Part 10
Dipublikasikan pada: Jumat, 11 September 2020
MISSION IN SCHOOL 2
"Siapa kamu? Semuanya lancar, sebelum kehadiranmu membawa masalah. Baiklah, aku akan menyingkirkan semua masalah itu, pun dengan sumbernya."
Now playing | Who Are You — Sam Kim
***
Arka menatap orang di hadapannya, tak menyangka ada yang mau menemuinya saat ia terkunci pada sel penjara. Dia kira orang itu adalah pemilik panti yang dulu pernah mengasuhnya, ternyata bukan.
Senyum yang tadi terbit di bibirnya luntur begitu melihat siapa yang datang. Bukan, bukan karena yang datang adalah orang yang Arka benci. Justru Arka tak tahu siapa yang menemuinya itu.
"Lo siapa?" tanyanya.
Wajah bermasker hitam dan kupluk jaket menutupi kepala membuat Arka tak bisa mengenali siapa dia. Arka duduk di hadapannya, tak ada polisi yang mengawasi mereka. Namun, ia hanya memiliki sedikit waktu untuk berbincang dengan penjenguknya.
"Lo gak perlu tahu siapa gue." Suara seorang perempuan terdengar. Arka mengerutkan kening, ia merasa mengenali suara itu. Tapi, di mana?
"Kenapa lo mau ketemu sama gue?"
Orang di hadapannya mengedikkan bahu. "Tanpa alasan."
"Tanpa alasan?" ulang Arka tak percaya.
Ia mengangguk. "Atau hanya karena satu alasan? Ah, mungkin memang begitu." Ia terkekeh, padahal tak ada yang lucu. "Lo kenal Anya, kan?"
Raut wajah Arka berubah. "Kenapa sama Anya?" Dia balik bertanya.
"Sebentar lagi cewek lo keluar dari rumah sakit."
"Benarkah?" Binar senang tampak muncul di mata Arka. Ia terkejut mendengarnya, namun dia senang bila Anya ternyata—
"Ya, benar. Anya akan keluar dari rumah sakit." Perempuan itu mendekatkan wajahnya lalu berbisik, "setelah dia mati."
Wajah Arka berubah tegang. "Apa maksud lo?"
"Lo tahu betul apa maksud gue."
"Dia gak mungkin mati. Anya pasti bisa sadar," ujar Arka mengelak.
"Memangnya apa yang lo harapkan kalau dia sadar? Cintanya? Atau kesaksiannya sebagai seorang korban sehingga lo bisa dibebaskan karena gak bersalah?" Dia tersenyum miring melihat Arka bungkam. "Baiklah, gue gak punya waktu lama lagi. Gue cuman mau bilang, lebih baik lo buat keputusan yang gak akan lo sesali."
"Maksudnya?" tanya Arka tak mengerti.
"Pilih di antara dua keputusan itu." Ia menjeda kalimatnya sebelum akhirnya melanjutkan, "Antara bebas dari sini, atau mati."
***
Daniel menghempaskan punggungnya pada kursi pengemudi. Ia menghela napas panjang, tangannya menatap flashdisk berisi rekaman CCTV yang diberikan oleh Agus, petugas apartemen milik Bramantyo.
Krystal dan Jessica menyusul, memasuki mobil. Mereka masih terkejut dengan kebenarannya, bahwa apa yang dikatakan petugas apartemen itu ternyata nyata. Anya, teman sekelas mereka, yang selalu mendapat sanjungan dari guru bahkan kepala sekolah sendiri, ternyata bekerja sebagai seorang pelacur.
Anya masih berumur 18 tahun. Dari informasi yang mereka dapat, dia memulai pekerjaan haram tersebut sejak memasuki sekolah menengah atas. Namun, Agus mengatakan bahwa anak dari pemilik apartemen menegurnya karena telah berani menegur Anya yang membawa pria asing masuk. Artinya, Gilang tahu siapa Anya yang sebenarnya. Lantas, mengapa dia membiarkan pacarnya sendiri melakukan hal itu?
Krystal terduduk diam. Dia tahu Anya adalah seorang murid beasiswa, kecerdasan dan prestasinya membuat Anya diterima di Galaxy High School. Lalu, untuk apa Anya melakukan semua ini?
Mereka bahkan tak sadar, tujuan awal datang ke tempat Anya mencari bukti untuk membebaskan Arka justru berganti haluan menjadi rasa penasaran akan kehidupan gelap yang dijalani oleh seorang Hanindhya Anya.
