I Feel You


Pagi ini seharusnya Naruto sudah duduk manis di kursi kebesaran Uzumaki miliknya karena ada beberapa dokumen yang harus ia tandatangani, tapi ia masih duduk termangu di meja makan bersama Rei dan Hinata.

Rei berceloteh ria tentang gambar yang ia buat kemarin, anaknya terlihat begitu bahagia. "Daddy, kapan kita bisa pergi ke taman bermain bersama?"

"Mungkin minggu depan."

Rei merenggut tak suka mendengara ucapan ayahnya, karena jika Ayahnya berkata mungkin maka prosentase terjadinya hanya lima persen dan 95 persennya dipastikan akan gagal. "Bulan lalu saat Daddy berkata, Mungkin kita bisa nonton Big Hero 6 lusa. Apa yang terjadi?"

Dahi Naruto mengerut, apa yang terjadi? Tentu saja ia melupakan janjinya mengajak Rei menonton Big Hero 6, "Maafkan Daddy, kali ini tidak lagi."

Tapi wajah Rei masih merenggut secara kontrast menunjukan ketidaksukaannya, "Ayolah jagoan, Daddy janji. Minggu depan kita akan pergi ke taman bermain bersama."

Naruto menatap Hinata mencoba mencari bantuan untuk meyakinkan puteranya, wajah Naruto membentuk isarat agar Hinata berbicara pada Rei.

"Rei, minggu depan Daddy pasti akan ikut kita ke taman bermain." Tangan Hinata mengusap pelan jemari Rei yang saling bertautan, wajah Rei ditekuk dengan ekspresi sedih yang membuat Hinata sedikit sulit membujuknya. "Jika minggu depan Daddy melupakan janjinya, kita bisa menculik Daddymu dari kantornya. Atau paling tidak kita bisa mencukur rambut kebanggaan Daddymu hingga tak beraturan sebagai hukuman."

Naruto reflek memegang kepalanya, membayangkan rambut pirangnya hancur dipangkas kelinci bodohnya.
Rei dan Hinata tertawa melihat ekspresi ketakutan Naruto, pria itu terlalu menganggap serius ucapan Hinata.

"Rei, cepat habiskan sarapanmu! Daddy akan mengantarmu."

*******

"Tidak mungkin." Hinata menggeleng kuat, mana bisa ia pergi ke pesta pernikahan Kakashi tanpa seseorang yang mendampinginya.

"Coba saja dulu, kita tidak pernah tahu hasilnya jika tak mencoba." Ujar Sakura, ia hanya mencoba memberi jalan keluar untuk sahabatnya.

"Kau pergi denganku saja yah?" Hinata menatap dengan tatapan memohon. "Jangan dengan Gaara!"

Terlihat egois memang, tapi mau bagaimana lagi. Hinata tidak mungkin mengajak Naruto, ia terlalu ceroboh melupakan resepsi pernikahan Kakashi dua hari lagi. Ia tak bisa mengajak Kiba karena sahabatnya itu sedang berada di Okinawa.

"Tidak mau." tolak Sakura dengan tegas, "Aku akan tetap pergi bersama Gaara dan kau bisa mengajak Naruto."

"Kenapa ini menjadi rumit?"

"Kau yang membuatnya rumit, kau bisa mengajak Naruto."

"Itu tidak mungkin, kau mau kemanakan harga diriku? Aku ini perempuan, ia bisa jadi pria sombong jika aku yang mengajaknya lebih dulu." Hinata memutar bola matanya, ia bisa bayangkan bagaimana sikap congkak Naruto saat Hinata dengan wajah pasrahnya berharap Naruto menemaninya. "Meskipun aku yakin ada begitu banyak wanita yang mengajaknya lebih dulu, tapi aku jelas tidak termasuk ke dalam jenis wanita itu."

Sakura mendelik tak percaya pada ucapan Hinata, oh padahal para wanita selalu menyerukan perkataan "Emansipasi Wanita" dimana mereka ingin kesetaraan, tapi Hinata memiliki ego tinggi yang menjunjung jika wanita harus lebih diutamakan dari pria. "Kau hanya mengajaknya menemanimu ke pesta, bukan melamarnya. Kenapa harus berlebihan seperti itu."

