9. Hanya Formalitas
Masa lalu adalah bagian dari cerita kita. Cukup dikenang, tanpa perlu adanya pengulangan.
***
Ayana.
Nama yang cantik untuk orang yang cantik pula. Tubuh tinggi semampai, rambut cokelat bergelombang, dengan proporsi wajah yang pas. Irish bahkan sempat tertegun sesaat. Hazel? Jangan tanya bagaimana raut pria itu sekarang. Ibarat menemukan oasis di tengah-tengah Gurun Sahara. Sangat cerah dan berbinar-binar.
"How are you, Ay?" Hazel bangkit dari duduknya, menghampiri Ayana yang masih berdiri di ambang pintu.
Alis Irish terangkat sebelah. Ay? Panggilan macam apa itu? Oke, dia paham kalau nama perempuan itu adalah Ayana. Namun, dari sekian banyaknya panggilan, kenapa Hazel tidak memanggil perempuan itu dengan Ana saja? Atau Yana?
Ayana tersenyum manis, memperlihatkan lesung di pipi yang semakin menambah kecantikannya. Jujur saja, Irish tak menampik kalau dia sedang membandingkan dirinya yang biasa-biasa ini dengan Ayana yang bak dewi.
"Baik, Zel. Belakangan ini kamu jarang banget datang ke restoran, ya."
Belakangan ini kamu jarang banget datang ke restoran, ya. Sederet kalimat tersebut terus berputar di kepala Irish, menciptakan sebuah kecurigaan mengenai hubungan keduanya. Berarti, Ayana bukanlah orang asing di hidup Hazel hingga dia berani berkata demikian.
Terus, apa masalahnya dengan kamu, Rish?
Alarm warning di kepala Irish berdering secepat tubuh Hazel yang ditarik oleh Ayana. Irish mengerjap saat melihat adegan berpelukan tepat di depan matanya. Meski Hazel tak membalas sama sekali, tapi pria itu juga tidak menolak, seolah-olah ikut menikmati posisi tersebut.
Baru ketika Hazel tak sengaja melirik Irish yang diam di dekat lukisan, Hazel melepas pelukan Ayana. Dia tersenyum tipis, lalu mengajak Ayana untuk duduk di sofa.
"Ay, kenalin. Namanya Irish." Perhatian Ayana beralih pada Irish yang tersenyum kikuk. Rasanya dia seperti selingkuhan yang sedang diperkenalkan kepada istri sah.
"Dia ... siapa, Zel?"
"Saya asisten Pak Hazel." Irish langsung menyela Hazel yang ingin menjawab. Pria itu menatap Irish selama beberapa saat sebelum menghela napas.
"Dia asisten baru aku."
Ayana mengangguk paham. Dia tersenyum lebar sambil menyodorkan tangannya. "Ayana, calon pacar Hazel."
"Ay! Jangan bikin rumor aneh." Hazel buru-buru membantah, takut kalau Irish benar-benar mengira begitu. Sementara Irish sendiri bersikap tak acuh, meski tanpa dia sadari ada bagian dari dirinya yang merasa terusik.
Ayana mencibir dengan tangan yang diturunkan tanpa sempat dibalas Irish. "Sensi banget, Pak. Lagi pula, asisten kamu bukan gebetan yang bakal cemburu kalau aku ngaku jadi calon pacar kamu."
"Ya, memang bukan gebetan. Tapi—"
"Mbak Ayana mau saya buatkan minuman?" Mata Irish sudah memicing tajam ke arah Hazel saat pria itu hampir saja membocorkan rahasia mengenai masa lalu mereka. Terlebih, Hazel tampak santai, semakin membuat Irish kesal.
Ayana mengangguk cepat. "One coffe latte."
"Oke, Mbak. Ditunggu, ya."
Irish lekas keluar dari ruangan setelah memberi Hazel tanda peringatan melalui pelototan matanya, berharap Hazel tak mengatakan hal-hal aneh tentang mereka ketika Irish tak ada.
Begitu menutup pintu, telinga Irish sempat menempel ke pintu—berjaga-jaga kalau misalnya Hazel membuka kartu—tapi sebuah suara seketika mengejutkannya. "Lagi ngapain, Mbak Irish?"
"Eh, Mbak Jasmine? Habis dari mana, Mbak?" Irish balik bertanya, mencoba biasa saja walaupun sebenarnya dia sudah ketar-ketir, seperti kepergok tengah mencuri.
