47. Rumah Sementara
Kalau kamu adalah rumah seseorang, sejauh manapun dia berkelana sepanjang hari, dia pasti akan kembali.
***
Dengan motor kesayangannya, Glenn mengajak Irish berkeliling kota Jakarta. Dari balik punggungnya, dia masih mendengar isakan perempuan itu yang samar-samar karena tertutupi angin. Glenn tak bertanya, hanya membiarkan Irish meluapkan kesedihannya. Entah apa yang sebenarnya terjadi, tapi pasti hal itu sudah membuat Irish sakit hati. Dia tak pernah melihat Irish begini, terakhir kali saat Irish patah hati.
Glenn langsung tersadar. Jangan-jangan, alasan yang sekarang pun sama; patah hati. Barangkali kekasih Irish sudah menyakiti perempuan itu.
Tanpa sadar, Glenn mencengkeram stang motornya kuat-kuat. Dia tak akan rela kalau perempuan yang dia sukai, disakiti oleh orang lain. Dia melirik Irish dari spion. Isakan perempuan itu sudah berhenti, tapi tatapannya tampak kosong, memperhatikan lalu-lalang kendaraan.
"Rish, kamu mau ke mana?" tanya Glenn, menepis keheningan.
Irish mengerjap, dia menatap Glenn dari spion. "Oh? Eng ... sebenarnya aku juga nggak tahu mau ke mana. Kamu ada rekomendasi?"
Glenn berpikir sejenak, sebelum akhirnya bertanya lagi, "Gimana kalau ke pasar malam aja? Kamu bebas mau beli apa aja di sana."
Irish mengangguk. "Boleh."
Glenn mengendarai motornya menuju pasar malam yang berjarak tak jauh dari tempat mereka berkeliling. Di sana, sudah banyak pedagang dan beberapa wahana yang siap dinaiki oleh pengunjung. Begitu Glenn memarkirkan motornya, mereka turun dan mulai menyusuri pasar malam yang cukup ramai. Semakin malam, biasanya akan semakin ramai pengunjung.
"Kamu udah pernah nyoba cilok yang ada di sini? Kalau belum, cobain, deh. Aku jamin kamu bakal ketagihan." Glenn menunjuk salah satu pedagang cilok langganannya. Dia memang sering ke sini untuk membeli jajanan pasar atau sekadar berjalan-jalan. Biasanya, dia kemari bersama keponakan atau sepupunya. Sebagai seorang anak bungsu dengan kakak perempuan yang sudah memiliki sulung lainnya, dia berkewajiban untuk menjadi om sekaligus babysitter di saat luang maupun sewaktu kakaknya sibuk berpacaran dengan sang suami.
Semula, Glenn memang sedikit kerepotan, terlebih dia tidak punya pengalaman dalam menjaga anak, tapi lambat-laun dia mulai terbiasa. Bahkan, keponakannya jauh lebih lengket dengannya daripada ibunya sendiri. Katanya dia lebih royal dibanding sang kakak.
Ya, mau bagaimana lagi. Prinsip Glenn adalah; selagi mau diam, dia akan belikan apa pun yang keponakannya inginkan—tentunya secara diam-diam supaya tidak ketahuan oleh kakaknya.
"Oh, ya? Nanti, deh, bakal aku cobain."
"Wajib, sih." Glenn tersenyum, membuat Irish mau tak mau ikut menyunggingkan senyuman.
"Sekarang, kita mau ke mana dulu?" Mata Glenn meliar, mencari sesuatu yang menarik untuk Irish agar melupakan kesedihannya.
"Enaknya ke mana? Soalnya aku udah lama nggak ke sini." Karena Hazel selalu memonopoli dirinya di apartemen pria itu. Semenjak Irish kembali dengan Hazel, waktu yang dihabiskan Irish kebanyakan untuk Hazel. Pria itu selalu ingin berada di sisinya terus-menerus, yang terkadang membuat Irish kewalahan.
Namun, kini. Sepertinya hal itu tak akan terjadi lagi. Hazel sudah menemukan rumah barunya. Jadi, dia tahu ke mana harus pulang. Irish hanya persinggahan sementara, yang akan ditinggalkan sewaktu-waktu, seperti sekarang.