"Tidak." Hinata tetap pada pendiriannya, ia tidak mau terlihat menyedihkan di mata Naruto. Yang benar saja, gadis itu mendengus kesal. "Kau tidak tahu jika pria yang memanggilku Kelinci bodoh, lalu dia akan mengejekku sebagai perempuan menyedihkan yang sulit mendapatkan pasangan."

"Kenyataannya memang begitu." Sakura melipat tangannya di depan dada dengan pandangan menyudutkan.

"Hei aku tidak...," Hinata menarik napas dalam, bahunya terkulai lemas. Apa yang diucapkan Sakura memang benar. "Ya aku memang menyedihkan, bahkan mencari pasangan ke pesta pun tidak bisa."

Bukan itu point pentingnya, maksud Sakura melontarkan kata-kata seperti itu adalah agar Hinata lebih berani memulai sesuatu, terlepas dari egonya sebagai perempuan. "Kau tahu bukan itu maksudku."

"Yaayaya terserahlah, aku mau pulang." Hinata mengambil tasnya dan berjalan gontai keluar ruangan.

Sejak dulu ia memang payah tentang pria, bahkan pengalamannya dalam urusan perasaan terbilang minim. Ia hanya pernah satu kali berpacaran dan itupun saat kuliah, terkadang masalah hati memang lebih rumit.

******

Biasanya Hinata sampai rumah jam lima paling telat jam enam sore, ia akan menghabiskan waktunya hanya untuk sekedar membacakan cerita untuk Rei atau menemani Rei menyusun legonya. Kadang ia dan Rei mengeksplorasi dapur hanya untuk memasak sesuatu yang Rei inginkan, bocah itu sangat menyukai Pie apple dan sup ayam.

Hari ini ia baru sampai rumah pukul sembilan, beberapa maid menyapanya. Hinata hanya membalas sapaan itu dengan senyum hangatnya, kening Hinata menggernyit melihat lampu di ruang kerja Naruto menyala. Pintu mahoni itu tak menutup sepenuhnya, ia bisa mendengar Naruto sedang berbicara dengan seseorang di telpon.

"Aku tahu, ya aku juga mendapat undangan dari Hatake Kakashi." suara Naruto menyentak kesadaran Hinata, seharusnya ia melangkahkan kakinya meninggalkan ruangan ini. Tapi kakinya membeku menariknya untuk tetap berdiri di depan pintu mahoni, membiarkan rasa penasaran menguasai.

"Tentu saja dengan seorang wanita, kau pikir aku akan pergi ke pesta itu sendiri?"

Hinata bisa mendengar tawa ringan Naruto, pupus sudah harapannya. Harusnya Hinata tahu jika Naruto pasti diundang Kakashi, mengingat pria itu adalah rekan bisnis Naruto.

Jangan mempermalukan dirimu Hinata, bodoh!

"Apa hobbymu menguping?" tanya Naruto, pria itu sudah berada di depan Hinata.

Kapan Naruto melangkah? Hinata terlihat gugup, tidak mungkin ia berkata kalau dirinya ternyata sengaja menguping. "Aku ingin mengatakan sesuatu padamu, tapi sepertinya kau sedang menelpon dengan seseorang."

Berpikir Hinata, batin Hinata terus berteriak mencoba mencari jalan keluar. "Aku tidak i-ingin m-mengganggumu, jadi aku putuskan menunggumu selesai menelpon."

Sebelah alis Naruto terangkat, pria itu melipat kedua tangannya di depan dada, "Lalu, sekarang apa yang ingin kau katakan?"

Hinata menggigit bibir bawahnya pelan, apa yang harus dikatakannya sekarang?

"Hinata."

"Oh yah besok aku akan pergi ke pub dengan teman-temanku, sepertinya aku akan tidur di appartementku."

"Kenapa harus ke Pub?"

Hinata mundur selangkah ketika Naruto mencoba mengeliminasi jarak di antara mereka, "Karena kami mau ke Pub."

"Kami?"

"Yah, Kami. Aku, Sakura dan teman-temanku." Hinata terlihat semakin terpojok, ia mencoba mengalihkan pandangannya.

"Pria?" suara Naruto terdengar begitu berat, tangannya mencekal lengan Hinata agar gadis itu tak melangkah lagi.

