Malam Sabtu
Mau malam apa pun, jika Misis dan Reno bertemu rasanya dunia milik berdua, sisanya ngontrak. Kalau orang berdua-duaan, yang ketiganya setan, Ceres dan Teru sepakat untuk tak mendekati pasangan yang sedang ketawa-ketiwi dengan bahan obrolan aku bukan boneka.
Ceres dan Teru saat ini tengah berada di balkon kamar Ceres, menikmati angin malam berbarengan dengan gigitan nyamuk yang tak tahu diri.
Teru menggenggam gelas berisi sirup dengan rasa mangga, ia sengaja membawakannya untuk Ceres.
Tangan kanannya menyerahkan gelas beling itu ke hadapan Ceres. "Diminum, udah gua bawain jauh-jauh dari bawah," ujar Teru.
Ceres mengangguk. "Tau aja kalau gua butuh yang seger-seger. Anginnya semeriwing gini buat gua ngantuk," keluh Ceres.
"Lu masih suka Reno?" tanya Teru yang matanya memandang ke langit malam.
Ceres menggeleng. "Ngerasa dosa kalau gua pertahanin perasaan gua. Enggak salah, sih. Cuman, enggak benar juga, kan?" Ceres sedikit tertawa lucu.
Teru mengalihkan pandangannya, ia menatap Ceres bingung. "Ternyata ... jiwa pelakor gua muncul, karena ada garis keturunan dari emak gua. Bener kata pepatah, buah jatuh enggak jauh dari pohonnya."
"Maksudnya?" tanya Teru yang tak paham.
Ceres tersenyum simpul. "Ada, deh."
"Papa lu enggak ada di rumah?" tanya Teru tahu batas.
"Seperti yang lu lihat, emak gua juga belum pulang. Mungkin, lagi jebolin kartu kredit." Ceres terkekeh, ingatannya kembali saat kakeknya seenaknya mengambil keputusan. "Semenjak bisnisnya mandek, emak gua pasti gabut banget. Makanya, dari pada emak gua kesepian, ngelamun kayak orang bingung, mending gua ajak ke puncak."
"Enaknya di puncak main apaan, ya?" tanya Teru.
"Mau bawa kartu, enggak? Gua punya uno, remi, sama gaple." Teru tertawa, tak menyangka bahwa cewek yang ia suka gemar bermain kartu.
"Hobi main apa suka ngumpulin kartunya, Res?" tanya Teru dengan nada meledek.
"Tanding mau kagak? Yang kalah lari keliling komplek," tantang Ceres dengan senyum jahil.
"Ajakin yang lagi pacaran di bawah juga, biar seru."
Ceres seketika tertawa. "Bilang aja, lu enggak mau dihukum sendirian," ledek Ceres.
"Kecium banget, ya?" tanya Teru yang ikut-ikutan ketawa.
Mereka berempat saat ini tengah duduk bersila, membentuk persegi. Kartu uno telah dibagikan, satu orang mendapatkan delapan kartu, setelah dikocok.
"Yang ngocok, tangannya belum cebok, nih. Dapatnya ancur," hardik Reno membuat Ceres tertawa.
"Yang ngocok aja Misis," ujar Ceres yang masih tertawa puas melihat muka Reno yang pias.
"Oh, jadi tanganku belum cebok?" tanya Misis tenang.
"Enggak gitu, Sayang," elak Reno dengan senyum mengemis.
"Ini kayaknya kagak jadi main kartu," sindir Teru yang melihat Misis dan Reno masih adu mulut.
"Pantesan Ceres santuy, isinya plus empat sama pilih warna. Enak banget nggak tuh?" Reno melirik kartu yang dipegang oleh Ceres sedikit.
"Wahh, mainnya ngintip. Awas matanya bintitan," ujar Ceres mempertingati.
"Amit-amit, jangan sampe." Reno bergidik takut, dulu ia pernah merasakan, rasanya sangat tidak nyaman. Mulai dari pandangan orang yang menatapnya heran bercampur ngeri, hingga saat ia memejamkan mata rasanya ada yang mengganjel.
Butuh waktu sekitar delapan menit untuk menyelesaikan permainan mereka. Ceres juar pertama, diurutan kedua ada Reno yang selalu ribut dengan Teru yang diurutan ketiga, dan diposisi terakhir ada Misis yang tak paham bagaimana cara memainkan kartu uno, karena lebih sering memegang buku.
"Berarti yang dihukum lari keliling komplek Misis sama Teru!" seru Ceres dengan gembira.
