5. Buah Simalakama
Ternyata, meski selalu berkata tidak, hatiku tetap luluh dengan tatapanmu yang menjadi salah satu alasanku untuk jatuh cinta.
***
Walaupun sempat kesal dengan Hazel yang sudah membuatnya seperti orang bodoh, Irish tetap bersyukur karena pria itu berinisiatif untuk membawanya pergi dari rumah supaya tidak bertemu Mauve. Dia masih belum siap untuk dipergoki perempuan itu saat tengah bersama Hazel.
Namun, ada sedikit kekhawatiran di benak Irish mengenai pintu rumahnya yang belum ditutup. Kepanikan yang mendominasi membuat Irish tak bisa berpikir jernih. Dia hanya berharap agar Mauve menutup pintu rumahnya sampai dia kembali.
“Kamu nggak mau ganti celana?”
Mendengar suara di sebelahnya, Irish sontak menoleh. Hazel sedang menatapnya dengan tubuh yang dimiringkan, menghadap Irish. Mobil sudah berhenti, cukup jauh dari rumah Irish.
“Ngapain ganti celana? Aku nggak ke mana-mana lagi, mau langsung pulang.” Lagi pula, mereka ada di mobil. Kalaupun Hazel takut handuk Irish terlepas, itu akan mungkin terjadi kalau Irish berlari-larian atau melakukan aktivitas fisik. Sementara dia kini hanya duduk di bangku penumpang. Jadi, kenapa malah Hazel yang was-was?
“Aku udah bilang kalau kamu harus temani aku sarapan.”
Irish mengernyit, tak setuju. “Aku udah nolak. Kenapa masih dipaksa?”
“Jadi kamu nggak mau? Terus, gimana sama baju aku yang basah dan air mata kamu? Tenaga aku yang harus mengemudikan mobil untuk antar kamu pulang?”
Irish membuang napasnya kasar. Jujur saja, selain penampilan Hazel yang berbeda, sifat pria itu juga berubah semakin menyebalkan. Sejak mereka masih pacaran, Irish paling tidak suka dengan sifat Hazel yang satu itu. Tidak mau mengalah. Membuat keduanya kerap kali cekcok karena hal-hal sepele.
“Kayaknya, yang peluk aku duluan itu kamu. Yang inisiatif bawa aku pulang juga kamu. Tolong jangan playing victim.” Meski Irish sedikit malu untuk kembali mengungkit kejadian kemarin—masih tak percaya karena membalas pelukan Hazel yang sudah lama sekali tak pernah dia lakukan—tapi dia tidak terima kalau Hazel menganggapnya sebagai orang yang lepas tanggung jawab.
Hazel diam sebentar lalu mengangguk. Tubuhnya bersandar di punggung bangku kemudi. “Oke. Kalau gitu, kamu boleh pulang.”
Irish mengerjap, tak percaya dengan ucapan Hazel yang terkesan santai. Serius, pria itu ingin menurunkannya di jalanan dengan handuk yang masih menempel dan kaus tipis kebesaran yang mampu membuatnya masuk angin?
Ego Irish tersentil. Jadi, karena merasa sudah menolongnya, Hazel langsung besar kepala? Lama tak bertemu, Hazel menjadi semakin semena-mena.
Irish mendengkus sebal. “Ya, udah. Tanpa kamu, aku bisa pulang sendiri.”
Alih-alih bersikap baik supaya Hazel kembali membawanya pulang, Irish justru menerima tantangan Hazel. Memang, pria itu pikir, Irish tak bisa apa-apa tanpanya? Walaupun dengan penampilan terburuk sekalipun, kalau demi menyelamatkan harga dirinya, Irish akan melakukan hal tersebut.
Kali ini, giliran Hazel yang panik. Niatnya hanya bercanda sekaligus sedikit mengancam Irish supaya mau menemaninya sarapan, tapi perempuan yang keras kepalanya melebihi terumbu karang itu malah menganggapnya sungguhan.
Hazel tentu tak ingin kalau Irish benar-benar pulang dengan keadaan seperti itu. Dia tak mau Irish mendapat tatapan aneh ataupun yang lainnya dari orang-orang. Alhasil, ketika Irish hendak membuka pintu mobil, Hazel cepat-cepat menahannya.
“Apa, sih? Aku mau pulang.” Irish berusaha melepas pegangan Hazel, meski gagal.
“Aku cuma bercanda, Rish. Nggak mungkin aku biarin kamu pulang sendirian kayak gini.” Hazel mencoba menjelaskan, tapi yang didapat hanyalah dengkusan.
“Terserah kalau kamu mau bercanda atau enggak. Yang penting aku mau pulang.” Irish kembali hendak membuka pintu mobil, yang seketika dikunci oleh Hazel. Pria itu melepas sabuk pengamannya agar lebih leluasa berbicara dengan Irish.
“Aku antar kamu pulang.”
“Nggak perlu. Nanti kamu ungkit-ungkit terus. Kamu kira enak kalau digituin?”