"Tentu saja ada pria," Amethyst Hinata tiba-tiba saja menatap Sapphire Naruto, apa maksudnya menanyakan pria, apa ia pikir Hinata tak punya teman pria? Apa pria itu memandang remeh dirinya?

Hinata mengingat betul waktu itu bagaimana wajah dingin Naruto menyela ucapan Hinata yang ingin menyatakan keengganannya berpura-pura karena dirinya memiliki kekasih, tapi Naruto dengan tidak berperasaannya mengatakan Hinata belum memiliki kekasih dan hanya pernah berpacaran satu kali. Ia benar-benar tidak mempunyai privasi ketika Naruto masuk ke dalam kehidupannya.

"Tidak boleh." Naruto menarik Hinata mendekat ia melingkarkan lengannya di pinggang Hinata.

"Aku akan tetap pergi."

Bohong, Hinata tidak mungkin mengatakan yang sesungguhnya bahwa ia hanya berpura-pura agar tidak ketahuan menguping. Kenapa bisa menjadi rumit seperti ini? Hinata hanya mengelak.

Dalam jarak sedekat ini Hinata bisa merasakan hembusan napas Naruto yang beraroma mint, ini terlalu dekat. "Bisa kau lepaskan lenganmu."

Naruto menggeleng pelan, ia malah menelusupkan kepalanya di perpotongan leher Hinata. "Tetap seperti ini."

Tubuh Hinata mematung, degup jantungnya tak beraturan. Ia bahkan bisa merasakan jika aliran darahnya memusat tepat di wajahnya, ada apa dengannya? Harusnya jantungnya tak berdebar seperti ini, harusnya ia memberontak saat Naruto mengeratkan pelukannya.

"Hari ini aku lelah." Suara Naruro terdengar begitu berat, sesuatu pasti terjadi. "Biarkan seperti ini."

******

Hinata sudah bangun sejak tadi pagi, ia menyiapkan sarapan untuk Rei. Roti gandum dan susu hangat, Hinata sudah membangunkan Rei dan menyuruhnya mandi.

"Pagi Mommy." Rei sudah terlihat rapi dengan seragam sailornya.

"Pagi Rei." Hinata membantu Rei menarik kursi agar ia bisa duduk dan menikmati sarapannya.

"Tugas kesenian besok bagaimana?"

"Oh iya, kita bisa mampir ke toko buku setelah pulang sekolah untuk membeli kertas origami dan beberapa keperluan lainnya."

"Mommy tidak pergi bekerja?"

"Mommy bekerja setengah hari."

"Berarti kita bisa makan es krim setelahnya?" Rei bertanya penuh antusias.

"Tentu, asal es krim tanpa kacang." Hinata mengusap pelan surai pirang Naruto yang terasa begitu lembut, Rei benar-benar mirip dengan Naruto. Ia memang copy paste dari Naruto.

Bel menginterupsi percakapan Rei dan Hinata, Siapa yang datang begitu pagi seperti ini?

"Pagi Rei sayang...." suara nyaring itu terdengar mengisi meja makan. Wanita dalam balutan blouse semerah peach.

"Tante Shion."

Perempuan itu duduk di samping Rei lalu mengecup pipi Rei hingga meninggalkan jejak lipstik semerah peach, Rei terlihat tak suka. Ia mengusap pelan pipinya merenggut tak suka saat noda lipsitiknya menempel di punggung tangannya.

"Mommy." suara Rei terdengar seperti sedang menahan tangis. Hinata mengerti dengan ketidaksukaan Rei dengan noda lipstik itu, dengan cepat Hinata mengambil tisu basah untuk membersihkan wajah dan tangan Rei.

"Hei, padahal Tante bisa saja membersihkan wajahmu." Gerutu Shion tak suka saat Rei lebih memilih memanggil Hinata dibanding dirinya.

"Owh, jadi ini Mommy yang diceritakan Daddymu padaku?" Shion menatap Hinata dengan pandangan mengejek, ia jelas lebih baik dibanding Hinata.

Hinata tersentak, diceritakan? Jadi Naruto menceritakan tentangnya pada Shion? Mereka saling bercerita bukankah artinya mereka dekat. Ada perasaan ngilu menyapa membayangkan itu

"Shion?" Naruto berdiri di ujung ruang makan, ia baru saja akan bergabung untuk sarapan. Tangannya masih berusaha merapikan dasinya.

