Part 3

Dipublikasikan pada: Jumat, 19 Juni 2020

MISSION IN SCHOOL 2

"Jangan, untuk saat ini jangan percaya pada siapa pun. Bagaimana jika nasibmu berakhir seperti dulu?"

Now playing | Heart Attack - Demi Lovato

•••••••

Kamu akan pindah lusa.

Krystal menghela napasnya sekali lagi. Ia menopang dagu dengan tangannya. Siapa pun yang melihat Krystal seperti itu, pasti akan menganggap bahwa ia sedang dalam mode galau.

Iya, Krystal galau.

Dia harus pindah, dia akan meninggalkan sekolah tercintanya, dia akan pergi dari teman-temannya. Tidak, Krystal paling benci dengan perpisahan. Ia tak bisa pindah sekolah begitu saja, Krystal tak mau. Tapi, ia juga yakin bahwa Ayahnya tidak akan mengubah apa pun.

Krystal memandangi ruang kelasnya. Dia baru saja menjadi senior dan sebentar lagi pasti akan menghadapi berbagai ujian, dia tidak akan menjadi siswi berseragam putih abu-abu lagi. Tapi, rasanya berat sekali. Meskipun teman-temannya di kelas ini berbeda dengan tahun lalu, tapi ia mengenal mereka.

Suasana kelas seperti biasanya terlihat ramai, bahkan bisa dikatakan seperti pasar. Bohong jika ada yang mengatakan kelas unggulan di Galaxy High School ini adalah kelas kutub dengan murid kutu buku dan introvert. Sama sekali tidak seperti itu, kelas ini justru berbeda.

Terlihat si ketua kelas ---Arlan--- tengah menggebrak meja lalu berkoar-koar agar yang lain tidak berisik karena kelas sebelah masih ada guru. Kasihan sekali, tidak ada yang menggubrisnya. Lalu ada Bobi, si manusia gendut berkacamata yang tengah dijahili Jaka dan Arman. Mereka tertawa ketika berhasil membuat Bobi kesal.

Ada Jessica yang memilih bergabung bersama kumpulan siswi di pojok sana. Bisa Krystal tebak, mereka tengah membicarakan drama Korea. Jessica terlihat antusias memuji ketampanan seorang aktor dalam drama Descendant Of The Sun. Entahlah, Krystal belum pernah menontonnya. Ia tak minat.

Pandangannya teralihkan pada Daniel yang duduk di belakang sana. Apa Daniel sudah tahu bahwa ia akan pindah? Biasanya, Daniel selalu menjadi orang pertama yang tahu tentangnya padahal ia belum mengatakan apa pun.

Tapi, ada yang aneh.

Krystal menyipitkan matanya, ia memergoki Daniel sedang memerhatikan seseorang. Saat Krystal mengikuti arah pandang pria itu, dia mencibir.

"Oh, lagi liatin Anya rupanya." Dia tampak mengatakannya dengan setengah hati. Apa-apaan ini? Kenapa Daniel melihat Anya sampai sebegitunya?

Fyi, Anya termasuk teman barunya juga. Dia gadis terpintar di sekolah ini. Dulu Anya satu kelas dengan Arlan. Krystal tahu betul bahwa Anya adalah murid teladan di GHS. Semua guru memujinya. Bahkan waktu dia kelas sebelas dulu, banyak guru yang mengatakan ini itu tentang Anya saat mengajar di kelasnya.

Tapi mengapa Daniel sampai gak kedip ngelihatin Anya gitu?

Beneran, deh. Daniel melipat tangannya di depan dada, punggungnya bersandar pada kursi, di telinganya tersumbat earphone putih yang Krystal yakini untuk membasmi suara-suara berisik di kelasnya. Meskipun di depan Daniel ada sebuah buku Fisika yang akan menjadi pembelajaran selanjutnya, mata pria itu malah mengarah pada Anya yang sedang sibuk menulis sesuatu.

"Biasa aja kali liatinnya," gumamnya mencibir. Untung saja di barisan tempat Krystal duduk, tidak ada yang menempati. Semuanya sibuk pindah ke belakang sana, sedangkan Arlan masih setia berkoar di depan meskipun sia-sia.

"Cih, kenapa gue pengin colok tuh mata ya?"

Tepat saat itu juga, Daniel menengok ke arahnya. Dia sempat melihat Krystal tengah menatapnya dengan mata menajam. Kalau ini film kartun, pasti Daniel melihat asap mengepul keluar dari telinga Krystal, pun tanduk merah di kepalanya. Krystal langsung mengalihkan tatapannya ke depan. Gadis itu merutuki dirinya sendiri sebelum kemudian memiringkan kepala dan menidurkannya di atas lipatan tangan.

Anjir, semoga dia gak sadar gue liatin sampai mata gue mau lepas.

