49. Mencoba Ikhlas (END)

Tak ada jaminan mengenai hubungan kita. Bahkan, takdir pun seolah-olah tak merestui kita. Karena pada akhirnya, kamu yang aku genggam erat, bisa lepas juga.

***


Suara riuh tepuk tangan terdengar di ballroom hotel bintang lima di negeri singa, Singapura. Dua insan yang berada di atas panggung itu baru saja melangsungkan acara tukar cincin pertunangan dengan mengusung konsep intimate. Pihak keluarga dari kedua orang pemeran utama itu tampak sumringah, berbincang dengan para tamu dari kalangan atas yang merupakan rekan bisnis mereka.

Namun, di antara kebahagian tersebut, ada salah satu yang justru merasa tak senang. Senyum yang dia tampilkan di hadapan para tamu hanyalah senyum paksa untuk menghargai mereka. Acara ini bukanlah keinginannya, melainkan karena keegoisan orang-orang yang ada di balik rencana tersebut.

Hazel menghela napas panjang, menatap para tamu yang tengah mencicipi makanan. Sedari tadi, dia tak banyak bicara. Bahkan, saat MC menyuruhnya untuk memberikan sepatah dua patah kata untuk perempuan yang duduk di sebelahnya, Ayana, Hazel hanya mengucapkan beberapa kalimat sebagai formalitas dan bersikap seolah-olah mereka adalah pasangan yang saling mencintai. Padahal kenyataannya, dia ingin sekali pergi dari sini, melepaskan topeng kepura-puraannya yang semakin lama semakin melelahkan.

Sejujurnya, dia sendiri heran lantaran acara pertunangannya dengan Ayana diadakan di Singapura, alih-alih di Indonesia. Hazel tak tahu menahu dan enggan ikut campur mengurusi acara yang tidak dia inginkan. Hanya saja, tiga hari sebelum acara berlangsung, orang tuanya mengatakan kalau mereka akan pergi ke Singapura. Semua sudah dipersiapkan, termasuk barang-barang Hazel. Dia hanya tinggal membawa diri ke negara ini.

Hazel tak memiliki kesempatan untuk menolak, sama sekali. Terlebih, Irish sudah memutuskan hubungan mereka, yang membuat Hazel akhirnya berpasrah pada pilihan orang tuanya. Toh, hidupnya bukan milik Hazel sepenuhnya, melainkan milik orang tuanya. Semuanya sudah diatur, tanpa harus meminta pendapat Hazel terlebih dahulu.

"See? Pada akhirnya, aku yang menang, Zel. Irish nggak ada apa-apanya. Kamu sekarang milik aku, dan tinggal selangkah lagi, aku bakal milikin kamu sepenuhnya." Mendengar bisikan di telinganya, Hazel langsung menoleh. Senyum penuh kemenangan terpatri di bibir Ayana ketika melihat raut masam Hazel.

"Ini bukan keinginan aku, Na. Tapi keinginan orang tua aku dan kamu. Kalaupun kita beneran menikah, kamu nggak bakal bisa milikin hati aku. Karena sampai kapan pun, hati aku cuma milik Irish." Hazel membalasnya dengan tegas, membuat Ayana mendengkus sebal.

Setelah Irish memutuskan hubungan mereka, Hazel benar-benar terpuruk. Dia ingin menahan perempuan itu, memintanya untuk tetap di sisi Hazel, tapi sikapnya tampak sangat egois. Karena kalau dia melakukannya, itu hanya akan membuat semuanya menjadi semakin runyam. Irish akan tersakiti lagi, dan Hazel tak ingin Irish menangis karenanya.

"Terserah kamu. Mau seberapa pun usaha kamu, nyatanya kamu nggak bakal balik ke Indonesia lagi. Irish nggak akan mau ketemu kamu lagi. Dan hal ini cuma bakal bikin semuanya jadi sia-sia." Ayana tersenyum tipis saat orang tuanya yang berada tak jauh dari mereka, menatapnya.

"Nggak ada yang sia-sia, Na. Kalau memang Irish jodoh aku, kamu mau kerahin semua usaha kamu juga tetep nggak bakal berhasil." Saat mengucapkannya, ada keraguan di hati Hazel. Apakah masih mungkin, dia dan Irish bersatu? Apakah Tuhan masih berbelas kasih mempertemukannya kembali dengan Irish? Apakah mungkin ... ada keajaiban yang menimpa mereka?