Jasmine Jelita namanya. Perempuan berkulit eksotis yang menjabat sebagai sekretaris Hazel. Awal bertemu Jasmine, Irish benar-benar bingung. Pasalnya, dia berpikir kalau Hazel merekrutnya menjadi asisten karena tak mempunyai sekretaris sama sekali, tapi nyatanya dia salah.
Bahkan, menurut penuturan Jasmine—dia sempat bercakap-cakap sebentar dengan perempuan itu saat menunggu Hazel—Hazel tak sesibuk CEO-CEO yang ada di drama Korea hingga membutuhkan asisten pribadi. Di luar pekerjaan, pria itu selalu melakukan semuanya sendiri.
Membuat Irish langsung menyimpulkan kalau Hazel menawarinya pekerjaan bukan karena perlu, tapi memang sengaja.
"Aku habis dari kamar mandi. Kamu ngapain diem di depan ruangan Pak Hazel? Nggak masuk?" Jasmine mengulang pertanyaannya.
"Kebetulan aku mau bikinin Mbak Ayana kopi. Makanya ada di sini."
Jasmine mengangguk dengan mulut membulat. "Setelah sekian lama, Mbak Ayana mampir ke sini lagi."
"Mbak Jasmine kenal Mbak Ayana?" Irish langsung merutuk dalam hati. Bisa-bisanya dia bertanya seperti itu, seakan-akan penasaran dengan hubungan yang terjadi antara Hazel dan Ayana.
"Ya, kenal. Beliau adalah salah satu klien di sini. Waktu itu, Pak Hazel yang nanganin proyek Mbak Ayana. Terus, nggak tahu kenapa, tiba-tiba mereka jadi deket. Mbak Ayana sering banget dateng kemari, atau enggak ... Pak Hazel yang datang ke restoran Mbak Ayana." Jasmine menjelaskan seraya kembali menuju bilik mejanya yang berada di hadapan Irish.
Oh, jadi mereka memang sedekat itu. Pantas saja tak ada kecanggungan di antara keduanya, bahkan kalau dilihat-lihat, mereka sama-sama nyambung satu sama lain.
Are you jealous, Rish?
Tidak. Irish sama sekali tidak cemburu. Untuk apa? Tak ada gunanya juga. Dia sudah menebak kalau selama perpisahan mereka, Hazel tak mungkin 'kosong'. Sudah pasti ada beberapa perempuan yang hilir mudik ke hatinya. Dan, mungkin saja Ayana adalah salah satunya.
"Mbak Jasmine tahu banget kayaknya, ya."
Jasmine mengedikkan bahu. "Selama setahun terakhir, kan, aku yang terus bareng sama Pak Hazel. Nggak jarang, aku juga diajak ke restoran Mbak Ayana. Jadi, sedikit tidaknya, aku tahu lah."
Benar juga. Jangankan orang yang bekerja bersama, sewaktu dia masih bekerja di salah satu perusahaan, setiap gosip pasti akan tersebar ke semua divisi. Entah dari mana awal mula gosip tersebut. Istilahnya, bahkan tembok pun bisa berbicara.
"Ya, udah Mbak. Aku ke pantry dulu."
"Iya, Rish."
Irish lantas berjalan menuju pantry yang berjarak lumayan dekat dari ruangan Hazel. Dia memang mendapat izin untuk menggunakan fasilitas kantor—hanya beberapa—karena memakai name tag. Apalagi Hazel sudah meminta secara langsung kepada pihak atasan untuk membiarkan Irish menjadi asisten pribadinya. Benar-benar pribadi yang mengurusi Hazel.
Di pantry, Irish agak bingung dengan letak bahan-bahannya. Dia mengambil gelas terlebih dahulu lalu membuka laci satu persatu, mencari kopi dan sebagainya.
"Bikin Ayana kopi bukan tugas kamu, Rish." Irish yang akhirnya menemukan tempat kopi, hampir saja menjatuhkan toples saat mendengar suara. Tampak Hazel tengah bersandar di ambang pintu sambil bersedekap.
Irish mendengkus. Berpura-pura tak melihat Hazel. Kenapa pria itu ada di sini? Bukankah dia sudah ditemani oleh Ayana? Atau sebenarnya Hazel kemari karena ingin mengejek Irish? Membanding-bandingkannya dengan Ayana yang hampir sempurna bak idaman banyak pria di luar sana?