Hazel menghela napas. “Bisa nggak usah keras kepala, Rish? Aku cuma minta temani sarapan, bukan temani seumur hidup. Memang sesusah itu?”
Irish langsung kicep, hanya menatap wajah Hazel yang entah kenapa tampak memelas. Dia jadi bingung. Sebenarnya, apa motif pria itu kembali mendekatinya? Tidak mungkin hanya sekadar untuk memperbaiki hubungan saja, kan?
“Kamu tega, Rish, lihat aku kelaperan kayak gini? Nanti kalau aku magh, gimana?”
Irish memutar bola mata. Mulai lagi, deh, lebay-nya. Namun, sepertinya menemani pria itu sarapan sebentar tidak terlalu buruk dibandingkan pulang sendirian dengan penampilan yang mirip orang terlantar.
“Iya, iya. Tapi ini karena kamu yang paksa, bukan keinginan aku. Awas aja kalau kamu masih ngomong yang aneh-aneh. Aku plester juga mulut kamu!” Telunjuk Irish menuding tepat di depan wajah Hazel.
“Kalau kamu udah temani aku sarapan, berarti utang kamu lunas. Kalau belum, ya, masih aku ungkit, lah.”
“Hazel!” Mata Irish melotot, yang justru menurut Hazel terlihat lucu, membuat pria itu terkekeh pelan. Ternyata, hobinya yang suka mengganggu Irish belum juga menghilang meski mereka sempat lost contact.
"Bercanda, Rish. Kamu kalau marah mulu, bisa darah tinggi."
"Kalau aku darah tinggi, itu semua gara-gara kamu!"
Hazel mengukir senyuman tipis sambil mengangguk-angguk. "Nanti aku tanggung jawab dengan cara nikahin kamu."
"Hazel gila!"
Tawa Hazel semakin kencang. Sementara Irish memasang ekspresi kesal. Kenapa ucapan pria itu terus mengarah ke arah sana, sih? Setelah meninggalkannya tanpa kabar dalam waktu yang lama, Hazel pikir Irish akan segampang itu kembali menerimanya?
"Aku udah bilang, Rish. Kalau enggak gila, bukan Hazel namanya," ucap Hazel di sela-sela tawanya.
Irish membalasnya dengan cebikan. Tiba-tiba, dia teringat sesuatu. "Zel, aku pake handuk. Gimana caranya aku keluar?"
Tawa Hazel berhenti. Dia mengedikkan bahu. "Loh, kenapa panik? Bukannya tadi kamu pengin pulang sendirian pake handuk itu?"
"Zel, aku serius!"
Hazel senyam-senyum. Tangannya terangkat, mengacak rambut Irish yang dicepol. "Kamu bisa pake celana aku. Kebetulan aku bawa celana cadangan. Ada di kursi belakang."
Irish tak langsung menjawab, terkejut dengan tindakan Hazel yang terlalu mendadak. Dulu, Hazel paling sering melakukan itu saat merasa gemas dengannya. Setelah berakhir, Irish tak pernah lagi mengizinkan pria manapun melakukannya. Dia bahkan tak pernah benar-benar dekat dengan seorang pria. Maka tak heran kalau dia sedikit terkejut, meski dia berusaha untuk bersikap biasa saja.
"Maksud kamu, aku ganti celana di sini?"
Barangkali tak sadar sudah membuat Irish gugup, Hazel senyum lima jari. "Terus, mau di mana lagi? Nggak ada toilet umum. Lagi pula, bukannya kamu malu kalau keluar pake begituan doang?"
Irish terdiam. Benar juga. Dia tidak mungkin mencari toilet umum di saat untuk keluar saja dia tidak percaya diri.
"Tapi, kan, ada kamu di sini."
"Ya, kan, aku bisa keluar. Kaca mobilnya juga gelap."
Oh, iya juga, ya.
Irish tak sempat berpikir demikian. "Ya, udah. Kamu boleh keluar."
"Iya, ini juga mau keluar." Hazel membuka pintu mobil dan keluar. Sebelum menutup pintu, Hazel kembali menatap Irish sambil berkata, "Tapi kalau kamu pengin ditemenin, panggil aku aja."
"Dasar gila!"
***
"Ternyata, kesukaan kamu masih sama, ya." Celetukan yang Hazel lontarkan sontak mengalihkan perhatian Irish dari buburnya. Dengan mulut yang masih mengunyah ayam suwir, dia bertanya, "Maksud kamu?"
Hazel menunjuk bubur Irish menggunakan dagunya. "Tim bubur diaduk."
Irish mengangguk, mengerti. Dia mulai menyuapkan sesendok bubur ke dalam mulutnya. "Udah kebiasaan. Lebih enak juga, rasanya tercampur rata."
Kening Hazel mengernyit samar, tapi tak berkata lebih lanjut. Selain sifat mereka yang bertolak belakang, mereka juga mempunyai tata cara makan sendiri. Kalau Irish suka dengan bubur yang diaduk, maka Hazel sebaliknya. Dia lebih menyukai bubur tidak diaduk. Begitu juga saat makan mie. Perempuan itu tim telur setengah matang, sedangkan Hazel memilih telur matang sempurna. Aroma amis dari telur yang masih agak mentah mampu membuatnya mual.
