It's Not Fine

Sudah seminggu Agus tidak pulang ke rumah, tanpa kabar seolah-olah minggat dari rumah. Yuni tak ambil pusing kelakuan sang suami, ia hanya berdiam di rumah, sesekali berkumpul dengan teman-temannya. Saat ia pulang, ia hanya mengecek keberadaan anak kembarnya dan masuk ke dalam kamarnya yang sepi.

Saat muda, Yuni selalu berharap bahwa kebebasan yang ia punya akan ia gantikan dengan kebahagiaan. Pintanya satu, kebahagiaan yang nyata, bukan seperti dunianya yang penuh dengan kritikan dan sorakan kekaguman.

Sebelum Yuni bertemu dengan Agus, ia memikirkan bahwa harta adalah pusat kebahagiaan. Omong kosong orang yang beranggapan bahwa harta bukanlah segalanya, kenyataannya hidup yang ia jalani, kebebasan yang ia punya, dan kebahagiaan yang ia pinta harus lenyap seketika karena harta.

Yuni pernah mencintai Agus, perasaan itu tak bertahan lama, karena perasaannya digantikan oleh perasaan muak yang menggerogotinya.

Setelah bertemu dengan Wijayanto, hidupnya selalu diawasi dan diatur. Kesalahannya hanya satu, Yuni menikahi anak emasnya yang berharga. Karena itu, ia sungguh menyesal telah menikah dengan Agus.

Kalau saja saat itu tidak ada kecelakaan yang menimpa hidupnya, Yuni bisa bebas dari jeratan keluarga Wijayanto. Naasnya, kecelakaan itu menghasilkan Ceres dan Misis.

"Kalian mau berangkat?" Yuni berkacak pinggang, celemek berwarna merah muda dengan corak polkadot menggantung manis di tubuhnya.

Ceres dan Misis yang baru saja turun saling melirik bingung dan curiga.

"Kalian enggak sarapan?" tanya Yuni lagi.

Misis melirik jam yang melingkar di tangannya, ia menjawab, "Mungkin di sekolah."

Yuni mengangguk,ia menenteng dua kotak bekal berwarna ungu tua. "Bunda enggak pintar masak, tetapi yang itu kayaknya masih bisa dimakan," ujar Yuni sedikit ragu.

Misis menerima dua kotak bekal yang diberikan Yuni, ia tersenyum. "Makasih, Bunda."

***

Suasana kelas sudah sedikit sepi, bel istirahat sudah berdenting sejak tiga menit yang lalu. Tetapi, Misis dan Ceres masih saja tertegun di bangkunya, menatap ragu ke arah kotak bekal yang ada di hadapan mereka.

"Ini enggak beracun, kan?" tanya Ceres sedikit menggoyang-goyangkan kotak bekalnya. Mencoba mencari tahu apa isinya.

Misis mengendus-endus permukaan kotak bekal berwarna ungu tua itu. "Sepertinya nasi goreng," ujar Misis membuat Ceres membuka bekal makan siangnya.

"Rasanya kayak gado-gado, cuman kayaknya enggak beracun, deh." Ceres mulai suapan kedua setelah suapan pertama rasanya tak terlalu buruk, tetapi mampu menggonjang-ganjing perutnya.

"Kalian lagi main ajang master sep?" canda Reno. Misis dan Ceres serempak menatap tempat mereka berdiri.

"Mau?" tawar Ceres dan Misis berbarengan.

Dalam sekejap Teru mengambil sendok Ceres begitupun Reno yang mengambil sendok Misis dengan semangat. Kapan lagi makan gratis.

"Gimana rasanya?" tanya Ceres saat Teru sudah berada di suapan ketiga.

"Perut gua berasa kayak gempa, cuman rasanya lumayan ... manis, asin, pedas, dan sedikit gosong," jawab Teru membuat Ceres dan Misis serempak tertawa.

"Napsu, sih. Kelaperan lu?" tanya Ceres.

"Kantin ramai banget, antreannya penuh, udah berasa kayak ngantre toilet umum," ujar Teru yang sudah menghabiskan bekal Ceres.

"Perut lu masih gempa?" tanya Ceres sedikit khawatir.

Teru mengangguk. "Sedikit."

