Part 8
Dipublikasikan pada: Minggu, 9 Agustus 2020
MISSION IN SCHOOL 2
"Maaf, sepertinya aku harus diam menonton kalian dulu, sebelum nantinya melanjutkan permainan ini."
Now playing | Done For Me - Punch
•••••••
"Gila," celetuk Allena setelah melihat rekaman di ponsel Daniel. Ia tak menyangka bahwa kasus kali ini ternyata bertambah rumit. Hampir saja Allena percaya Arka adalah pembunuh yang sebenarnya. Tapi setelah melihat rekaman itu, keyakinannya runtuh seketika. Lagipula, Arka mengenakan seragam putih abu-abu, bukan jaket hitam seperti pada rekaman.
"Jadi, pelakunya ada dua orang?" tanya Jessica memastikan.
"Bisa jadi. Yang jelas, pelaku ada lebih dari satu." Daniel menjawabnya. "Dan salah satu di antara mereka adalah anak GHS atau pernah sekolah di sini." Matanya menatap lurus ke arah orang berjaket hitam yang seolah tengah memerhatikan kamera CCTV dalam rekaman itu.
"Terus, lo ada rencana apa?" tanya Arlan. Pasalnya, Daniel tadi mengatakan bahwa dia memiliki rencana untuk kasus ini.
"Gue ada misi buat kalian." Daniel menjeda ucapannya, mengambil sebuah kertas lalu meletakkannya di atas meja. Mereka semua saat ini tengah berada di perpustakaan, satu-satunya tempat yang dijamin sepi dan tak ada penguping. Selain mereka, hanya ada Bu Amy yang sedang menata buku di lantai atas.
"Apa ini?" Allena membaca tulisan yang tertera di dalam kertas. Dahinya terlipat bingung.
"Ini daftar tempat yang harus kalian kunjungi. Gue ada rencana untuk membagi tim. Salah satunya punya tujuan untuk mencari tahu siapa pelaku di balik kecelakaan Om Gabriel dan yang mencoba membunuh Anya. Sedangkan yang lainnya akan mencari tahu alasan kenapa Arka gak mau buka mulut," ujar Daniel terhenti sejenak. Ia menatap semua teman-temannya, lalu melanjutkan, "dan mencari bukti untuk membebaskan Arka."
"Berarti ada dua tim?"
Daniel mengangguk membenarkan. "Satu tim empat orang."
Jessica buru-buru mengoreksi ucapan Daniel. "Tim pertama ada empat orang, tim kedua ada tiga orang."
Daniel tersenyum tipis, ia menggeleng. "Enggak. Satu tim empat orang."
"Loh, kan kita ber-tujuh. Lo mau ngitung gue jadi dua orang?" tanya Allena ikutan bingung.
"Semalam gue dapat kabar dari Paman Pratama, besok Revan akan dibebaskan. Kemungkinan besar dia bisa berguna karena pernah terlibat di kasus sebelumnya. Jadi, gak ada salahnya buat undang dia jadi bagian dari kita, kan?" Ucapan Daniel diangguki oleh semua orang, kecuali Jessica yang hanya terdiam dengan wajah terkejut.
"Re-Revan dibebaskan?" cicitnya.
Daniel mengangguk sekali. Mendadak Jessica panas dingin, teringat ucapan seorang Revanza Aditya tiga bulan yang lalu di rumah sakit.
Tunggu gue bebas, dan gue akan tunggu jawaban lo.
"Ca!" Gadis itu tersentak ketika Krystal memanggilnya. "Lo baik-baik aja, kan?"
"Hah?" Buru-buru Jessica mengangguk. "Sorry, gue tadi lagi gak fokus."
"Lo mau join ke tim yang cari tahu bukti untuk membebaskan Arka atau tim yang melacak pelaku pembunuhan itu?" tanya Krystal pada sahabatnya tersebut.
"Gue terserah aja, sih."
"Gue masuk ke tim yang melacak pelaku itu," ujar Allena ketika Krystal mengalihkan tatapan kepadanya.
Krystal mengangguk, lalu beralih menatap Arlan. "Lo tim mana?"
"Bareng Allena."
"Oke. Jadi, empat orang mulai pulang sekolah nanti pergi ke kafe, tempat terakhir kali yang Om Gabriel kunjungi. Nathan bakal gabung sama kalian." Arlan, Allena, dan Zoya mengangguk mendengarkan ucapan Daniel.
"Sedangkan sisanya ikut gue cari bukti untuk membebaskan Arka." Daniel beralih menatap Krystal dan Jessica. "Bagaimanapun juga, kita gak bisa membiarkan orang tak bersalah dihukum."
Krystal mengangguk setuju.
***
"Tidak ada yang kamu sembunyikan dari Paman, kan?" Mata Pratama menyipit curiga. Di depannya, Nathan tampak mondar-mandir menyiapkan sesuatu hingga berakhir memasukkan Blacky ke dalam tasnya. "Nath?"
"Gak ada, Paman. Kalau gak percaya, tanya aja ke Daniel," jawabnya singkat tanpa menatap Pratama.