Melihat kesedihan kembali menghampiri Irish, Glenn langsung putar otak. Perempuan itu pasti mengingat kekasihnya lagi.
"Duduk di situ aja." Glenn menarik tangan Irish lembut, menggiringnya menuju salah satu bangku yang kosong di antara permainan anak-anak.
"Tunggu di sini. Aku bakal beliin kamu sesuatu." Glenn meminta Irish untuk duduk, yang dituruti perempuan itu tanpa protes. Kemudian, Glenn pergi, menerobos kerumunan, sebelum hilang di antara orang-orang. Entah apa yang akan pria itu berikan kepadanya, Irish tak tahu.
Hanya saja, dia bersyukur dengan kehadiran Glenn. Pria itu ... muncul di saat dia membutuhkan seseorang. Alih-alih, Hazel—pria yang sangat dia inginkan—Glenn justru datang seperti titik cahaya yang menariknya keluar dari kegelapan.
Irish tak bisa membayangkan kalau Glenn tidak datang. Mungkin Irish sudah seperti orang linglung yang kehilangan arah. Dia tak ingin Neiva maupun Mauve khawatir. Sudah cukup banyak dia merepotkan kedua sahabatnya itu. Semestinya dia membalas kebaikan mereka, bukannya malah semakin membebani keduanya.
"Tada! Surprise!"
Irish dikejutkan dengan kemunculan Glenn yang menutupi wajahnya dengan gula kapas berwarna pink yang dibentuk persis seperti anak beruang. Irish tertawa ketika wajah Glenn mengintip dari balik gula kapas tersebut.
"Ngapain, sih, kamu Glenn? Nggak jelas banget." Irish menerima gula kapas tersebut dengan senang hati. Dia sering melihat anak-anak membawanya bersama orang tua mereka, tapi dia belum pernah mendapatkannya secara langsung.
"Beruang itu mirip kamu, Rish," celetuk Glenn seraya duduk di samping Irish.
"Ih, maksudnya gimana?" Irish langsung menepuk pundak Glenn. Bisa-bisanya pria itu membandingkannya dengan beruang.
"Anak beruang dan kamu, sama-sama lucu. Tapi kalau udah besar, berubah jadi garang."
"Rese banget, sih, Glenn!" Meski begitu, Irish terbahak mendengar perbandingan yang dikatakan Glenn.
"Gih, coba makan." Glenn membantu Irish membuka plastik gula kapas tersebut.
"Tapi nggak tega, Glenn. Bentuknya lucu gini. Pengin aku bawa pulang aja, terus aku simpen." Irish benar-benar tak tega kalau harus memakan gula kapas selucu ini. Apalagi, dia memikirkan si penjual yang pastinya sudah susah payah membentuknya sedemikian rupa.
"Sekalian aja dilaminating, Rish. Terus kamu abadiin di museum." Glenn tertawa saat Irish melotot kepadanya. "Kalau kamu simpen, nanti gula kapasnya kempis. Malah lebih kasihan, kan, kalau dia penyok."
Irish menghela napas, walaupun benaknya setuju dengan Glenn. Dia akhirnya membiarkan pria itu membuka plastik gula kapas lalu mulai mencuilnya dia bagian telinga.
"Katanya, makan makanan yang manis, bisa bikin suasana hati membaik."
Irish tengah memasukkan gula kapas ketika Glenn berbicara. Pria itu menatap Irish sekilas sambil tersenyum tipis.
"Aku nggak tahu alasan kenapa kamu sampai nangis begitu di taman tadi. Aku juga nggak bakal maksa kamu untuk cerita. Tapi, Rish. Ada kalanya, kita bakal diberi kesedihan sebelum akhirnya kita dicukupi oleh kebahagiaan. Tujuannya adalah supaya kita sadar, kalau dua hal itu memang harus berjalan seimbang." Glenn memusatkan perhatiannya ke depan, kepada anak-anak yang bermain wahana komedi putar.