Krystal memejamkan matanya, berharap bisa melupakan semua hal yang sedang mengganggu pikirannya. Bagaimana pun, ia juga harus memikirkan cara paling jitu untuk membuat Gabriel mengubah keputusannya.

Bagaimana dengan merajuk?

Tidak, Krystal bukan tipe anak yang suka merajuk. Meskipun dulu waktu ia kecil, Gabriel dan Nadya selalu memanjakannya. Lagi pula, Krystal tidak pandai berakting dengan pura-pura marah pada kedua orang tuanya.

Di saat seperti ini, otak Krystal yang encer seolah lenyap. Krystal tak bisa memikirkan cara lain untuk bisa tetap di sini. Apa dia minta bantuan teman-temannya saja? Tapi, memangnya apa yang bisa mereka lakukan untuk membantunya?

Lama-kelamaan Krystal jadi gemas sendiri dengan Ayahnya. Ia lapar, tapi bel istirahat belum juga berbunyi. Beruntung kelas mereka sedang free, pelajaran selanjutnya akan dimulai setelah istirahat kedua. Sepertinya jika ke kantin sekarang tidak akan masalah, kan?

"Tal, lo tidur?"

Krystal membuka matanya ketika mendengar suara dalam itu, "Astaga!" Ia hampir saja terjengkang melihat wajah Daniel tepat berada di depannya jika saja pria itu tidak menahan pinggangnya.

Mereka saling menatap beberapa saat sebelum Daniel mengatakan, "Ikut gue." Dia lalu melepaskan tangannya dari pinggang Krystal. Daniel beranjak berdiri dari kursi Jessica hingga akhirnya Krystal melihat pria itu keluar dari kelas.

Krystal menghirup napas dalam-dalam. Dari tadi ia menahan napas. Entah sejak kapan Daniel duduk di sebelahnya dengan posisi tidur di atas meja menghadap ke arahnya. Bayangkan sendiri, siapa yang tidak kaget coba? Jadi, sudah berapa lama Daniel menatapnya dengan cara seperti itu? Bukankah tadi dia memerhatikan Anya sampai tidak berkedip?

Krystal menggeleng-gelengkan kepala, ia menepuk-nepuk dadanya, "Sadar, Krystal. Stabilkan detak jantungmu, oke?" Ia tersenyum sebelum kemudian menyusul Daniel keluar kelas.

***

Daniel melirik Krystal dalam diam. Angin berhembus pelan menerbangkan beberapa helai rambut gadis itu. Krystal memejamkan mata, ia menyelonjorkan kakinya lalu tersenyum tipis.

Kapan lagi Krystal bisa pergi ke rooftop sekolah sambil menikmati hembusan angin seperti ini?

"Besok gue mau pindah," curhatnya tanpa menatap Daniel. Krystal tidak mau melihat bagaimana reaksinya ketika ia mengatakan kalimat itu.

"Kemana?" Sepertinya Gabriel belum memberitahukan apa pun pada Daniel.

"Venus. Yah, bukan planet Venus, tapi tempat dimana masa lalu gue berada." Krystal tertawa kecil, ia merasa geli dengan ucapannya sendiri.

"Raja?"

Gadis itu mengangguk sekali, "Kenapa? Cemburu?"

"Hm."

Krystal langsung menoleh dengan mata membulat, "Eh?"

"Gue udah coba bantu lo buat tetap di sini. Kemarin malam gue ke rumah lo."

Krystal terkejut, "Kemarin lo ke rumah gue? Kok gue gak tahu? Jam berapa? Gue udah tidur kali, ya? Tapi kan, kemarin gue aja baru bisa tidur jam dua."

Daniel hanya mengangkat bahu, "Gue cuma ngobrol sama bokap lo di teras. Gak ada yang bisa gue lakuin. Ini cara terbaik supaya lo tetap aman dari ancaman, Tal. Gue gak bisa cegah Pak Gabriel buat lindungin anaknya sendiri."

"Lo aja gak bisa luluhin hati Ayah," gumam Krystal lirih. Jika ia meminta bantuan Jessica dan yang lainnya, Krystal yakin Ayahnya tidak akan mengubah keputusannya. Ia merasa tak ada lagi yang bisa dilakukannya untuk tetap berada di GHS.

"Lo pindah aja. Gue sama yang lain juga gak mau nyawa lo dalam bahaya karena ancaman itu."

"Gue tahu semua ini buat kebaikan gue sendiri. Tapi, rasanya berat banget, Niel. Gue udah sekolah di sini dua tahun lebih, gue nyaman di sini. Sekarang cuman tinggal satu tahun lagi untuk nunggu gue lulus. Kenapa gue harus pindah?" Krystal menahan sesak di dadanya. Ia tak bisa menatap Daniel, tatapannya justru mengarah pada pemandangan di bawah sana.