Polisi berumur 40 tahunan itu menghela napas. "Justru Paman tanya kamu karena gak sanggup tanya ke Daniel."
"Loh, kenapa?"
"Dia terlalu misterius. Gak pernah mau mengizinkan orang lain memasuki kehidupannya." Pratama benar. Selama ia mengenal remaja bernama Daniel Zeandra, tak sekalipun dirinya tahu banyak tentang Daniel.
"Dia emang tertutup, Paman. Maklumin aja," ujar Nathan. Sahabat Daniel itu menyampirkan tasnya ke bahu. Ia menghadap ke arah atasannya.
"Mau kemana kamu?" tanya Pratama.
"Ada urusan penting. Nathan pergi dulu, Paman." Dia melambaikan tangan lalu pergi dari kantor polisi.
Lagi-lagi Pratama menghela napas panjang. Ia menatap punggung Nathan yang semakin menjauh. "Bukan hanya Daniel yang tertutup, kamu juga begitu, Nath."
Nathan melangkah santai menuju mobil merah di parkiran kantor polisi. Ia hendak masuk ke dalam mobil tersebut sebelum matanya melihat seseorang yang familiar tengah berdiri menunggu bus di halte seberang sana.
Jantung Nathan berdegup kencang. Ada rasa membuncah yang ia rasakan di dalam dadanya. Tanpa sadar, Nathan berlari menyeberang jalan untuk memastikan bahwa penglihatannya tidaklah salah. Beruntung jalan itu sepi, sempat ada mobil yang menyalakan klakson ketika Nathan berlari tanpa menengok kanan kiri.
Napasnya tersendat. Nathan menumpu tangannya di atas lutut. Wanita di halte tadi menghilang setelah sebuah bus berwarna hijau berhenti di sana. Nathan tak bisa lagi mengejar. Ia terjongkok lesu di halte, merutuki dirinya yang kalah cepat.
Gue tadi gak salah lihat, kan?
Wanita itu mirip banget sama Tante Renata.
Nathan tak bisa memungkirinya. Ia sempat berharap banyak jika memang wanita tadi adalah Renata. Tak bisa dibayangkan bagaimana ekspresi Daniel jika dirinya mengatakan melihat Renata di sini.
Maafin gue, Niel.
Ia menunduk lesu, merasa bersalah pada Daniel karena dirinya tak pernah bisa melacak keberadaan Renata selama ini. Lalu ketika Nathan sempat melihat Renata, ia justru kehilangan jejak.
Jika tadi dirinya cepat sedikit, pasti ia tak akan merasa bersalah. Bagaimanapun juga, Nathan merasa kasihan dengan Daniel. Pria itu sudah berpisah dengan Renata selama hampir 10 tahun. Bahkan, selama ini Daniel tak pernah lelah mencari keberadaan Renata, ibu kandungnya.
***
"Dimana kita mau cari bukti?" tanya Jessica setelah ia memasuki mobil. Di sampingnya ada Krystal, sementara Daniel bertugas duduk di depan sebagai seorang supir.
"Mungkin kita bisa mulai dari alamatnya Arka?" ujar Krystal tak yakin. Pasalnya, ia baru menyadari selama ini tak pernah melihat keluarga Arka. Bukankah harusnya ada yang menengok ketika mendapat kabar bahwa Arka menjadi tersangka kasus percobaan pembunuhan?
"Arka gak punya keluarga," sahut Daniel. Dia menyalakan mesin dan mulai menjalankan mobil. "Dia sebatang kara," lanjutnya.
Krystal mengatupkan mulutnya. Ia menoleh pada Jessica yang juga tengah menatapnya. "Dia hidup sendirian?"
Daniel mengangguk. "Dia bahkan kerja sambilan di beberapa tempat untuk bisa makan dan sekolah."
"Kalau begitu, gue jadi ngerasa iba dia dituduh melakukan percobaan pembunuhan padahal gak salah apapun." Jessica menyahut.
Krystal mengangguk setuju. "Dari mana kita mulai cari bukti buat bebasin Arka?"
Daniel memutar setir ke kiri saat berada di pertigaan. "Apartemen."
"Apartemen?" ulang Krystal tak mengerti.
Pria itu mengangguk. "Kita mulai dari tempat korban. Nathan kemarin cari tahu alamat Anya dan ternyata dia tinggal di sebuah apartemen."
"Bukankah Anya tinggal di perumahan?" tanya Jessica bingung. "Gue kemarin sempat baca chat grup angkatan yang lagi ramai gosipin Arka sama Anya."
"Anya pindah ke apartemen semenjak dua bulan yang lalu. Kemungkinan gak ada anak sekolah yang tahu hal itu," ujar Daniel.
"Eh?" Jessica sedikit terkejut. "Dua bulan yang lalu Anya sama Gilang resmi berpacaran."
Krystal menoleh ke arah Jessica. "Kebetulan?"
Jessica tersenyum. "Gue rasa enggak."
"Jadi, kalian berasumsi kalau Anya tinggal di apartemen karena Gilang?" tanya Daniel memastikan.