Irish menunduk, mencomot gula kapasnya sedikit demi sedikit lalu dimasukkan ke dalam mulut. Dia paham maksud Glenn. Belakangan ini, mungkin dia terlalu bahagia hingga lupa kalau kesedihan itu pasti ada. Dia terlalu tamak, menginginkan kehidupan seperti negeri dongeng bersama Hazel, hingga tanpa dia sadari kalau di dunia ini tak ada yang sempurna. Kisahnya dan Hazel, hanya salah satu kisah yang tak akan bisa menyentuh happily ever after.
Irish terlalu percaya diri, sampai lupa kalau Tuhan bisa saja mengambil kebahagiaannya dalam sekejap mata.
"Aku nggak lagi menghakimi kamu, Rish. Enggak sama sekali. Tapi ... saat kamu terlalu bahagia, kamu akan lupa dengan banyak hal. Dan, mungkin ini cara Tuhan untuk mengembalikan kamu."
Irish bergeming, seakan-akan meresapi tiap kata yang diucapkan Glenn. Mungkin Glenn benar. Karena terlalu bahagia, dia sampai lupa dengan peringatan Neiva yang mungkin masih ragu dengan hubungannya dan Hazel.
Namun, kalau memang mereka pada akhirnya tak akan pernah bisa bersama, kenapa takdir mempertemukan mereka lagi? Seharusnya biarkan saja, mereka hidup masing-masing. Biarkan Irish dengan perjuangannya yang ingin move on dari Hazel. Biarkan pula Hazel dengan pilihan orang tuanya yang pasti lambat-laun akan membuatnya bahagia setelah mulai menerima.
"Maaf, Rish. Kalau kata-kata aku terlalu kasar—"
"Aku cinta dengan Hazel, Glenn." Irish mengangkat kepalanya, demi menatap Glenn yang seketika menoleh. Irish membasahi bibirnya yang terasa kering.
"Mungkin cinta aku ke Hazel yang bikin aku buta, sampai-sampai lupa kalau masih ada Tuhan yang menentukan semua takdir tiap-tiap manusia." Tangan Irish mengerat pada pegangan gula kapas. Dia masih tak percaya kalau hubungannya dengan Hazel harus kandas secepat ini. Dia masih berharap ini mimpi, dan ketika dia terbangun, semuanya masih baik-baik saja.
"Katakan aku bodoh karena menerima Hazel lagi, tapi Glenn. Cinta nggak bisa dipaksa. Mau sejauh manapun aku pergi, kalau rumah aku adalah Hazel, aku bisa apa?"
"Tapi, apa Hazel menganggap kamu juga sebagai rumahnya?"
Pertanyaan jebakan. Irish tentu tak bisa menjawab pertanyaan Glenn. Apa dia juga merupakan rumah bagi Hazel?
Karena kalau Hazel menganggapnya sebagai rumah, Hazel pasti akan kembali. Namun, kenyataannya, Hazel bagaikan pasir. Irish menggenggam Hazel terlalu erat, yang justru membuat pria itu terlepas.
"Rish, kalau kamu adalah rumah Hazel, dia pasti akan kembali, bagaimanapun caranya. Dia pasti akan pulang, setelah berkelana sepanjang hari. Tapi kalau kamu bukan rumahnya, jangan disesali berlarut-larut, karena kamu akan tenggelam di dalam kesedihan itu."
Glenn berkata demikian bukan semata-mata karena dia menyukai Irish dan ingin perempuan itu mengakhiri hubungannya dengan Hazel. Namun, pria mana yang tak sakit hati melihat perempuan yang dia cintai bersedih? Glenn ingin Irish menyunggingkan senyuman manis dan tawa bahagia, bukan luka.
Glenn akan melakukan apa pun, supaya Irish bahagia.
"Terus, aku harus apa, Glenn? Aku bingung."
Glenn menarik napasnya panjang, lalu dikeluarkan secara perlahan. Dia merentangkan tangan, menawarkan sebuah pelukan kepada Irish, yang tanpa pikir panjang langsung disambut oleh perempuan itu.
Glenn mengelus punggung Irish lembut. Dia berbisik tepat di telinga Irish. "Nggak ada yang perlu kamu lakuin, Rish. Ini adalah rencana takdir. Biarkan semuanya terlewati sesuai apa yang sudah ditetapkan dari awal."
***
Bali, 27 November 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top