"Gue gak habis pikir," celetuk Jessica. Dia menoleh pada Krystal. "Anya gak mungkin melakukan semua itu. Dia bahkan terkenal pendiam di kelas."
Krystal menunduk, ia juga merasakan hal yang sama dengan Jessica. Namun, Krystal tak bisa menyangkal kebenarannya. "Gue juga sependapat sama lo, Ca. Tapi, pendapat kita kalah dengan kenyataan yang ada. Nyatanya, Anya memang bukan cewek yang selama ini kita kenal."
"Lalu, gimana sama tujuan awal? Kita gak nemu sesuatu yang bisa membuktikan bahwa Arka tak bersalah." Jessica benar, mereka tak mendapatkan bukti kuat hari ini.
"Kita cari bukti di tempat lain," sahut Daniel. Dia menyalakan mesin mobil, bersiap untuk menjalankannya. Terdengar deringan panggilan dari ponselnya, Daniel mengangkat panggilan dari Iptu Pratama itu.
"Gimana kalau kita cari bukti di tempat kejadian? Mungkin saja kita bisa menemukan sesuatu di sana." Krystal berpendapat. Ia teringat UKS di sekolahnya, tempat di mana mereka menemukan Arka dan Anya berlumuran darah.
Jessica mengangguk setuju. "Bener, tuh. Siapa tahu kita dapat petunjuk."
"Tapi, bukannya polisi udah memeriksa tempat itu? Mereka gak ngasih kabar apapun, seolah-olah memang tak ada petunjuk yang mereka temukan."
Daniel menutup panggilan teleponnya. Ia bergegas menjalankan mobil. "Kita ke rumah sakit sekarang."
Krystal dan Jessica kompak menoleh ke arahnya. "Kenapa?" tanya mereka bersamaan.
"Arka berusaha bunuh diri di dalam penjara. Dia sekarang dirawat di rumah sakit."
Krystal melebarkan matanya. "Bunuh diri?"
***
Dua puluh menit yang lalu di kantor polisi ....
"Siapa lo sebenernya?" Arka bertanya. Ia heran dengan gadis di hadapannya itu. Apalagi setelah mendengar pilihan aneh yang tadi dilontarkan. Ia terkekeh tak percaya, lalu menatapnya datar. "Apa lo pelakunya?"
Terdengar suara tawa dari bibir itu. "Pertanyaan konyol." Ia membalas tatapan Arka, mendekatkan wajah dan berbisik, "Bukannya lo udah tahu siapa pelaku yang sebenarnya?" Dia tersenyum misterius melihat ekspresi Arka berubah.
"Gue gak bisa lama-lama lagi di sini. Gue tahu kalau lo tahu siapa pembunuh aslinya. Silakan saja kalau lo mau laporan, dan lo tahu sendiri apa akibatnya. Gue cuman mau tegasin satu hal, jangan salah memilih. Kalau Anya meninggal, lo gak akan pernah bisa bebas meskipun mengatakan kebenarannya. Kalau Anya sadar dari koma, lo hanya punya dua pilihan, bebas atau mati. Lo pikir Anya akan semudah itu mengatakan siapa yang berusaha membunuhnya? Gak akan, dia justru akan tetap diam agar rahasia terbesarnya tidak terbongkar. Kalau pun dia mengaku, lo gak akan pernah bisa ketemu sama dia lagi. Anya akan dikeluarkan dari sekolah, dan akhirnya kalian berpisah," lanjutnya setengah berbisik. Ia tersenyum miring melihat ekspresi ragu terpampang di wajah Arka.
Semua ucapan yang dikatakan oleh gadis asing tadi masih terngiang jelas di pikiran Arka. Dia merenung di dalam sel, memikirkan semuanya. Memang benar, Arka tahu siapa orang yang mencoba membunuh Anya. Dia hendak memberitahu pada pria bernama Daniel kemarin, namun urung karena suatu alasan.
Arka tak mungkin mengungkapkan rahasia Anya. Karena jika dia mengatakan siapa pelaku yang asli, maka rahasia Anya akan ikut terseret dan akhirnya terungkap. Ia tak mau hal itu terjadi. Karena pada faktanya, Arka sangat menyukai Anya, hingga ia tak mampu melukai perasaan gadis itu meski Anya lebih mementingkan ego daripada dirinya.
Apa yang harus gue lakukan?
