7. Irish Yang Malang
Tak ada yang tahu mengenai takdir selain Tuhan. Hanya saja, aku berharap supaya tak lagi jatuh ke lubang yang penderitaan.
***
Irish berada dalam bahaya!
Dari sejak perjalanan pulang, firasat Irish tak enak. Dia terus memikirkan tentang kejadian tadi pagi, membuatnya terus merapalkan doa keselamatan—berharap Neiva pulang malam dan Mauve tak curiga—meski dia yakin kalau hal itu tak mungkin terjadi.
Hazel pun tak diizinkan berlama-lama berada di sekitaran kompleks perumahannya. Seperti kemarin, Irish menyuruh pria itu untuk menurunkannya agak jauh dari rumah. Kali ini, Hazel lebih banyak protes karena merasa Irish akan kerepotan membawa barang sebanyak itu—tiga paper bag besar—sambil berjalan kaki dengan jarak yang lumayan jauh.
Memangnya, Hazel pikir Irish lemah? Setelah kepergiannya, Irish menjadi lebih mandiri. Bahkan, dia bisa mengangkat galon sendirian. Jadi, tiga paper bag tak akan mampu membuatnya tumbang.
Masalahnya, Neiva pasti akan menginterogasinya habis-habisan. Ini semua salah Hazel yang memaksa Irish untuk berbelanja. Ternyata, pria itu berbohong mengenai ucapannya yang ingin membeli kebutuhan pribadi. Karena justru kebutuhan Irish lah yang dibeli. Mulai dari pakaian kerja—kata Hazel, dia ingin melihat penampilan Irish yang baru—hingga dalaman. Iya, benar-benar dalaman untuk perempuan. Lima set pula.
Jangan tanya bagaimana respons Irish saat dibawa ke toko dalaman bermerek terkenal. Dia tak henti mengumpati Hazel yang malah seakan-akan menutup telinga dan tetap menyuruh Irish—lebih ke pemaksaan—untuk memilih dalaman yang dia sukai. Mereka berdua bahkan sempat berdebat di dalam toko hingga salah satu karyawan menghampiri, membuat Irish mau tak mau mengalah.
Namun, aneh. Selama Irish mencari dalaman, Hazel tampak tak risi sama sekali. Pria itu sangat anteng duduk di sofa tunggu, seolah-olah sudah terbiasa ke tempat tersebut.
Irish ingin mengelak, tapi tak bisa. Pikirannya langsung mengarah kepada satu simpulan; selama mereka berpisah, Hazel sudah pernah menjalin hubungan dengan perempuan lain, bahkan mungkin sampai saat ini.
Hei, tiga tahun adalah waktu yang tepat untuk kembali menemukan tambatan hati yang baru. Dan Hazel, walaupun mengesalkan, tak dipungkiri kalau pria itu hampir sempurna. Entah dari segi fisik atau materi. Perempuan mana yang tak akan bertekuk lutut pada Hazel? Tinggal menjentikkan jari, maka perempuan akan langsung datang. Irish sendiri pernah sangat bucin dengannya.
Hanya saja, ketika membayangkan ada perempuan lain yang mendapat perlakuan manis Hazel, mendadak perasaan Irish menjadi tak keruan. Seperti ada yang mengganjal dan sesak di dada, yang berusaha Irish hilangkan dengan menyibukkan diri.
Mengembuskan napas berulang kali, begitu seterusnya. Perlahan, Irish membuka pintu rumah. Lampu di halaman mati, yang berarti Neiva masih belum pulang. Aman, pikirnya.
"Abis dari mana?"
Irish hampir saja menjatuhkan paper bag yang dibawanya ketika mendengar suara seseorang. Dia menoleh seperti robot kehabisan baterai. Dalam kegelapan, dia mendapati Neiva tengah duduk di sofa ruang tamu.
Irish berdeham, meredakan gatal di tenggorokannya yang muncul secara tiba-tiba, lalu berkata kikuk, "Loh, Nei? Udah pulang? Kenapa lampu di halaman masih mati?"
Neiva tak langsung menjawab, melainkan bangkit, berjalan menuju saklar lampu dan menyalakannya. Mata Irish mengerjap sebelum bibirnya terbuka lebar. Ternyata bukan hanya ada Neiva, tapi juga Mauve yang baru disadarinya.
Alamat aku nggak bakal bisa lepas dari mereka berdua. Ma, tolong anakmu ini!
"Harusnya gue yang tanya. Kenapa pintu rumah bisa kebuka, tapi lo-nya nggak ada?"