Tak ada yang lebih menyenangkan saat melihat orang dihukum.
"Kamu enggak mau gantiin aku?" tanya Misis manja.
Reno pura-pura berpikir. "Gua gantiin Teru dihukum, gimana? Biar gua bisa modusin Misis sambil keliling komplek. Kan suasananya pasti beda," ujar Reno dengan senyum bodohnya.
Teru sangat setuju, ia tak jadi dihukum. Berbeda dengan Ceres dan Misis, mereka saling memandang, memikirkan yang tidak-tidak. Tak jauh dari rumah mereka ada rumah kosong, hawanya memang berbeda, apalagi kalau dilewati pas malam-malam begini.
"Yakin?" tanya Ceres kepada Reno yang sudah bersiap di depan pintu.
"Kenapa enggak? Ayo Misis, biar kita bisa nikmatin waktu berdua tanpa berbagi oksigen dengan mereka para jomblo ngenes." Ucapan Reno membuat Ceres mengurungkan niatnya untuk memberitahu rumah kosong yang kelewat angker.
Dirinya tak peduli kalau Reno terjebak di sana, mau dibaikkin malah enggak tahu diri. Dasar bucin, yang dipedulikannya hanya waktu berdua-duaan dengan Misis. Enggak tahu aja, saat mereka nanti jalan keliling komplek, akan ada yang ketiga, mengikuti mereka diam-diam, tanpa ada yang melihat sosok aslinya.
***
Sudah tiga puluh menit lebih, Misis dan Reno belum kembali. Entah, Ceres harus mengucap syukur atau berharap cemas. Ingin mengabari mereka, tetapi keduanya tak ada yang membawa telepon genggam, ingin menyusul tetapi, Ceres sangat malas untuk sekadar melangkah keluar pagar.
"Enggak mau disusul, Res?" tanya Teru ikut bergabung untuk menikmati tontonan film barat yang diputar di salah satu stasiun televisi.
Ceres menggeleng, posisinya sungguh nyaman saat ini. Duduk di atas sofa, tangannya penuh dengan cemilan yang sudah ia sediakan, mulutnya sibuk mengunyah, dan matanya dimanjakan dengan tontonan film barat.
"Kembaran kurang ajar, saudarinya belum balik bukannya dicariin malah asik nonton di rumah," ujar Misis yang baru saja sampai di ruang tamu dengan keringat membanjiri tubuhnya.
"Kenapa banjir gitu badan lu? Di depan hujan?" tanya Teru yang sudah bangkit meninggalkan Ceres.
"Ngelihat penampakan?" tebak Ceres yang matanya masih tak berpaling dari layar televisi.
"Dikejar anjing gua," jawab Misis membuat Teru menganga.
Ceres yang sedang menonton malah membalikkan badannya, menatap Misis yang sudah terduduk lemas. Melihat keadaan kembarannya, ia tertawa puas.
"Anjing Pak Kumis?" tebak Ceres lagi membuat Misis mengangguk lemah.
"Elu berdua ngapain? Tunggu ..." Netranya mencari-cari keberadaan seseorang. "Reno mana?" tanya Ceres.
"Reno nyuri mangga, terus kita dikejar anjing," jawab Misis mengusap wajahnya lemas.
"Reno sekarang mana? Kok batang hidungnya enggak keliatan?" tanya Ceres lagi.
"Di depan, udah enggak kuat dia jalan ke sini. Lu tahu, kita muterin komplek tiga kali, selama ngelewatin rumah, kita neriakin lu berdua. Emang dasarnya bolot, apa gimana, sih?" tanya Misis yang sudah tergeletak naas di atas lantai.
"Terus kok bisa selamat?" tanya Ceres ingin tahu.
"Gara-gara warga ngelapor satpam, berisik banget kita pas neriakin lu berdua. Untung aja, satpam langsung nolongin. Malu banget gua," keluh Misis, napasnya masih tak beraturan, entah karena kesal setengah mati atau karena habis lari keliling komplek.
"Enggak lagi-lagi, deh gua ngapel malam-malam keliling komplek bareng Reno. Bisa berujung sial yang ada," ujar Misis lagi.
Ceres dan Teru menatap Misis kasian. Ceres menyesal telah menyukai cowok macam Reno. Kenapa dirinya dulu pernah rebutan Reno dengan Misis?
"Elu enggak ada visi misi buat nyeret Reno masuk?" tanya Ceres kepada Teru.
"Ogah, berat. Biarin aja dia di teras, entar juga masuk sendiri," ujar Teru tega.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top