Karena bersamaan dengan Hazel yang meninggalkan Indonesia, pekerjaan dan juga cintanya ikut pergi. Secara non resmi, Irish keluar dari pekerjaannya sebagai asisten pribadi Hazel. Entah pekerjaan apa yang digeluti oleh Irish.

Sebulan sudah mereka tak bersua, dan kemungkinan saat ini Irish tengah mencari pekerjaan. Apa masih tak ada perusahaan yang menerima Irish lantaran sikap heroiknya di perusahaan yang dulu? Padahal, kalau dipikir-pikir, Irish sudah melakukan hal yang benar. Hanya saja, banyak perusahaan yang lebih memilih menutup mata mereka lantaran kerjasama yang dijalankan.

Ayana mengedikkan bahu. "Kata-kata kamu terlalu angkuh, Zel. Kamu sangat percaya diri dengan apa yang kamu yakini, sementara fakta yang terjadi adalah sebaliknya."

Hazel berdecih. Kalau orang-orang melihat, mereka tampak seperti pasangan serasi yang saling berbisik untuk mengungkapkan perasaan satu sama lain, tapi nyatanya tidak demikian. Ibarat musuh yang tengah bersiap untuk perang, mereka sedang menyiapkan amunisi untuk saling menodongkan senjata.

Bibir Hazel terbuka, hendak membalas ucapan Ayana tapi urung begitu ibunya berjalan mendekatinya. Untuk sesaat, dia harus memerankan karakter dengan apik.

"Zel, Ayana-nya nggak ditanya mau makan atau enggak?" tanya ibu Hazel.
Belum sempat Ayana menjawab, Hazel sudah lebih dulu menyerobotnya. "Enggak. Katanya diet."

Ayana melirik Hazel kesal. Namun, dia berusaha untuk tetap menyunggingkan senyuman di depan calon ibu mertuanya. "Eng, iya Tante. Aku lagi diet, jadinya mengurangi makan malam."

Ibu Hazel mengernyit. "Loh, kenapa? Dari tadi kamu nggak makan, loh, Na. Pasti kecapean. Kalau perutnya nggak diisi, nanti bisa sakit."

"Nggak apa-apa Tante. Nanti kalau aku laper, aku ambil makannya sendiri." Ayana meyakinkan.

"Beneran, loh, ya? Zel, kamu jangan lupa ingetin Ayana untuk makan." Ibu Hazel memperingati anaknya, yang hanya dibalas anggukan pelan.

Setelah kepergian ibu Hazel, pria itu berbisik kepada Ayana, "Walaupun kita udah tunangan, tapi jangan harap kamu bakal dapat perhatian aku. Kamu, urus diri kamu sendiri!"

Dan Ayana, hanya bisa mengepalkan kedua tangannya yang berada di atas paha.

.***


"Rish, belum tidur juga?" Sapaan yang masuk ke telinga Irish, membuat si empunya menoleh. Dalam balutan baju tidur, Neiva berdiri di ambang pintu kamarnya. Wajah perempuan itu sedikit kusut lantaran baru saja pulang bekerja.

"Belum, Nei. Bentar lagi. Aku masih belum ngantuk." Irish tersenyum tipis.

Neiva menghela napas panjang lalu melangkah masuk. Dia duduk di sisi ranjang Irish, menatap sahabatnya getir. Neiva tahu, sangat tahu kalau Irish sedang berada di pergolakan batin. perempuan itu sedang di posisi down lantaran pria yang dicintainya justru bertunangan dengan orang lain.

Meski Irish selalu mengatakan kalau dirinya baik-baik saja, tentu Neiva tak semudah itu percaya. Mengalami situasi yang sama pasti membuat Irish terpukul. Dua kali. Sudah dua kali Hazel mencampakkan Irish, dan perasaan perempuan itu masih sama. Cintanya kepada Hazel belum hilang atau bahkan bergeser sedikit pun. Harapan yang Irish simpan untuk Hazel, harus kandas begitu saja.