"Eng ... aku lupa tutup pintu, Nei. Buru-buru soalnya, hehe." Irish cengar-cengir, yang mungkin tampak seperti kuda.
"Tapi aku lihat mobil asing di depan rumah kalian. Waktu aku mau datengin, mobilnya langsung pergi."
Astaga ... Mauve! Nggak usah buka kartu!
Memang bukan salah Mauve sepenuhnya, lantaran perempuan itu tidak tahu apa-apa. Dia hanya menyampaikan apa yang dilihat saja, tapi kejujuran Mauve justru membawa petaka bagi Irish. Rasanya dia ingin menguburkan diri di dasar bumi!
Neiva mengangkat sebelah alisnya. "Jadi, apa alasan lo?" Dia melirik paper bag yang dibawa Irish lalu menatap si empunya penuh arti. "Kayaknya ada banyak hal yang pengin lo jelasin ke kita."
Irish membasahi bibir bawahnya, gugup. Kalau sudah begini, tak ada yang bisa dia lakukan selain jujur, meski nanti kedua temannya itu akan marah padanya. Dengan langkah kaku, Irish berderap menuju sofa diikuti Neiva. Dia meletakkan paper bag di atas meja sebelum duduk.
"Jadi?" Neiva mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi. Dia tentu tahu kalau merek yang tertempel di paper bag tersebut bukanlah merek yang bisa dibeli oleh semua kalangan. Dan mengetahui kalau Irish membeli di tempat tersebut sukses menimbulkan kecurigaan.
"Kamu jadi sugar baby, Rish?" Pertanyaan Mauve yang terlalu frontal itu membuat mata Irish melotot.
"Sembarangan kamu, Mau. Aku masih waras untuk berpikir sejauh itu." Daripada menjadi sugar baby, lebih baik dia menjadi pengangguran selamanya. Option tersebut tak pernah terlintas di otak Irish sefrustrasi apa pun dia.
"Terus apa? Nggak mungkin kamu bisa dapetin uang banyak dalam waktu semalam. Neiva bilang, kemarin kamu masih nangis-nangis karena jadi pengangguran."
"Oke, aku bakal jelasin." Irish menggaruk pipinya yang tak gatal. "Sebenarnya..."
"Tunggu, Rish." Neiva tiba-tiba memotong ucapannya. Perempuan yang sudah mengganti baju kerjanya dengan baju rumahan itu menyipitkan mata, menelisik penampilan Irish yang terlihat aneh.
"Lo pinjem jaket sama celana siapa, Rish? Lo punya pacar?"
As a lawyer, Neiva benar-benar teliti dengan hal sekecil apa pun. Ya, seperti ini contohnya. Di saat Mauve tidak menyadarinya, Neiva malah menyinggungnya. Jadi, Irish tak bisa berbohong dengan Neiva.
"Makanya dengerin aku ngomong, Nei." Irish berdecak, yang dibalas gumaman oleh Neiva.
"Aku pinjem sama Hazel."
"Hah? Apa? Nggak kedengeran." Neiva sampai mengorek telinganya karena suara Irish yang kecil, persis seperti sedang bisik-bisik.
Irish menghela napas. "Aku pinjem sama Hazel." Kali ini, suaranya lebih keras hingga dapat didengar oleh Neiva dan Mauve yang langsung terbelalak.
"Apa?!"
***
Dengan mata setengah terpejam, Irish meraba-raba nakas, mencari keberadaan ponsel barunya. Begitu ditemukan, dia membuka sebelah matanya untuk melihat jam. 07.00. Dia mengangguk, hendak kembali meletakkan ponselnya sebelum menyadari sesuatu.
Tunggu. Jam tujuh? Pagi? Jam—
Astaga! Ini hari pertama dia bekerja! Irish langsung bangun, membuat kepalanya sedikit pusing. Bersamaan dengan itu, ponselnya berdering, menampilkan sebuah nama yang kemarin menjadi bahan interogasi Neiva dan Mauve.
Tanpa mengangkatnya, Irish buru-buru pergi ke kamar mandi. Biasanya, Irish akan mandi secepat-cepatnya 20 menit, tapi hari ini, belum ada 10 menit dia sudah keluar dari kamar mandi dengan handuk Doraemon yang membungkus tubuhnya.
Irish memilih basic cardigan sebagai atasan dan celana panjang model straight pants sebagai bawahan. Untuk alas, dia memakai heels tiga senti. Di hari pertama, Irish ingin terlihat lebih classy dan playful meski dia tak tahu pekerjaan apa yang akan dia dapatkan.