"Biar kubantu." tanpa diminta Shion menghampiri Naruto dan membantunya merapikan dasinya, tangan Shion menepuk pelan dada bidang Naruto.

"Aku bisa membantumu merapikan dasimu setiap hari jika kau mau." Shion berjinjit berbisik pelan tepat di atas telinga Naruto. "Bukan hanya itu, aku juga bisa menemani tidurmu agar kau tak kesepian."

Hinata menelan ludahnya tak percaya, perempuan itu terlalu agresif. Ia bisa mendengar bisikan Shion yang sepertinya memang sengaja agar Hinata bisa mendengarnya.

"Aku harus berangkat pagi-pagi hari ini." Hinata menatap Naruto, "Jadi aku berangkat duluan."

"Rei berangkat bersama Mommy," Rei melompat dari kursinya, ia menegak sisa susunya di dalam gelas.

"Rei." Naruto mencoba mengingatkan, Sapphirenya beralih menatap Hinata. "Ini baru pukul tujuh."

"Bukankah sudah ku bilang aku harus berangkat pagi." Hinata mendelik tak suka saat Naruto menatapnya tajam.

"Sudahlah, biarkan mereka berangkat." Shion tersenyum penuh arti. "Bukankah ini kesempatan kita bisa berduaan?"

Darah Hinata nyaris berkumpul di atas kepalanya, wajahnya memerah karena marah. Bagaimana bisa wanita itu begitu terang-terangan seperti ini? Rasanya Hinata ingin mengatakan sesuatu agar Shion menjauh Naruto, tapi ia tak mempunyai hak apapun melarang wanita itu.

*******

Hinata POV.

Mengapa pada akhirnya aku harus menjatuhkan hatiku untukmu?
Aku tidak tahu bagaimana caranya Tuhan menumbuhkan perasaanku secepat ini padamu, Aku berpikir bahwa aku tidak akan pernah jatuh untukmu, aku percaya jika aku tidak akan terjatuh pada pesonamu.

Tapi nyatanya aku telah jatuh hati padamu, bukan karena pesonamu atau rayuanmu. Ini memang terlalu klise, tapi kenyataannya seperti ini, ada banyak lelaki seperti Naruto di luar sana tapi ia menjatuhkan hatiku pada pria yang memanggilku kelinci bodoh.

Rei, apa hanya itu satu-satunya alasanku tetap di sampingnya saat ini? Mungkin di awal pertemuan dengannya aku akan menjawab iya dengan tegas. Tapi hatiku tak cukup kuat untuk mengatakan itu saat ini.

Pria dingin itu telah mencuri hatiku, dan saat ini aku mengingat jelas perkataan Sakura saat itu.

Berhati-hatilah ketika kau menjatuhkan hatimu pada seseorang, maka saat itu juga kau memberinya kesempatan untuk melukai hatimu.

Aku tahu arti dari perkataannya sekarang, Tidak akan cinta yang datang tanpa rasa sakit. Tapi bukankah itu adil? Cinta itu sendiri akan menjadi penawar rasa sakitnya?

"Kau sudah mau pulang?" tanya Sakura saat aku mulai merapihkan mejaku.

"Ya, aku harus menemani Rei mempersiapakan tugas keseniannya."ucapku padanya, ada sesuatu yang kulupakan. Bukankah aku berkata pada Naruto jika malam ini aku harus pergi ke pub hingga malam.

Kejadian konyol yang memalukan memang, tapi itu demi harga diriku. Aku jelas tak mau mengakui jika aku benar-benar sengaja menguping pembicaraannya.

"Bolehkah malam ini aku menginap di appartement?"

"Kenapa harus meminta izin padaku? Bukankah itu memang tempat kita tinggal." Sakura tersenyum tanpa banyak bertanya apa yang terjadi, ia tahu aku sedang dalam masalah. Tapi ia tak banyak bertanya.

"Terimakasih." Aku memeluknya erat.

Saat ini yang harus kulakukan adalah menjemput Rei, membeli beberapa perlengkapan untuk tugasnya besok. Aku bisa memberi tahu Naruto jika aku tidak pulang malam ini, bukan karena pergi ke Pub. Aku bisa memberi alasan lain yang terpenting aku tidak ingin melihat wajahnya malam ini.