Jessica mengangguk. "Gak mungkin dia tiba-tiba pindah ke apartemen gitu. Lagian, Anya itu anak beasiswa. Dia bisa sekolah di GHS melalui jalur prestasi."
"Jadi, Gilang kasih Anya tinggal di apartemen setelah Anya terima dia jadi pacarnya?"
Jessica mengangguk membenarkan pertanyaan Krystal. "Ayah Gilang punya beberapa apartemen di kota ini. Mungkin saja Anya tinggal di salah satu apartemen itu."
"Kita bisa lihat nanti," ujar Daniel singkat.
"Tadi lo bilang baca chat grup angkatan, kan?" Krystal bertanya saat ia mengingat ucapan Jessica tadi.
"Iya. Kenapa emang?"
"Ada yang mencurigakan? Maksud gue, setelah lihat CCTV tadi pagi dan kita dapat petunjuk bahwa pelaku adalah bagian dari GHS, gak menutup kemungkinan bahwa pelakunya ada di sekitar kita. Bahkan mungkin teman-teman kita sendiri." Krystal menyuarakan pendapatnya.
Jessica terlihat berpikir sejenak. Ia mengingat-ingat isi room chat dari grup angkatannya. "Sejauh yang gue baca, gak ada yang janggal."
"Gak ada?"
Jessica mengangguk ragu. "Mereka cuman bahas percobaan pembunuhan yang dilakukan Arka terhadap Anya. Bahkan sebagian besar dari mereka percaya bahwa Arka adalah pelakunya. Mereka juga menyangkut pautkan kasus ini dengan kasus Gilang. Ada beberapa juga yang bawa-bawa nama kalian karena teror di kaca jendela itu." Ia menghentikan kalimatnya saat mengingat sesuatu. "Tapi ...."
"Apa?"
"Di antara mereka semua, ada yang percaya bukan Arka pelakunya. Dia bahkan terus menyangkal semua chat yang bilang kalau Arka berusaha membunuh Anya dan Gilang karena motif cemburu," jelas Jessica.
"Siapa orangnya?" Kali ini Daniel yang bertanya. Sedari tadi ia terus mendengarkan ucapan kedua gadis itu. Saat ia mendengar kalimat terakhir Jessica, Daniel merasa janggal. Pasalnya, kebanyakan murid yang tidak tahu apa-apa pasti percaya bahwa Arka adalah pelaku di balik semua ini.
"Gue gak tahu." Jessica menyengir kuda. "Gue gak save nomornya orang itu."
Krystal mendengus. "Coba lihat sini nomornya, mungkin aja gue tahu siapa dia."
"Gue yakin lo juga gak tahu siapa dia." Jessica memutar mata. Ia tahu betul Krystal jarang menyimpan nomor anak sekolah, hanya teman sekelas saja. "Gue coba tanya ke Sasa aja."
"Sasa biang gosip itu?" tanya Krystal memastikan. Jessica hanya mengangguk. Krystal mengalihkan tatapannya pada Daniel saat mobil berhenti di depan sebuah apartemen mewah. "Gue gak tahu Anya bisa tinggal di apartemen semewah ini jika dia adalah anak beasiswa."
"Ini apartemen milik Pak Bramantyo," ujar Daniel. Ia melepas seatbelt-nya.
Krystal terlihat terkejut. "Pak Bramantyo? Dia ayahnya Gilang, kan?"
Daniel mengangguk. Ia menoleh ke belakang. "Cepat turun."
"Bentar dulu, Sasa balas pesan gue!" Jessica menunjukkan ponselnya. "Namanya Retta, anak XII IPA 2."
"Kalian berdua kenal dia?" tanya Daniel.
Krystal menggeleng. Jessica justru mengangguk. Ia memang tak dekat dengan gadis bernama Retta itu, namun ia tahu siapa Retta.
"Kalau gak salah, Retta ini teman dekatnya Putri." Jessica menatap Daniel dan Krystal bergantian, bola matanya melebar saat ia menyadari sesuatu. "Kalian gak tahu? Putri ini rivalnya Anya. Mereka selalu kejar-kejaran nilai. Tapi, terakhir kali nilai Putri turun drastis sampai akhirnya dia ditempatkan di kelas XII IPA 2."
"Dia rival Anya?" tanya Krystal memastikan.
Jessica mengangguk tanpa ragu. Satu lagi fakta yang mereka dapat tentang Anya. Kasus ini semakin melebar. Mereka tak tahu harus mulai dari mana untuk menuntaskannya.
***
To be continued....
Ada yang nunggu MIS 2 update?
Mianhae, aku sibuk banget akhir-akhir ini :(
Buat yang sekolah online, pasti tahu gimana ribetnya ngurusin tugas yang terus berdatangan tiap waktu :)
Apalagi minggu besok banjir ulangan harian :D
Doakan diriku ini bisa update tepat waktu ya, gaes. Terimakasih buat semangat dari kalian❤ Kalian juga harus tetap semangat. Doakan Indonesia cepat sembuh, ya🧡
Mohon bersabar nunggu MIS 2 update lagi😭
Aku akan berusaha sebaik mungkin :)
Salam rindu,
Author
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top