Part 5
Dipublikasikan pada: Senin, 6 Juli 2020
MISSION IN SCHOOL 2
"Aku masih setia di sini, menonton kedua kelinci kesayanganku melompat tak tentu arah."
Now playing | It's You - Henry
•••••••
"Jadi, kecelakaan yang dialami Om Gabriel itu direkayasa oleh seseorang?" Jessica membulatkan mulutnya. Ia cukup terkejut setelah mendengarkan pemaparan Nathan dan pesan anonim yang diterima Krystal.
Nathan mengangguk. "Gue akan coba lacak siapa pengirim pesan itu." Pria berumur 18 tahun tersebut mengotak-atik Blacky. "Gue rasa dia berbeda dengan pengirim pesan misterius tiga bulan yang lalu."
"Lo yakin?" Daniel bertanya. Nathan mengangguk mantap.
"Gimana lo bisa yakin?" tanya Arlan.
"Dari tanda yang diberikan pengirim pesan itu. Sebelumnya, gak ada tanda-tanda siapa pengirimnya. Tapi untuk kali ini, pengirim meninggalkan kode berupa huruf X." Nathan menjelaskan secara singkat.
"Gimana? Lo nemu sesuatu?" tanya Allena ketika melihat raut wajah Nathan berubah setelah melacak nomor ponsel yang mengirimkan pesan aneh kepada Krystal.
Nathan menggeleng pelan, menatap semua teman-temannya. "Nomor ini gak bisa dilacak, sama sekali."
Krystal terperangah. "Kok, bisa?"
"Sepertinya pelaku gak menggunakan nama asli saat registrasi. Bukan hanya itu, pelaku mungkin saja hanya menggunakan nomor ini untuk mengirim satu pesan saja, yaitu pesan yang Krystal terima," jawab Nathan menjelaskan. Dia menghela napas. Jika sudah begini, akan sulit untuk menemukan siapa yang meneror Krystal dan menyebabkan Gabriel kecelakaan.
"Apa gak ada cara lain?" tanya Arlan. Mungkin saja pelaku meninggalkan beberapa jejak saat kecelakaan Gabriel.
"Gue gak yakin. Pelaku kali ini sangat rapi."
"Bukannya tadi lo bilang orang yang menyelakakan Om Gabriel itu perempuan?" Zoya angkat suara.
Nathan mengangguk. "Gue yakin betul dia cewek."
"Kalau begitu ... mungkinkah pembunuhnya seorang perempuan?"
Allena mengangguk membenarkan. "Bisa jadi, sama seperti pelaku pembunuhan tiga bulan lalu."
"Tapi, siapa orangnya? Masalah ini jelas berkaitan dengan kasus Rissa."
"Menurut kalian, siapa cewek yang memiliki motif kuat untuk balas dendam sama Krystal dan Daniel akibat kasus sebelumnya?" tanya Jessica.
Mereka semua memikirkan hal itu. "Mungkinkah orangnya adalah Rossa? Mungkin aja Rissa itu kembar tiga. Ada Rissa, Ressa, dan Rossa. Cocok, kan?"
Arlan menjitak kening Allena. "Ngawur."
Allena mengerucutkan bibirnya. Ia mengusap pelan jidatnya yang memerah. "Kan, gue cuma berpendapat. Lagian, supaya suasana gak tegang banget kayak gini."
"Atau mungkin pelakunya adalah Revan?"
Jessica menggeleng spontan. "Gak ada motif. Pertama, Revan itu cowok tulen. Kedua, Revan masih dipenjara. Dia juga udah minta maaf sama kita dan gak mungkin punya niat untuk balas dendam."
"Terus siapa?"
"Mungkin aja pelakunya seorang laki-laki." Krystal buka suara. Semua menatap ke arah gadis itu. "Nathan hanya melihat cewek itu di parkiran minimarket. Dia memang jadi tersangka utama percobaan pembunuhan bokap gue. Tapi, kita gak tau pasti apakah dia itu pembunuh Gilang atau bukan. Bisa saja, dia hanyalah tangan kanan si pembunuh." Krystal mengatakan apa yang ada di pikirannya.
Jessica mengangguk paham. "Masuk akal juga, sih. Gak mungkin ada cewek yang dengan mudahnya membunuh Gilang, apalagi luka Gilang bisa dibilang parah. Lagipula, Gilang punya badan gede gitu. Gue ragu pelaku pembunuhan kali ini adalah perempuan."
Daniel melirik jam tangannya. Sudah hampir malam. Ia belum mengatakan pendapatnya dari tadi. "Krystal benar. Pelaku pembunuhan kemungkinan besar adalah seorang laki-laki karena gak mungkin ada cewek yang membunuh Gilang dengan cara sadis, kecuali cewek psikopat. Kalau Nathan beneran yakin dengan asumsinya bahwa pelaku percobaan pembunuhan Om Gabriel adalah seorang perempuan, itu artinya dia adalah kaki tangan si pembunuh. Lalu ada orang yang mengirimkan pesan misterius pada Krystal, bisa jadi dia adalah pembunuhnya.