**********

"Shion." Naruto melepas tangan Shion yang sejak tadi melingkar di lengannya.

"Bisa kau menghentikan ini?" tanya Naruto dengan nada yang tegas.

"Tidak, kau sudah tahu aku mencintaimu sejak dulu." Ucap Shion setengah berteriak, ia tidak terima saat beberapa minggu lalu Naruto cerita soal Hinata kepadanya. Ia sudah mengenal Naruto sejak di bangku kuliah, ketika Naruto lebih memilih Lisa dan menikahinya Shion menerima itu. Karena Naruto sangat mencintai Lisa, ia mengalah untuk cintanya.

Lalu saat Lisa meninggal ketika melahirkan Rei, Naruto terpuruk. Pria itu seperti tak ingin melanjutkan hidupnya, Shion mendampinginya. Ia begitu mencintai sahabatnya sampai batas ia tak bisa mengendalikan perasaannya, Shion selalu ada saat Naruto membutuhkannya.

"Sudah ku katakan bukan? Jika kau mungkin salah mengartikan persahabatan kita?sejak awal kita hanya bersahabat, bukankah kita sudah membahas ini sebelumnya?" Naruto meremas erat surai pirangnya, ini yang paling ia tak suka saat Shion kembali mengungkapkan perasaanya.

"Sahabat?" Shion menahan air mata yang nyaris mengalir membasahi pipinya. "Kau tahu pasti di dunia ini tidak ada persahabatan antara seorang laki-laki dan perempuan yang terlepas dari cinta."

"Shion." Naruto berusaha mengusap wajah Shion tapi tangannya ditepis kasar oleh Shion.

"Kau dengan begitu mudahnya membiarkan perempuan asing berada di tengah-tengah dirimu dan Rei, membiarkan Rei memanggilnya Mommy lalu mengajaknya tinggal bersamamu hanya karena ia begitu mirip dengan Lisa?"

"Bukan seperti itu."

"Lalu seperti apa? Jelaskan padaku kenapa kau membiarkannya berada di sampingmu?" Akhirnya tangis Shion pecah, wanita itu membiarkan air mata membasahi pipinya. "Aku takut..., aku sungguh takut kau akan jatuh cinta padanya. Aku tak mau itu terjadi, tidak bisakah kau melihatku seorang? Tidak bisakah kau membiarkanku mengisi ruang di hatimu? tidak cukup kah penantianku selama ini?"

Naruto menarik Shion merengkuhnya dalam sebuah pelukan agar Sahabatnya sedikit tenang.

"Ini terasa begitu tidak adil untukku, aku selalu berada di sampingmu tapi kau tak pernah melihatku. Harus berapa lama aku tetap di sampingmu agar kau menyadari keberadaanku. Katakan padaku, Naruto."

Tubuh Naruto mematung, tenggorokannya seperti tersumbat sesuatu hingga ia tidak bisa mengeluarkan sepatah katapun. Sejak awal hatinya tak pernah terpaut pada Shion, ia bukan pria yang suka membohongi perasaannya sendiri.
Ia menganggap Shion sebagai seorang sahabat, wanita itu paling mengerti dirinya setelah ibunya. Tapi bukan berarti itu bisa membuatnya jatuh cinta pada Shion.

Naruto sudah berusaha menuntun hatinya agar terjatuh pada Shion, nyatanya semua sia-sia. Lima tahun ia mencoba dan tak ada hasilnya, ia tidak pernah bisa jatuh cinta pada Shion.

TBC

A/N :
Gue telat apdettttt T_T , ada sesuatu yang membuat gue telat apdet. Maaaaf yaaaaaa XD XD

Ini chap agak panjang lohhh

Nama mendiang istrinya Naruto itu Lisa (Keinget member BlackPink), mau pake chara di Naruto agak gak rela gitu, terus di sini ada Shion. Gue gak bisa bayangin siapa lagi yang bisa dijadiin saingan Hinata. Kayaknya Shion paling cocok XD

Pokoknya terimakasih untuk kalian yang sudah menyempatkan membaca XD. Gak bisa bales komen kalian dulu soale diriku yang ketje ini lagi ngejar deadline laporan keuangan //Curhat// Wuakakakak Y_Y
Nanti kubalas yah :D

Salam hangat penuh cinta.

Selingkuhannya Seunghoon. XD

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top