Worry
Seharusnya Hinata tidur di kamarnya atau paling tidak di kamar Rei, setelah acara menangis dalam pelukan Naruto dengan tidak elitnya. Kini ia tengah berbaring di ranjang milik Naruto, tidur bersama.
Kata-kata itu terus mengiang di kepala Hinata hingga ia sulit untuk memejamkan matanya. Sementara Naruto sudah jatuh ke alam mimpinya dengan lengan yang memeluk posesif tubuh Hinata, bahkan kaki panjannya mengapit kaki Hinata hingga gadis bersurai indigo itu sangat sulit bergerak ditambah napas yang tak beraturan.
Bagaimana aku bisa tidur jika ia memeluku seerat ini. Hinata mendesah frustasi, kelopak matanya sudah memberat ingin terpejam menyebrangi alam mimpi. Tapi degup jantungnya tak bisa diajak bekerja sama.
"Kenapa belum tidur?" suara serak Naruto sayup-sayup menyapa telinga Hinata, gadis itu membilatkan matanya.
"Aku...," Hinata menggigit bibir bawahnya erat, "Aku tak bisa tidur karena detak jantungku berisik sekali."
Tawa Naruto nyaris meledak mendengar jawaban polos Hinata, sebenarnya berapa usia Hinata? kenapa perempuan di depannya lebih mirip remaja yang baru saja mengenal cinta.
Naruto mencubit Hidung Hinata dengan gemas. "Kau ini."
Tanpa melanjutkan ucapannya Naruto lebih memilih mengecup bibir Hinata, membuat tubuh Hinata semakin mematung.
Tangan panjanngnya menyelinap masuk ke balik kaos yang dikenakan Hinata, mengusap pungung Hinata.
"Shhh...." Hinata menelusupkan kepalanya ke dada Naruto.
"Hinata...," panggil Naruto seduktif, tangannya masih sibuk menjelajahi punggung Hinata. "Kau tidak memakai bra?"
What?
Hinata merenggut mendengar pertanyaan Naruto, saking kesalnya ia mengigit dada Naruto hingga kaus yang Naruto pakai meninggalkan jejak saliva miliknya.
"Kau ternyata agresif." bisik Naruto dengan suara seduktifnya, tangannya menyentuh bagian kausnya yang basah.
Wajah Hinata merah, itu hanya reaksi reflek karena kesal. "Dasar pria menyebalkan."
"Tapi kau menyukai pria tampan ini." Naruto kembali mendaratkan bibirnya di bibir Hinata, kali ini bukan hanya sekedar kecupan.
Naruto masih betah bermain di atas bibir Hinata, sementara tangannya menjelajah sempurna ke setiap inchi tubuh Hinata merasakan lembutnya kulit Hinata.
"Hinata." Naruto menghentikan tangannya yang tengah bergerilya di kulit Hinata. "Emm... Bisakah kita?"
"Tidak." Hinata menjawab tegas ketika kesadarannya mengambil alih. "Aku tak mau mengecewakan Ayahku."
Hinata tahu kemana tujuan pertanyaan Naruto, Making love.
Dan Hinata tak mau itu terjadi sebelum ada ikatan pernikahan, ia tak mau menghianati kepercayaan Ayahnya.
"Tapi bolehkan aku menciummu?" tanya Naruto, safirnya masih terselimuti gairah.
Hinata mengangguk malu dengan wajah yang merah.
Yang ada di pikiran Hinata adalah Naruto akan kembali menciumnya di bibir atau area wajahnya. Namun pikiran itu seketika tersapu angin saat Naruto tengah menaikan kaus yang ia pakai hingga sebatas dadanya.
Hinata hampir memekik ketika Naruto menggigit pelan perutnya, lalu memberi kecupan kecil di sana.
"Kau menyukainya?" Seringai yang tercetak di wajah Naruto hanya membuat rona merah di wajah Hinata semakin menjadi.
Sepertinya malam ini akan menjadi malam panjang, dimana Naruto akan lebih fokus menciumi sekukujur tubuh Hinata yang menegang dibanding tidur menyebrangi alam mimpi.
.
.
.
.
.
"Hei berhenti marah seperti itu." Naruto masih dibuat tak tenang dengan sikap Hinata, sejak tadi gadis itu hanya diam dan merenggut. Sesekali berbicara pun hanya menanggapi celotehan Rei.
Setelah mengantar Rei pergi ke sekolah Naruto tidak langsung mengantar Hinata ke kantornya. Pria itu dengan seenak hatinya mengajak Hinata ke kantornya, meski beberapa protes Hinata layangkan karena tidak suka. Tapi Naruto tetap memaksa Hinata ikut dengannya.
Setelah menghabiskan waktu dua puluh menit duduk di sofa yang ada ruangan Naruto, akhirnya Hinata mau bicara. Amethystnya masih menatap Naruto dengan tidak percaya.
"Why?"
"As soon as possible, Hinata."