Krystal akan sangat merindukan sekolahnya ini jika ia pindah nanti. Lapangan outdoor itu, Krystal akan merindukan masa dimana dirinya terus mengeluh akibat panas matahari dan pidato Pak Johan yang tak berujung. Dia akan merindukan tempat bermain basket itu, ketika dia selalu dipaksa Jessica untuk menemaninya cuci mata melihat tubuh atletis para siswa.

Belum pindah saja rasanya Krystal mau menangis mengenang semua itu.

"Nangis aja."

Krystal menatap Daniel, air matanya turun seketika. Ia menunduk, tak membiarkan Daniel melihatnya seperti ini walaupun dulu Daniel pernah menyaksikan bagaimana wajah Krystal ketika menangis.

Bahunya bergetar, isakan kecil terdengar. Daniel membiarkan, dia memberikan waktu pada Krystal untuk menenangkan dirinya sendiri. Bel istirahat terdengar nyaring, mengisi setiap sudut sekolah. Beberapa siswa keluar bersama temannya, ada yang berlarian seperti anak TK. Mereka menuju arah yang sama, kantin, surganya murid sekolah.

"Gak ada yang bakal liat gue nangis di sini selain lo, kan?" tanya Krystal memastikan. Krystal mengusap asal pipinya, ia masih sesenggukan.

Daniel membersihkan sisa air mata Krystal dengan ibu jarinya, ia menggeleng. Jantung Krystal seakan berdebar kencang, padahal Daniel tidak menampilkan ekspresi apa pun.

Lalu pria itu terkekeh kecil, "Muka lo selalu jelek abis nangis." Krystal melotot mendengarnya, "gue harap, ini tangisan terakhir lo." Bagaimana pun Krystal menyangkalnya, ucapan Daniel terdengar tulus.

Ia mengerjap, "Eh, lo tadi ngapain liatin Anya sampai gak kedip?" tanyanya tiba-tiba. Ia tak tahu harus membalas kalimat Daniel tadi seperti apa.

"Lo belum boleh tahu."

Krystal mengerutkan keningnya tak mengerti, "Kenapa gue gak boleh tahu? Lo ... suka sama Anya?" Daniel hanya diam, Krystal berdehem lalu mengalihkan tatapannya, "Ya, wajar, sih. Anya kan cantik, baik, pintar, murid teladan lagi."

Gue mah apa? Cuma ampasnya doang. Krystal mengangguk maklum.

"Bukan gitu." Daniel menghela napasnya, "Entah kenapa, gue ngerasa ada yang aneh dengan Anya terkait kasus pembunuhan Gilang."

Krystal menoleh bingung, "Anya ada hubungannya sama kasus ini?"

"Gue gak akan kasih tahu apa pun sama lo. Anggap aja tadi gue asal ngomong. Untuk saat ini, lo jangan percaya sama siapa pun dulu. Bahkan sama gue sekalipun. Belum tentu apa yang gue duga adalah kebenarannya."

Krystal tak mengerti, kenapa ia tak boleh percaya pada Daniel? Lagipula, bukankah itu semua masih dugaan sementara? Setidaknya, Krystal ikut turun tangan menghadapi kasus ini sampai mereka berdua menemukan pelaku yang sebenarnya.

"Kenapa?"

"Gue takut kita terjebak lagi kayak dulu."

Mungkin Daniel benar. Untuk saat ini, Krystal tidak boleh percaya pada siapa pun. Tapi, bukankah kemarin Daniel mengatakan bahwa ia harus segera memberitahu pria itu jika dirinya mendapati sesuatu yang mencurigakan?

"Tapi, kenapa kemarin lo bilang gue harus ngasih tahu apa pun yang gue tahu? Lo percaya sama gue?"

Daniel mengangguk, "Apa pun yang lo tahu, yang lo temukan dan mencurigakan terkait kasus ini, segera kasih tahu gue. Gue percaya sama lo karena semua itu fakta. Sedangkan yang gue pikirkan selama ini hanya dugaan sementara. Lo paham kan, apa yang gue ucapin?"

Krystal mengangguk meskipun ia masih ragu. Apa setelah pindah nanti, ia tetap mendapatkan ancaman? Tapi, sampai saat ini pelaku pembunuhan itu masih belum menunjukkan tanda-tanda akan ada korban selanjutnya.

Drrttt... Drrttt....

"Bunda?" Krystal mengerutkan kening ketika Nadya menghubunginya. Tidak biasanya Nadya menelpon dia ketika ia masih di sekolah.

"Halo, Bun."

Terdengar suara Nadya menahan isakannya, "Tata bisa pulang sekarang? Ayahmu ... kecelakaan."

Jantung Krystal seperti berhenti berdetak. Bibirnya bergetar, "A-ayah kecelakaan?"

***

To be continued ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top