berdetak saat Rissa menarik tangan Krystal terjun dari rooftop. Iya, keduanya terjatuh hingga Rissa meninggal di tempat. Krystal langsung dibawa ke dalam. Ia sempat koma. Daniel benar-benar tak akan memaafkan dirinya sendiri jika terjadi sesuatu pada gadis itu.

Beberapa detik setelah Rissa lompat dengan membawa Krystal, polisi datang. Namun sayang, Andra kabur. Revan justru menyerahkan dirinya. Beruntung pria itu hanya akan ditahan dalam waktu yang tidak lama. Dengan alasan Revan masih di bawah umur dan pria itu tidak terjerat lebih jauh dalam kasus pembunuhan ini.

Mereka semua langsung berlari ke bawah, melihat tubuh penuh darah Krystal dibawa ke sebuah ruangan dengan sigap. Daniel tak henti-hentinya berharap agar gadis itu selamat. Dia sungguh khawatir.

Bego.

Sekilas ucapan Krystal terngiang di pikirannya.

Gue lagi ngumpatin elo.

Daniel tersenyum tipis mengingat kalimat tersebut.

Arlan bener. Lo emang egois, Niel. Mending lo perbaiki diri sebelum bertindak lebih jauh lagi.

Lantas memorinya memutar balik kejadian sebelum itu.

Emm ... sebelum gue berdiri, kenapa gue ngerasa merinding?

Sana lo pergi! Jauh-jauh dari gue! Minimal dalam radius 3 meter! Gue lagi marahan sama lo ya, kalo lo lupa!

Bibirnya melengkung tanpa ia sadari.

Terharu aja lo bisa ngomong setulus itu.

Daniel teringat bagaimana pertemuan mereka di hari pertama, saat itu ketika Krystal tengah mencak-mencak di depan kelas menghalangi jalannya. Lalu pada saat Krystal mencarinya hanya untuk mengumpulkan tugas.

Nama gue Nadeya Krystal A. Lo bisa panggil gue Krystal. Nama lo Daniel kan?

Daniel menyadarinya. Krystal adalah sosok teman yang baik, dia merasa hubungannya sedekat itu. Mereka seperti sepasang sahabat yang saling mengerti dan memahami keadaan satu sama lain. Daniel tak akan bertanya pada Krystal dan lebih memilih untuk menunggu waktu yang tepat bagi Krystal untuk mengungkapkannya sendiri. Krystal pun tidak pernah mengorek tentang keluarga, bahkan ia tak pernah bertanya lebih lanjut jika Daniel memilih diam.

Ya, Daniel merasa Krystal adalah sahabat yang sangat baik.

Pria itu lantas mengarahkan telapak tangannya ke depan dada, merasakan degup jantung yang menderu kencang.

Tapi, perasaan macam apa ini?

Lamunanya buyar saat ia merasakan gerakan dari jemari yang digenggamnya. Lambat laun kelopak mata dengan bulu mata lentik itu terbuka. Mengerjap beberapa saat menyesuaikan cahaya sampai akhirnya menatap terpaku pada sosok Daniel yang duduk di samping brankar.

Krystal tersenyum, "Daniel."

-TAMAT-

***


Mau ada extra part?

Berapa?

Next up date kapan?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top