Luka dan duka yang dirasakan Irish, membuatnya menjadi pribadi yang sangat tertutup. Konsentrasinya berkurang, dan tidak memiliki semangat hidup. Neiva seperti melihat Irish tiga tahun lalu.

"Rish, aku nggak mau menghakimi kamu, dan aku juga nggak akan mengajari kamu seolah-olah aku paling tahu segala hal.Tapi, Rish. Ini udah sebulan berlalu. Kamu masih mau hidup kayak gini terus?" tanya Neiva. Jujur saja, dia sangat prihatin dengan keadaan Irish. Apa yang lebih sakit daripada terlihat baik-baik saja padahal hati sudah porak-poranda? Perempuan itu memang tidak melamun maupun memiliki niatan untuk bunuh diri, tapi Irish melampiaskannya dengan makan dan hidup berantakan, tanpa mau berbagi cerita kepada Neiva atau Mauve.

Mauve sendiri, benar-benar khawatir dengan Irish. Beberapa kali, Mauve bahkan menginap di rumah ini dan tidur bersama Irish, berharap perempuan itu mau sedikit saja berkeluh kesah mengenai perasaannya. Namun, nihil. Mauve harus menelan kecewa lantaran Irish yang tetap bungkam.

Sian sempat bercerita kalau Hazel sudah berhenti dari pekerjaannya untuk melangsungkan pertunangannya dengan Ayana di Singapura. Tentu Neiva langsung menyimpulkan kalau pria itu tak akan pernah kembali. Hidup Hazel pasti akan dihabiskan di negara tetangga tersebut, meninggalkan Irish yang lagi-lagi harus mengobati lukanya sendirian.

"Aku boleh take my time, kan, Nei? Sebentar aja. Aku ... perlu waktu sendiri." Ketika manik Irish menatapnya, Neiva ingin menangis saat itu juga. Lingkaran di bawah mata Irish seakan-akan menandakan kalau perempuan itu tak memiliki waktu tidur yang cukup.

Astaga ... rasanya Neiva ingin sekali mencari Hazel lalu memukul wajah pria itu lantaran sudah menyebabkan sahabatnya patah hati.

"Kamu harus bangkit, Rish. Kamu nggak boleh kayak gini. Dia enak-enakan di luar sana dengan perempuan lain, sementara kamu di sini menderita."

Irish menarik napas panjang lalu menunduk sebentar, menatap camilannya yang tersisa setengah. Ini adalah salah satu pengalihan bagi Irish, barangkali dengan makan dia bisa melupakan Hazel. Namun, ternyata dia salah. Justru kenangan bersama dengan Hazel, semakin membayanginya. Tiap kali dia ingin lupa dengan pria itu, maka wajah Hazel pasti akan muncul, membuat hati Irish semakin sakit.

Sebulan dari ucapan perpisahan yang dilayangkan Irish, dan dia masih belum bisa move on. Kontribusi Hazel di hidupnya membuat Irish sulit untuk menghilangkan bayang-bayang pria itu dari pikirannya. Bahkan, ponsel yang Hazel berikan, tak dipakai lagi, diletakkan di dalam lemarinya. Dia tidak ingin memakai apa pun pemberian dari Hazel.

Irish ... ingin melanjutkan hidupnya. Namun, tentu dia masih perlu waktu. Tak semudah itu untuk melangkah maju di saat pikiran stuck di masa lalu. Dan, dia juga sudah cukup lelah untuk menangis. Rasanya, air mata Irish sudah habis hanya untuk menangisi pria yang entah sedang apa sekarang.

"Aku nggak tahu Nei. Aku bakal bangkit, tapi aku pengin habisin waktu sendiri dulu. Kamu nggak usah khawatir, aku pasti bakal kembali. Tapi, aku perlu waktu. Bilang dengan Mauve kalau aku nggak bakal kenapa-napa."

Neiva langsung memeluk Irish. Tangannya mengelus punggung perempuan itu, berulang kali, memberi kekuatan. "Semua bakal baik-baik aja, Rish. Kamu punya aku dan Mauve. Kami nggak bakal ninggalin kamu."

Irish tersenyum miris di balik punggung Neiva. "Makasih, Nei. Makasih."

***

Bali, 27 November 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top