Perdebatan batin yang dialami Arka tak menemukan jalan yang tepat. Ia menghela napas panjang.
Kalau Anya sadar dari koma, lo hanya punya dua pilihan, bebas atau mati.
Kalau pun dia mengaku, lo gak akan pernah bisa ketemu sama dia lagi.
Ucapan gadis itu seolah terputar terus-menerus dalam pikiran Arka. Dia beranjak berdiri, berjalan mendekati sel. Tangannya memegang jeruji tersebut, matanya terpejam kuat. Di detik berikutnya, Arka memukulkan kepalanya sendiri. Tahanan lain saling menatap bingung, lalu memilih acuh dengan kegilaan yang dilakukan Arka. Bahkan ketika kepalanya berdarah, Arka seolah tak merasa sakit, terus memukulkan kepala pada jeruji penjara sampai polisi datang.
"Hey, apa yang kau lakukan?!"
Duk! Duk! Duk!
Suara benturan antara tengkorak berlapis kulit dengan jeruji itu terdengar keras. Beberapa polisi datang, membuka pintu sel dan mencoba menghentikan aksi Arka. Namun terlambat, Arka terhuyung ke belakang hingga akhirnya tak sadarkan diri dengan kepala bocor.
"Bawa dia ke rumah sakit!"
***
"Kenapa dia bisa bertindak seperti itu?" tanya Pratama pada kedua bawahannya.
"Kami juga terkejut, Pak. Sebelumnya ada yang menemui Arka, lalu dia melakukan percobaan bunuh diri di sel dengan tiba-tiba," jawab salah satunya.
"Tidak mungkin dia mencoba bunuh diri jika tak ada alasan," gumam Pratama. "Siapa yang menemuinya?"
"Seorang gadis, katanya dia keluarga Arka. Wajahnya memakai masker, dia juga mengenakan topi."
"Lalu kenapa kalian mengizinkannya menemui Arka padahal penampilannya saja sudah mencurigakan begitu?" kesal Pratama.
"Maaf, Pak."
Pratama mengibaskan tangannya. "Sudah, kalian jaga Arka di ruangannya. Saya mau ketemu Daniel dulu."
"Baik, Pak."
Begitu mereka pergi, Pratama beranjak dan menghampiri Daniel beserta kedua temannya. "Bagaimana, Paman?"
Pratama menghela napas. "Dia mencoba untuk membunuh dirinya sendiri setelah ditemui oleh seorang gadis."
"Seorang gadis?" ulang Krystal. "Siapa?"
"Paman juga tidak tahu. Dia mengatakan dirinya sebagai keluarga Arka."
"Padahal Arka sebatang kara," ujar Jessica. Semua mengangguki ucapannya.
"Jika benar, tidak mungkin Arka menuruti perintah untuk bunuh diri begitu saja, pasti ada alasan kenapa dia melakukan hal itu." Daniel menyandarkan tubuhnya pada tembok, mengingat bagaimana percakapannya dengan Arka kemarin.
Sebenarnya, apa yang berusaha Arka sembunyikan?
"Apa mungkin cewek yang menemui Arka tahu fakta tentang Anya? Karena dia tahu, dia mengancam akan membeberkannya jika Arka tak mau bunuh diri. Sedangkan Arka sendiri tak mau ada siapa pun yang tahu tentang Anya." Jessica mengatakan pendapatnya ragu.
"Sepertinya begitu," sahut Krystal, menyetujui ucapan sahabatnya.
"Kita masih belum tahu apa alasannya, tunggu aja Arka sadar dari pingsan." Daniel sebenarnya sudah menyusun semua fakta yang mereka dapat. Hanya saja, ia masih belum yakin.
Berbeda dengan ketiga remaja tersebut, Pratama justru mengerutkan keningnya bingung. "Fakta tentang Anya? Korban percobaan pembunuhan itu?"
Daniel mengangguk. "Fakta ini masih belum jelas, Paman. Kalau diberikan kepada polisi, justru akan menimbulkan masalah baru. Bahkan tidak akan membantu apa-apa untuk membebaskan Arka."
"Memang apa faktanya?"
"Anya seorang pelacur bayaran," ujar Krystal spontan. "Dia kemungkinan sudah melakukan hal itu dari awal masuk SMA hingga akhirnya berpacaran dengan Gilang dan mengalami percobaan pembunuhan."