"Ini terlalu mendadak." geram Hinata, selalu saja seperti ini. Lagi-lagi Naruto melakukan sesuatu dinalar Hinata.
"Jadi, kau sudah tidak marah? kita harus segera bergegas ke butik untuk Fiting baju pengantin." Pria itu dengan santainya berucap tidak peduli raut wajah Hinata yang kembali menegang.
"Setelah mengunjungi keluarga ku tanpa memberitahuku, lalu kau meminta izin menikahiku kepada Ayahku. Sekarang apalagi? kenapa kau melakukannya sendiri? kenapa tidak ada kompromi antara kita? memangnya hanya kau yang mau menikah?"
Kali ini Hinata benar-benar meluapkan emosinya, tadi pagi Hiashi menelpon Hinata. Membicarakan kedatangan Naruto dua hari lalu ke rumah mereka di Kyoto, Naruto meminta izin Hiashi untuk menikahi Hinata.
Ketika perempuan lain akan tersenyum bahagia mendengar penjelasan ayahnya, Hinata justru langsung kesal. Kenapa Naruto melakukannya diam-diam tanpa sepengetahuan Hinata, entah apa yang Naruto lakukan hingga bisa mengantongi Izin Hiashi dan Neji untuk menikahi Hinata.
"Hei, Hei...." Naruto menepuk-nepuk pipi Hinata, jari telunjuknya menarik sudut bibir Hinata. "Aku hanya ingin memberimu kejutan, aku sungguh tidak bermaksud melakukannya sendiri. Aku hanya berusaha membuatmu tidak merasa terbebani."
Hinata menarik napas dalam. "Tapi ini terlalu cepat, Pernikahan bukan sesuatu yang bisa dipermainkan."
"Sesuatu yang baik memang harus dipercepat." Bibir Naruto mengurva melihat Hinata yang kini terlihat gugup. "Lagi pula siapa yang mau bermain-main dengan pernikahan, Hm?"
"Naruto...,"
"Naruto-kun" potong Naruto, "Mulai sekarang kau harus terbiasa memanggilku, Naruto-kun."
Jemari Naruto bertengger manis di dagu Hinata memaksa gadis itu menatapnya dalam sayup-sayup rona merah.
"Kita sedang tak membahas itu, permasalahannya adalah pernikahan."
"Jadi, kau menganggap pernikahan kita sebuah masalah?" Wajah Naruto menegang, terlihat jelas ketidaksukaan atas kata yang terlontar dari mulut Hinata. "Jika kau anggap semua ini masalah, maka batalkan saja."
Suara Naruto meninggi, kali ini keduanya diliputi kekesalan. Hinata nyaris mengeluarkan bulir-bulir airmatanya saat Naruto mencoba meluapkan emosinya.
"Kau tidak mengerti, kau tidak mengerti bagaimana perasaanku. Mungkin ini pernikahan kedua kalinya untukmu, tapi bagiku ini yang pertama." Air mata Hinata lolos begitu saja melewati pipinya. "Sesuatu yang pertama kali akan selalu memberi ketakutan dan rasa gugup berlebih, aku takut dan kau tidak mengerti."
Inginnya Hinata keluar dari ruangan Naruto sekarang ini, tapi yang terjadi pasti kegiatan saling mengejar layaknya drama korea yang sering ditonton Sakura. Kali ini Hinata butuh penyelesaian dari rasa takut yang menyelimuti hatinya.
Sementara Naruto masih terdiam mencerna setiap kata yang terlontar dari mulut Hinata, gadis itu justru semakin terisak pelan memikirkan nasibnya.
Menikah? Bukannya Hinata tidak mau menikah dengan Naruto, ia justru sangat ingin. Tapi hatinya masih belum siap, ia masih takut.
Apa ia bisa menjalani hidupnya sebagai istri dari seorang Uzumaki? bagaimana kehidupannya nanti? apa yang bisa ia banggakan dari dirinya sendiri.
"No need to worry, Honey." Entah bagaimana caranya Naruto sudah bersimpuh di depan Hinata, mengecup pelan setiap jemari Hinata yang saling meremas erat.
"Aku tidak butuh ketakutanmu, please. Trust me." safir Naruto menatap Hinata, jemarinya mengusap pelan sisa air mata di pipi Hinata.
Bukannya mereda, Tangis Hinata malah semakin pecah.
TBC
A/N :
Bener yah ini gue kalo bikin FF gak suka konflik yang ribet atau sejenisnya, soalnya gue sendiri kalo jadi readers bukan type orang yang suka konflik panjang yang menguras otak. Bukan orang yang suka eksplore pihak-pihak pendukung, lebih fokus sama pemeran utama 😃😃
Gue ini pecinta kisah disney happily after ever.
Kalo gak suka Fanfict ringan yang kisahnya itu-itu aja. Mending gak usah mampir di work gue 😂
Bubaaaayyy
Salam Hangat
Selingkuhannya Seunghoon XD XD
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top