"Lagi pula, kamu nggak tahu takaran yang disuka Ayana. Yang ada nanti kamu kena semprot dia." Tak mendapat respons dari si lawan bicara, Hazel mendekati Irish dengan tangan dimasukkan ke saku celana. Pria itu sebenarnya cukup kaget dengan tawaran Irish pada Ayana. Dia tak sempat bersuara karena diancam Irish. Tentu dia mencari aman supaya Irish tak meminta untuk resign.
Mungkin nanti Hazel bisa membuat aturan-aturan dan tugas Irish selama menjadi asistennya.
"Daripada aku bengong kayak patung? Kerjaan nggak ada, tapi disuruh untuk lihat orang lagi mesra-mesraan." Tanpa menatap Hazel, Irish berbicara, sementara tangannya sibuk menuangkan kopi dan bahan lainnya ke dalam gelas.
Hazel menyandarkan pinggulnya di meja pantry dengan kaki yang disilang. "Kamu nggak suka lihat aku sama Ayana? Kalau iya, tinggal bilang aja. Jangan justru alibi bikinin Ayana kopi."
Irish melirik Hazel sinis. Apa katanya? Tidak suka? Pria itu bercanda? Bahkan Irish tidak peduli kalau Hazel dan Ayana menikah. Sakit hatinya dengan perlakuan Hazel di masa lalu membuat perasaan Irish mati untuk Hazel.
"Kamu mau disiram pake air panas, Zel? Aku malah seneng kalau kamu sama Mbak Ayana. Itu berarti, kamu nggak bakal ganggu aku lagi."
Alih-alih tersinggung, ucapan Irish justru mengundang senyum tertahan di sudut-sudut bibir Hazel. "Dan itu artinya, kamu bakal dipecat sebelum kamu dapat gaji. Asal kamu tahu aja, Ayana tipe perempuan yang posesif."
"Ya, terserah. Mau posesif atau enggak, bukan urusan aku. Kalau bisa, setelah kalian nikah, Ayana kurung kamu di kamar."
Kini, Hazel tak bisa membendung senyumnya. Dia sampai tertawa kecil, merasa lucu dengan Irish. Mau mengelak berapa kali pun, sikap Irish menyiratkan kalau perempuan itu sebenarnya masih ada rasa dengannya. Meski kemungkinan sekitar satu persen, tentu Hazel tak akan menyia-nyiakannya.
"Tapi aku pengin nikah sama kamu, Rish. Bukan Ayana. Dia cuma klien aku."
Irish yang tengah mengaduk kopi, seketika menghentikan kegiatannya. Dia berbalik ke arah Hazel. "Jangan berharap sesuatu yang impossible. Hubungan kita udah selesai, Zel. Dan selamanya akan begitu. Cukup sekali aja kamu bikin aku nggak percaya lagi sama yang namanya cinta. Seterusnya, aku nggak bakal biarin lagi."
Melihat keseriusan di wajah Irish, tawa Hazel langsung lenyap. Tubuhnya menegap, hingga mereka saling berhadapan. Tinggi Irish yang hanya sebatas bahunya membuat Hazel harus menunduk agar bisa menatap Irish.
"Nggak ada kata terlambat untuk setiap penyesalan, Rish. We know each other. Keras kepala kamu cuma bikin semuanya jadi semakin rumit. Dan bukan ini yang aku inginkan."
Irish hanya diam. Mereka saling bertatapan lama, seolah-olah tengah menyelami kedalaman satu sama lain. Entah hanya perasaan Irish atau tidak, dia merasa binar Hazel masih sama untuknya. Mata kecokelatan itu tetap menyalurkan keteduhan yang dulu selalu menjadi favoritnya.
Irish cepat-cepat menggeleng. Tidak seharusnya dia begini. Menghela napas, dia berucap pelan, "Just ... stop it, Zel. Kita udah punya kehidupan masing-masing. Udah saatnya kita fokus ke depan, tanpa menggali masa lalu lagi."
Irish mengambil gelas kopi untuk Ayana lalu berjalan melewati Hazel. Sebelum mencapai pintu, dia masih sempat mendengar lirihan Hazel.
"Give me a chance, Irish."
***
Sesuai janji, double chapter! Happy reading semuaaa!
See u!
Bali, 05 Agustus 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top