"Pelaku meninggalkan jejak di perut korban berupa tanda silang. Pengirim pesan juga meninggalkan satu huruf X di bagian akhir. Jadi, pelaku pembunuhan bisa lebih dari satu. Motif mereka sama, balas dendam karena kasus tiga bulan lalu. Bedanya, target kali ini adalah gue dan Krystal. Karena Krystal mau pindah, rencana mereka terancam. Alhasil, mereka memutuskan untuk melakukan percobaan pembunuhan kepada Om Gabriel hingga akhirnya Krystal gak jadi pindah. Masuk akal, kan?" jelas Daniel panjang lebar. Semua memerhatikan dengan saksama.
"Untung gue paham," gumam Allena sambil mengangguk sekali.
"Kalian lebih baik pulang dulu, udah hampir malam. Kita lanjutkan ini besok aja."
***
"Gue mau ambil baju ganti di rumah, disuruh Bunda," ucap Krystal. Gadis itu menghampiri Daniel yang duduk terdiam dengan tangan terlipat di depan dada.
Daniel berdiri tanpa mengucapkan kata apapun. Krystal justru terkejut ketika melihat ada Nathan juga di situ. "Lo gak sama Allena, Nath?"
"Bareng, kok. Dia lagi di kantin, ada yang mau dibeli katanya. Gue disuruh nunggu di sini."
Krystal membulatkan mulutnya. "Ya udah, gue duluan, ya." Baru saja akan berbalik, niatnya urung ketika merasakan sebuah genggaman di tangannya. Krystal menatap Daniel tak mengerti. Gadis itu mengerutkan keningnya kala genggaman Daniel semakin menguat, bahkan mata tajam Daniel terlihat menggelap. "Niel?"
"Kita pergi sekarang," ujarnya datar.
"Lo kenapa?" Tak sempat menjawab pertanyaan Krystal, Daniel menarik tangannya dan berbalik.
"Nath, jangan katakan apapun." Suaranya terdengar lirih. Wajahnya bahkan tak berekspresi.
Krystal menoleh ke belakang. Ia melihat dua orang laki-laki menuju ke arah mereka. Seorang pemuda yang berumur 25 tahunan bersama dengan pria paruh baya yang duduk di atas kursi roda.
Siapa mereka? Dan mengapa Daniel seperti ini?
Krystal sempat melihat Nathan mengangguk sebelum akhirnya ia terpaksa mengikuti langkah Daniel yang tergesa meninggalkan tempat itu.
Lain halnya dengan Nathan yang menggaruk belakang kepalanya. Dia menoleh ketika ada yang memanggilnya.
"Nathan?"
"Eh, iya." Nathan tersenyum, meski terlihat terpaksa.
"Gak nyangka kita bakal ketemu di sini setelah sekian lama." Pria muda yang mendorong kursi roda itu tersenyum lebar.
"Iya. Mungkin empat atau tiga tahun yang lalu?" Nathan mengatakannya dengan ragu.
Pemuda itu tersenyum. "Tepatnya tiga setengah tahun yang lalu."
Nathan hanya membalasnya dengan senyuman. Mereka bahkan tak bertukar kabar. Matanya menatap ke arah pria paruh baya yang duduk di atas kursi roda.
"Siapa, Nak?" Nathan mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan itu.
Pemuda di hadapannya tersenyum, masih dengan mata yang menatap lekat wajah Nathan. "Nathan, Pa."
"Nathan?" Raut kebingungan terlihat jelas di wajah orang tua itu.
"Iya, Om. Ini Nathan," ujar Nathan tanpa mengalihkan perhatiannya. Ia masih mencoba memastikan sesuatu. Nathan berjongkok, menyejajarkan dirinya dengan kursi roda.
"Oh, kamu Nathan rupanya." Dia terkekeh pelan. "Maafkan orang tua ini, Nak. Makin tua, Om makin pikun dan rabun. Bahkan Om sampai tidak mengenalimu."
Nathan mengalihkan tatapannya pada sang pemuda. Dilihatnya pemuda itu dengan tatapan datar. "Gak papa, Om."
"Ehem ... bagaimana kabarmu?"
"Baik, Om."
"Kalau ... Daniel? M―maksud Om, bagaimana kabar anak itu?"
Nathan tersenyum, ia berdiri dengan tatapan yang tak lepas dari mata tajam pemuda di hadapannya. Mereka terlihat saling melempar pandangan penuh kebencian. "Dia baik. Keadaan Daniel sangat baik, Om."
Terlihat pemuda itu melemparkan senyum tak percaya. "Pa, kita pulang, ya. Mama pasti udah nunggu lama di rumah."
"Ah, iya. Papa sampai lupa hal itu. Maaf, ya, Nath, Om harus pulang sekarang."
"Iya, Om. Hati-hati di jalan. Jangan sampai ada yang mencuri kesempatan dengan mengambil apa yang bukan miliknya nanti," ujar Nathan ambigu.