"Ini kasus yang rumit," gumam Pratama. Ia menatap Daniel, putra angkat dari salah satu bawahannya yang sudah ia anggap sebagai adik. Istilahnya, Daniel sudah seperti keponakannya sendiri. "Apa kalian menyelidiki semuanya tanpa persetujuan polisi?"
"Anggap saja kami hanya remaja SMA yang sedang mencari tahu kebenaran tentang teman kami, Paman," ucap Daniel. Ia tahu tindakannya menyelidiki kasus tanpa persetujuan pihak berwajib memang salah, namun Daniel tak bisa membiarkan semuanya begitu saja.
"Tapi—"
"Pak!" Ucapan Pratama terhenti saat seorang pria berbadan gempal dan berseragam menghampirinya dengan tergesa-gesa. Dia adalah bawahan yang ia perintahkan untuk menjaga Arka tadi.
"Kenapa?"
Polisi bernama Bondan itu menetralkan napasnya yang tak beraturan. "Tahanan—"
"Kenapa sama Arka?"
"Dia tidak ada di ruangannya."
Mereka semua tersentak mendengar pernyataan Bondan. "Maksud kamu?" tanya Pratama tak mengerti.
"Saya dan Herman pergi sebentar menemui dokter. Ketika kembali, Arka sudah tidak ada di ruangannya. Herman sedang pergi mencari anak itu," jelasnya cepat.
"Gawat," gumam Pratama. Ia menatap Daniel, Krystal, dan Jessica. "Kalian bantu paman mencarinya. Dia bisa mencoba untuk membunuh dirinya lagi jika kita tidak mencegahnya."
"Mencoba bunuh diri lagi?" ulang Jessica tersentak.
"Paman akan mencari di dalam rumah sakit ini. Kalian cari di luar rumah sakit. Kamu ikut dengan saya, Bondan!" perintah Pratama. Bondan mengangguk, mereka bergegas mencari Arka.
Daniel beranjak, mengikuti perintah Pratama untuk mencari keberadaan Arka di luar rumah sakit, begitu pula dengan Krystal dan Jessica.
"Gue gak nyangka Arka mau bunuh diri," gumam Jessica. Ia menengok ke kanan dan kiri, berharap menemukan seorang pemuda tinggi yang memiliki perban di kepala.
"Semoga gak terjadi hal yang buruk." Krystal tak mau ada korban lagi di sini. Dia melangkah cepat, mereka berjalan tak tentu arah dengan perasaan yang campur aduk. Arka tak bersalah, dia rasanya tidak pantas bila harus bunuh diri.
"Di mana dia?" Jessica mengusap wajahnya frustasi. Dia menengadah, melihat awan malam menutupi bulan. Tak ada bintang di langit, malam ini suasananya terlihat mendung. Ia memiliki perasaan tak enak.
Bola mata itu bergerak ke kanan, melihat di atas sana berdiri sesosok pria memakai kaos berlumuran darah. Wajahnya putih pucat, Jessica membeku.
"Gilang," gumamnya lirih. Sedetik setelah itu, sosok Gilang lenyap, hingga akhirnya berdiri tepat di depan Jessica.
Gadis itu terkejut, beruntung kondisi mengenaskan Gilang sudah berubah menjadi seperti manusia biasa, hanya kulitnya yang pucat.
"Gue udah memperingatkannya, tapi dia acuh."
Kening Jessica terlipat dalam. "Maksudnya?"
Gilang menengadah, menatap seorang pemuda yang berdiri di atas atap rumah sakit.
Brak!
Suara benturan yang sangat keras itu membuat Jessica membuka mulutnya tak percaya. Ia berteriak, Krystal dan Daniel menghampirinya. Suasana di luar rumah sakit terlihat kacau, beberapa perawat dan pengunjung terkejut dengan apa yang baru saja terjadi.
Sosok Gilang kembali lenyap. Jessica masih mematung, begitu juga dengan Krystal. Daniel menghubungi Pratama.
"Kami menemukan Arka." Pria itu terdiam sejenak lalu melanjutkan, "Dia jatuh dari atap rumah sakit dan menimpa sebuah mobil."
***
To be continued....
Yeay, akhirnya bisa update juga!
Ada yang penasaran siapa yang menemui Arka saat di penjara?
Apakah Arka meninggal?
Bagaimana dengan hantu Gilang? Apa hubungan mereka?
Tunggu kelanjutannya, ya!
Dapat salam dari Krystal dan Jessica.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top