Sejujurnya, masih banyak perbedaan di antara mereka berdua yang tak jarang memicu perdebatan. Hanya saja, alih-alih merasa kesal, Hazel malah menikmatinya, merekam setiap ekspresi yang Irish perlihatkan di kepala. Dan ketika mereka akhirnya dipisahkan oleh jarak, Hazel dilanda kerinduan dan penyesalan.
Jadi, Hazel tentu tak akan menyia-nyiakan pertemuan mereka. Meski dia sempat terkejut dengan kondisi Irish yang jauh dari kata baik.
"Karena udah lama nggak ke sini, aku pikir tukang bubur ayamnya udah nggak jualan lagi. Ternyata makin rame, ya." Hazel melirik sekitarnya yang penuh dengan pembeli.
Bukan tanpa alasan Hazel mengajak Irish sarapan bubur ayam. Tempat ini—yang terletak tak jauh dari kampus mereka dulu—adalah salah satu tempat bersejarah bagi Irish dan Hazel. Saat hubungan mereka masih adem ayem, Hazel sering membawa Irish makan di sana.
Hazel ingin mengenang kembali masa-masa itu, walaupun tadinya sempat mengalami penolakan Irish. Ya, perempuan itu awalnya tidak setuju kalau mereka makan di sana. Hanya saja, Hazel berhasil membujuknya dengan embel-embel kangen makan bubur ayam Pak Yatno—nama pedagangnya.
"Memangnya, begitu kamu keluar dari kampus, tukang bubur ayamnya juga milih untuk berhenti jualan? Nggak mungkin, lah. Kamu nggak ada kontribusi apa pun di hidup Pak Yatno." Ucapan menohok yang keluar dari mulut Irish sukses membuat Hazel tersedak. Dia segera meminum teh hangatnya hingga tersisa setengah.
"Omonganmu, Rish. Sadis banget. Aku nggak bermaksud gitu. Mungkin aja Pak Yatno pindah tempat atau pensiun. Kamu tahu sendiri, umur Pak Yatno udah nggak muda lagi. Lebih pantas temani cucu di rumah daripada keliling." Hazel mencoba menjelaskannya.
Irish mengangkat bahu tak acuh. "Pak Yatno itu mikirin pelanggannya yang udah cocok sama bubur ayamnya. Jadi, beliau nggak tega untuk tiba-tiba berhenti jualan. Nggak kayak seseorang yang tiba-tiba pergi tanpa kejelasan."
Hazel menatap Irish dengan bibir terkulum. Siapa yang tidak terkejut kalau disindir halus seperti itu? Dia tahu pasti kalau yang dimaksud Irish di akhir kalimat adalah dirinya. Dan Hazel tak punya pembelaan karena faktanya memang begitu. Alhasil, dia hanya diam sambil sesekali curi-curi pandang ke arah perempuan yang asyik dengan bubur ayamnya itu.
Hingga bubur ayam mereka habis, Hazel baru berani memanggil Irish, "Rish."
Irish hanya mengangkat kedua alisnya sebagai jawaban.
"Kamu beneran nggak mau jadi asisten aku?" tanya Hazel seraya membersihkan mulutnya menggunakan tisu.
Irish menggeleng. "Nggak minat."
Hazel menghela napas. Jari-jarinya saling menyatu di atas meja. Keras kepala perempuan yang kini tampil imut dengan jaket jeans dan training milik Hazel yang kebesaran di tubuhnya itu memang sulit sekali dihancurkan.
"Aku nggak lagi mencemooh kamu, Rish. Mau sampai kapan kamu cari kerjaan sementara sekarang aja kamu sama sekali nggak ada uang? Aku cuma pengin bantu kamu. Dan kebetulan, aku benar-benar butuh asisten pribadi. Selagi nunggu kerjaan yang lebih bagus, apa salahnya mencoba, Rish?"
Irish mengembuskan napas kasar. "Zel, kamu juga tahu kalau aku nggak mau berurusan sama kamu lagi."
"Bahkan demi pekerjaan sekalipun? I know kesalahan aku ke kamu itu banyak, tapi apa kamu nggak bisa turunin ego kamu sedikit aja?" Hazel masih berusaha membujuk Irish. "Sampai kapan, Rish? I want to fix everything about us. Is it difficult for you?"
Irish tak bisa menjawab. Dia hanya menatap sisa-sisa buburnya yang tertempel di mangkuk.
"Sekali aja, Rish. Bantu aku untuk menebus kesalahan aku. It's hard for me to live life with regrets."
Seharusnya, Irish tetap bertahan pada egonya. Hanya saja, ketika dia mengangkat kepala dan menatap bola mata Hazel, seakan-akan ada yang menyuruhnya untuk menganggukkan kepala, menyetujui.
***
Sesuai janji aku, hari ini aku bakal double update. Mudah-mudahan kalian suka, ya!
Happy reading and see u!
Bali, 03 Agustus 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top