Semuanya Irish lakukan serba cepat, hingga dia berdiri di depan cermin untuk memakai make up. Dalam hati, Irish meringis saat melihat lingkaran hitam di bawah matanya yang masih tercetak jelas. Semalam, dia begadang demi mendengarkan ceramah dari Neiva dan Mauve karena sudah menerima tawaran Hazel.
Padahal, bukan keinginan Irish untuk menerima bantuan Hazel. Hal itu semata-mata karena kebutuhan yang semakin membludak, sementara tak ada pemasukan. Tak mungkin dia pulang ke kampung dan menadahkan tangan kepada orang tuanya. Mereka sudah cukup dipusingkan dengan biaya sekolah dua adiknya. Lupakan pemikiran Irish yang ingin dijodohkan dengan saudagar tua yang kaya raya.
Kalaupun boleh memilih, Irish lebih baik melajang selamanya daripada menjadi istri muda. Membayangkannya saja sudah membuat Irish bergidik ngeri.
Untuk menutupi lingkaran hitam di mata, Irish menggunakan concealer yang cukup tebal setelah memakai pelembab dan sunscreen terlebih dahulu. Kalau boleh jujur, Irish tak terlalu menyukai pemakaian make up yang berlebihan. Dia menyukai make up simpel dan ringan.
Ketika Irish sedang memoleskan lip cream berwarna peach, ponselnya kembali berdering. Irish berdecak, bermaksud mengabaikan. Namun, dering ponselnya tak mau berhenti. Dengan ogah-ogahan, Irish mengambilnya dan menekan tombol hijau.
"Kenapa?" Adalah sapaan pertama yang Irish lontarkan seraya memoleskan lip cream, sedangkan ponselnya dia jepit di antara pipi dan telinga.
"Kenapa belum sampe?" Suara grasak-grusuk dari arah seberang menciptakan kerutan di kening Irish.
"Aku masih di rumah." Irish menjawab enteng, tak mau repot-repot bertanya mengenai kegiatan pria itu.
Hazel mendengkus keras. "Bukannya aku udah bilang kalau kamu harus sampe sebelum jam setengah delapan? Ini hari pertama kamu, tapi kamu udah terlambat."
"Ya, udah sih. Kayak nggak tahu ritual perempuan aja." Irish menutup lip cream dan meletakkannya di pouch khusus make up. Kemudian, dia memegang ponselnya supaya tetap menempel di telinga sambil mengambil tas selempangnya yang tergantung di belakang pintu. Membiarkan handuk Doraemon miliknya masih tergeletak di atas kasur, Irish berjalan keluar kamar.
"Kebiasaan kamu dari dulu nggak pernah hilang, ya, Rish. Aku tunggu kamu di kantor."
Hanya itu yang Hazel katakan sebelum menutup sambungan telepon. Irish menatap layar ponselnya yang mati dengan tak acuh. Begitu dia memasukkan ponsel ke dalam tas, Neiva keluar dari kamar dengan pakaian kantor.
Neiva menatap Irish dari atas sampai bawah lalu berucap, "Lo yakin mau kerja sama Hazel?"
Irish mengedikkan bahu. "Demi uang, Nei. Aku nggak mungkin cuma duduk diam doang, sementara kamu kerja. Berasa nggak tahu diri banget."
Neiva menghela napas panjang. Keraguan masih menggelayutinya, karena jujur saja, dia adalah saksi ketika Irish berada di titik down yang disebabkan oleh pria itu. Namun, kini Hazel tiba-tiba datang dan mengulurkan tangan. Bukankah yang sebenarnya tidak tahu diri itu adalah Hazel?
"Gue, sih, nggak masalah, Rish. Daripada lo kerja sama orang kayak dia."
"It's okay, kamu nggak perlu khawatir, Nei. Aku bisa jaga diri aku sendiri."
Neiva menatap Irish lama. Meski berat, akhirnya perempuan itu mengangguk.
"Mau bareng gue?"
Irish menggeleng. "Aku pake ojek di depan komplek aja."
"Oke. Good luck, Rish. Kalau Hazel bikin lo sakit hati lagi, biar gue aduin ke Komnas Perempuan."
Irish tertawa kecil. "Iya, deh. Ibu lawyer yang circle-nya anak hukum semua."
Dan, ya. Walaupun terkadang Neiva dan Mauve menyebalkan, nyatanya mereka berdua adalah orang-orang yang akan berada di garda terdepan kalau Irish disakiti oleh orang lain.
***
See u!
Don't forget to like, komen and follow me!
Bali, 04 Agustus 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top