"Mau gua ambilin obat?" tanya Ceres. Teru tersenyum, Ceres mengkhawatirkannya.

Teru menggeleng, menolak tawaran Ceres. "Sebagai gantinya, nanti gua ajak jalan, mau?"

Ceres berseru galak, "Dasar enggak tahu diri!"

Teru melirik Reno, meminta bantuan mereka dengan kode mata.

Reno! Bantuin gua!

Sialnya, Reno sama sekali tak paham dengan kode yang dimaksud oleh Teru, ia hanya mengernyit bingung lalu mengedikkan bahunya.

"Mata lu kenapa melotot gitu?" celetuk Reno membuat Misis yang sedari tadi memperhatikan interaksi Teru yang tak waras dengan Reno berhasil menyemburkan tawanya.

"Aduh, ngakak banget. Lu kalau mau minta bantuan modus jangan ke Reno, mata lu sampai putih semua, hitam semua, bahkan katarak juga dia enggak bakalan peka," ledek Misis.

Reno melirik Teru dan Misis bergantian. Kok gua, sih?

"Res? Temenin gua ke toko buku, mau?" tanya Misis. Ia menatap Teru lalu tersenyum sombong.

"Ada Reno, kenapa mesti gua?" tanya Ceres yang sudah merindukan kasurnya.

"Enggak asik kalau jalan bareng dia."

Reno melotot kaget. "Lah? Kok gua lagi?"

"Emang enggak seru jalan bareng Reno, kagak peka," celetuk Teru dengan tawa kecil.

"Gua aja terus," ujar Reno mendramatisir.

"Mau ngapain ke toko buku?"

"Lihat-lihat bukulah, kalau ada yang bagus baru dibeli. Masa di toko buku mau jaga lilin, terus lu yang keliling gitu?" Misis melirik Teru sinis. Gimana mau memenangkan hati Ceres, kalau modelannya kayak gitu?

"Kalau enggak bacot, hidup lu kurang seru, ya?" tanya Ceres dengan nada menyindir.

"Gimana? Mau enggak nemenin gua ke toko buku?" tanya Misis melerai perdebatan mereka yang sebentar lagi akan meledak-ledak.

Ceres menatap Misis sebentar, ia akhirnya mengangguk.

"Giliran gua ngajak jalan, elu tolak. Masa yang lain ngajak lu jalan, lu terima? Pilih kasih ini namanya!" seru Teru tak terima.

"Bodo, lu nggak penting," balas Ceres yang sudah menaruh kepalanya di meja, mencoba untuk tidur di sisa-sia jam istirahat.

***

Misis menggigit bibir bawahnya, ia malu melihat Ceres sedang duduk lesehan di atas lantai. Pantas saja ia tak menemukan keberadaan Ceres di rak novel atau komik, ternyata ia berada di rak khusus resep memasak, tempat paling pojok dan jarang diminati oleh pengunjung.

"Ceres!" panggil Misis sembari menginjak kaki kembarannya.

Ceres yang menelungkupkan kepalanya di antara kedua lututnya menghiraukan panggilan Misis.

"Ceres! Bangun dong, gua malu, nih."

Ceres mengangkat kepalanya. "Gua ngantuk, niatnya gua mau rebahan, lumayan adem. Untungnya urat malu gua belum putus, jadi cuman lesehan. Bisa tinggalin bentar, nggak?" pinta Ceres dengan muka melas.

Misis menyerah melihat muka Ceres yang sudah lelah, ia akhirnya meninggalkan Ceres di rak khusus resep memasak.

Misis kembali ke rak soal-soal khusus untuk persiapan UN bagi anak SMA.

"Hai Manis," sapa seseorang dengan pakaian serba hitam yang dilengkapi dengan topi hitam yang bertengger di kepalanya.

Misis diam, ia tak mengenali orang yang mengalangi jalannya.

"Kok diam?"

"Siapa, ya?" tanya Misis mencoba mengingat kembali wajah yang ada di hadapannya.

"Kita memang belum pernah bertemu, tapi aku yakinkan kamu satu hal, bahwa kita sebentar lagi akan jadi keluarga."

Setelah satu kalimat yang diucapkan cowok berpakaian serba hitam itu meluncur, Reno menghampirinya dan cowok tersebut memutar tubuhnya meninggalkan Misis yang masih termangu.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top