Mi Soto

Teru mendapatkan jadwal menyetir duluan, karena Reno yang masih lelah sekaligus mengantuk setelah berolahraga kemarin malam. Badannya berasa remuk redam, tulang-tulangnya entah berlarian kemana.

"Ngantuk enggak lu? Kalau ngantuk, biar gua gantiin, Reno masih nyenyak banget, sampai ngorok malah," ujar Ceres yang masih terjaga.

"Temenin gua ngobrol aja, biar ada temennya."

"Kasian banget enggak punya temen," ledek Ceres dengan kekehannya.

"Makanya temenin," ujarnya manja.

Ceres pura-pura muntah, tetapi tak ayal setelah itu ia terbahak. "Lapar, nggak?" tanya Ceres yang sedang membuka roti bantal isi coklat.

"Kalau lu mau suapin, gua mau. Mana?" tagih Teru dengan tak tahu malunya.

Ceres geleng-geleng kepala, tangannya maju ke depan, mencoba menyuapi Teru yang masih fokus mengemudi.

"Coklatnya belepotan, nih," adu Teru mencoba mengelapnya pakai tangan.

"Jangan, tangannya kotor, nanti meper ke mana-mana. Bentar, gua ambilin tisu basah dulu." Ceres mengobok-obok tas jinjingnya, mengambil tisu basah dan menyerahkannya ke Teru.

"Susah banget ngerawat barang, enggak heran kalau barang lu banyak yang rusak," omel Ceres.

"Hati gua yang rusak, Res. Yang rusakin juga elu," adu Teru membuat Ceres terperangah.

"Ngapel terus, mau tidur aja enggak nyenyak," keluh Reno yang sudah bangun daru tidurnya.

Ceres menatap Reno datar. "Enggak nyenyak dari mananya coba? Elu sampai ngorok gede banget, udah kayak bunyian sangkakala terakhir," ujar Ceres geram.

Dirinya tak bisa tertidur, karena suara ngorok Reno yang bunyinya mengalahkan suara terompet akhir tahun. Reno yang ditatap hanya menyengir lebar.

"Mau gantian enggak?" Reno menawarkan dirinya setelah beberapa saat ia merenggangkan badannya.

"Rest area selanjutnya aja, sekalian mau ke kamar mandi," ujar Teru membuat Reno mengangguk paham.

Reno melengos ke belakang, menatap Ceres yang juga menatapnya malas. "Apa?" tanya Ceres dengan wajah loyo.

"Kagak tidur?" tanya Reno.

"Gara-gara elu gua enggak bisa tidur," gerutu Ceres.

"Matalu udah ngantuk banget, minta tidur itu," ujar Reno lagi.

"Udah tahu gua ngantuk, jangan ngajakin gua ngobrol, dong," sewot Ceres sembari melirik Reno sinis.

***

Reno dan Teru kompak tergeletak di atas kasur setelah mereka sampai di vila. Vila minimalis yang dipesan Yuni terdapat tiga kamar tidur, dua kamar mandi, dapur kecil, dan ruang tamu yang ukurannya tak jauh berbeda dengan dapur.

"Vila yang Bunda pesan enggak menyediakan makanan, kita cuman bawa mi. Enggak masalah, kan?" tanya Yuni setelah mengecek perlengkapan dapur mini mereka.

"Enggak masalah, Bund. Pas Ceres ngecek dapur cuman ada satu kompor gas sama panci kecil, kayaknya sih buat rebus air." Yuni mengangguk setuju.

"Puncak enggak sesejuk dulu," komen Misis setelah ia menurunkan barang bawaan mereka dari bagasi mobil.

"Mungkin kita datangnya kesiangan?" Ceres membantu Misis memasukkan barang-barang yang dibawa oleh Teru dan Reno ke dalam kamar mereka.

"Menurut Bunda sih karena, kawasan puncak makin semerawut. Tempat pariwisata semakin banyak di puncak, tapi enggak diurus sebaik mungkin."

"Bunda pernah naik paralayang?" tanya Ceres yang sudah selesai memasukkan barang bawaan Teru dan Reno.

"Pernah, sekali."

"Sensasinya gimana, Bund?" tanya Misis ikut bergabung dalam topik paralayang.

Yuni berpikir sejenak, pengalaman itu sudah sangat lama. Mungkin, saat dirinya belum mengenal Agus. "Udah lama, sih. Awalnya takut, cuman pas ngelihat pemandangan dari atas seketika ketakutan kita diganti rasa takjub gitu. Bahkan beban hidup Bunda berasa kayak hilang sejenak, soalnya di atas Bunda lebih mensyukuri nikmat yang dikasih. Kesempatan yang Bunda dapat setiap hari dikasih percuma, tetapi namanya juga manusia ... setelah pulang dari sana Bunda malah masuk ke jalan yang enggak tepat," jelas Yuni mengingat-ingat bagaimana masa kelam yang ia lalui dulu.

"Emangnya apa yang Bunda dapat dari naik paralayang yang sekali naik lumayan bikin dompet tipis?" tanya Ceres sembari meringis.

"Banyak. Tapi, dari sana Bunda sadar bahwa ketakutan sebesar apa pun yang kamu miliki di dunia ini, harus dilawan. Meskipun kita melalui proses yang panjang. Mulai dari ngumpulin duit naik paralayang, terus ke puncak yang macetnya enggak kebayang. Tetapi, pasti semuanya kebayar sama pemandangan yang kita dapatkan di atas sana." Ceres dan Misis mengangguk, kapan lagi mereka mendapatkan petuah dari bundanya?

"Bun--"

"Mau nanya apa lagi? Bangunin Teru sama Reno, makan siangnya rebus mi aja. Nanti buat makan malamnya, kita nyari di luar. Sambil makan malam, kita sambil nongkrong," ujar Yuni memotong kalimat Ceres yang ingin bertanya lagi.

Misis mengangguk, ia pergi membangunkan Teru dan Reno. Hampir sepuluh menit Misis membangunkan Teru dan Reno, tetapi tak ada tanda-tanda mereka membuka kedua kelopak matanya.

"Belum bangun juga?" tanya Yuni yang sudah berada dalam kamar yang sama dengan Teru dan Reno tertidur.

Misis menggeleng. Sebenarnya mereka berdua sudah bangun, hanya saja Misis tahu bahwa mereka masih mengalami pegal-pegal di sekujur badan dan tubuh mereka dengan kasur sedang tak bisa dipisahkan.

"Kalau enggak mau bangun, siram aja pakai kuah mi soto," ujar Yuni tega.

Reno dan Teru serentak duduk, bisa melepuh kulit mereka bila disiram kuah mi soto.

"Kalau badan kalian pegal, minta sama Ceres koyo atau minyak angin, jangan molor di kasur." Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Yuni langsung meninggalkan kamar mereka.

Yuni sayup-sayup mendengar omelan Misis, "Dengerkan kata Paduka Ratu? Jadi ... angkat bokong kalian berdua sebelum kena siraman rohani sekaligus siraman kuah mie soto."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top