Ucapan Nathan tak lagi ditanggapi. Pemuda tadi mendorong kursi roda setelah mereka berpamitan dan akhirnya pergi meninggalkan tempat itu. Nathan masih memandangi mereka dalam diam. Tak ada ekspresi wajah yang ia tunjukkan. Sampai akhirnya Allena datang dengan dua buah yang kresek di tangannya. Ia mengerutkan dahinya bingung melihat tingkah Nathan setelah pria itu berbincang dengan dua orang yang tak ia kenal.
"Siapa, Nath?" tanya Allena.
"Bang Esa."
***
Sedari tadi Daniel hanya diam. Hal itu membuat Krystal penasaran mengapa Daniel bisa berubah setelah melihat dua pria menuju ke arah mereka di rumah sakit tadi. Tapi, Krystal tak berani menanyakannya. Biarlah nanti Daniel yang akan cerita sendiri, walaupun kemungkinan tersebut sangatlah kecil.
"Gue gak bisa cerita sekarang," ujar pria itu ketika mereka baru saja tiba di rumah Krystal. Padahal Krystal tak menanyakan apapun. Meskipun begitu, Daniel tahu ada banyak pertanyaan yang muncul di benak Krystal.
"Gua tahu, kok." Krystal bergegas menuju kamarnya. Ia akan mengemasi beberapa pakaian untuknya dan Nadya. Mereka memutuskan untuk tinggal di rumah sakit saja. Meskipun keputusan ini memang sulit untuk Krystal karena harus bersekolah juga.
"Mau gue bantu?" Itu pertanyaan Daniel sebelum Krystal naik ke lantai dua.
Krystal menggeleng. "Lo di sini aja. Gue gak lama, kok."
Daniel mendudukkan dirinya di sofa. Ia mengingat kejadian beberapa menit lalu. Daniel harap, Nathan mengerti situasinya dan mampu mengatasi masalah itu. Ia menghela napas. Ada banyak perasaan yang muncul di dalam hatinya hingga Daniel tak mampu mengekspresikan semua perasaan itu. Marah, kecewa, kesal, rindu, bingung, benci, dan masih banyak lagi. Kejadian dua pria di rumah sakit tadi membuat pikirannya mendadak terpecah. Apalagi kasus pembunuhan yang ia tangani saat ini benar-benar berhasil menambah beban pikiran.
Ia tak bisa berbohong. Ada perasaan khawatir yang singgah di hatinya. Entah kenapa, Daniel mengkhawatirkan pria paruh baya yang duduk di atas kursi roda itu. Tapi tetap saja, Daniel kalah dengan egonya sendiri.
"Aaarghhh!!!" Suara teriakan dari lantai dua membuatnya terkejut. Tanpa babibu lagi, Daniel berlari menyusul Krystal. Jantungnya berdegup kencang. Semoga saja tidak ada hal buruk yang terjadi pada gadis itu.
"Tal, lo kenapa?" tanyanya langsung ketika ia memasuki kamar Krystal. Di sana, Daniel mendapati Krystal terdiam di samping tempat tidur. "Tal?" panggilnya.
"Niel." Krystal tersadar. Ia menghampiri Daniel dengan raut wajah yang tak dapat diartikan, antara cemas dan takut.
"Kenapa?"
"I―itu ...." Krystal menunjuk ke arah kaca jendela, ada darah di sana.
Daniel berjalan mendekat, memeriksa darah tersebut. "Darah ini udah mengering."
"Itu darah manusia?"
"Mungkin."
Krystal meneguk ludahnya. "D―di sana juga ada. Gue gak ngerti apa maksudnya." Krystal menunjuk ke arah kaca lemari yang terletak di samping meja belajarnya.
Daniel menoleh, mendapati darah mengering di kaca lemari tersebut membentuk sebuah pola.
H/V/P/L/O/Z/S
N/Z/O/Z/N
R/M/R
―X
"Apa maksudnya? Gue sama sekali gak ngerti," ujar Krystal.
Daniel menghela napasnya. Pria itu menatap jam tangan. Pukul 19.15 WIB. "Kita harus ke sekolah, sekarang."
"Hah?"
"Pelaku mencoba memberikan kita clue selanjutnya melalui kode ini. Dia memberikan huruf X yang menandakan bahwa pengirimnya memanglah pelaku itu."
"Gimana lo bisa tahu?" tanya Krystal tak mengerti.
"Kode ini adalah sandi A-Z. Di sini tertulis sesuai sandi A-Z, 'SEKOLAH MALAM INI'. Artinya, kita harus bergegas ke sekolah supaya pembunuhan yang selanjutnya bisa digagalkan." Daniel menarik tangan Krystal. "Kita harus cepat. Hubungi yang lainnya."
***
To be continued....
Halo, semuanya!
Mianhae, aku baru bisa update hari ini :(
Gak tahu kenapa, mood tiba-tiba down sampai gak semangat banget buat nulis. Padahal ide dah numpuk di kepala. Kalian jangan bosan-bosan buat semangatin aku, ya. Heheh~
Next, aku usahain untuk update cepat.
Saranghae, semuanya :*
Salam hangat,
Author
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top