46. Konflik Batin

Orang baru yang datang ke kehidupanmu dengan membawa bahagia, atau orang lama yang singgah di hati tapi hanya membawa luka. Mana yang akan kamu pilih?

***

Ini tidak seperti yang Hazel harapkan. Rencana awal untuk bersanding dengan Irish lenyap sudah tatkala perintah mutlak dari ayahnya, diwujudkan; menikah dengan Ayana. Sebelum itu, dia akan melangsungkan pertunangan dengan Ayana dalam rentang waktu kurang-lebih seminggu lagi. Hazel terkejut luar biasa. Dia bahkan tak mampu berkutik saat titah tersebut dilayangkan. Meski dia menolak sekalipun, ayahnya yang sangat keras kepala, pasti tak akan pernah menarik kata-katanya.

Ya, ayahnya sudah siuman, yang berarti, Hazel sudah tak punya kesempatan lagi untuk mendebat pria itu. Selain untuk tetap menjaga kondisi kesehatan ayahnya yang belum seratus persen pulih, tapi juga karena permintaan ibunya supaya Hazel tidak merusak hubungan ayah dan anak yang sudah terjalin jauh sebelum Hazel mengenal Irish. Hazel bisa apa kalau sang ibu sudah ikut turun tangan? Dia tidak bisa melihat bidadarinya bersedih karenanya.

Maka, dengan berat hati, Hazel mengikuti alur yang sudah ditetapkan oleh ayahnya, dengan risiko hubungannya dan Irish akan berakhir. Hanya saja, Hazel masih belum punya keberanian untuk menemui Irish. Dia seperti seorang pengecut yang justru meminta bantuan Sian untuk mengawasi Irish—pria itu sudah mengetahui permasalahan di antara mereka. Terlebih, dia tak ingin keselamatan Irish terancam lantaran orang suruhan ayahnya selalu mengawasi Hazel. Jadi, untuk sementara Hazel memilih untuk absen dari kantor.

"Zel, menurut kamu, cincin mana yang cocok untuk pertunangan kita?" Sebuah tangan yang melingkari lengannya membuat Hazel seketika menoleh. Ayana tengah menatapnya dengan mata berbinar-binar, persis seperti insan yang sedang jatuh cinta. Mereka kini berada di toko perhiasan langganan ibu Hazel untuk memilih cincin pertunangan. Acara yang dilaksanakan dalam waktu singkat itu membuat Hazel kelimpungan. Bukan hanya dia saja, tapi pihak keluarga maupun orang yang mengurusi acara mereka.

Hazel sudah meminta ayahnya untuk memperpanjang waktu pertunangannya dengan Ayana, tapi lagi-lagi sang ayah menolak dengan alasan kalau umur tak akan ada yang tahu. Pria itu ingin melihat Hazel menikah sebelum Tuhan mengambil nyawanya. Padahal, Hazel tahu kalau itu hanya alibi ayahnya. Memang, umur tak ada yang tahu, tapi ucapan ayahnya terkesan seperti orang yang sudah putus asa, dan Hazel tidak setuju. Selagi mereka mampu berusaha, mereka pasti menemukan jalan keluarnya.

"Terserah kamu." Hazel melengos, kembali memusatkan perhatiannya kepada etalase yang berisi berbagai macam jenis perhiasan, hingga tatapannya berhenti pada sebuah kalung bertahtakan berlian yang berhasil menarik perhatiannya. Bandul kalung tersebut berbentuk bulat kecil dengan akar yang berada di sekitarnya. Simpel, tapi indah. Seketika, Hazel teringat dengan Irish. Kalau saja hubungan mereka tak serumit ini, sudah dipastikan kalau kalung tersebut akan melingkari leher jenjang Irish.

Maafin aku, Rish. Maaf.

"Kenapa kamu gitu, sih? Ini, kan, acara pertunangan kita, Zel. Jadi, aku butuh pendapat kamu sebagai calon aku."

Hazel menghela napas. Sungguh, dia tak pernah membenci orang sebelumnya. Namun, sikap Ayana yang seolah-olah tak merasa bersalah membuat Hazel membenci perempuan itu. Dia kira ucapannya saat di taman belakang tempo lalu mampu membuka pikiran Ayana. Ternyata tidak sama sekali. Ayana dan obsesinya untuk memilik Hazel masih berkobar layaknya api di neraka.

"Na, kamu bisa pilih cincin yang kamu pengin, lalu kita bisa pergi. Aku udah capek." Hazel tak mengada-ngada. Berkeliling selama hampir satu jam di mall untuk menemani Ayana belanja, cukup menguras tenaga Hazel. Dia ingin segera bebas dari Ayana agar bisa mengetahui kondisi terkini Irish. Karena sibuk menemani Ayana, dia sampai lupa mengirim pesan kepada Sian.

Bibir Ayana mengerucut. "Kamu kenapa, sih, Zel? Badmood terus kalau udah bareng aku, beda banget waktu bareng Irish." Ayana melepas rangkulannya di lengan Hazel. "Dengar, ya, Zel. Walaupun kamu cinta banget dengan Irish, tapi papa kamu milih aku untuk jadi pendamping kamu. Jadi, aku jauh lebih unggul dari Irish."

Hazel mendengkus kasar. "Serius kamu bilang kayak gini, Na? Kamu merasa menang dari Irish padahal kamu nggak ada apa-apanya dibanding dia. Mungkin kamu benar, kalau papa aku mendukung kamu, seratus persen. Tapi yang harus kamu ingat adalah, kamu cuma miliki raga aku, tapi bukan hati aku. Apa yang lebih menyakitkan dari definisi ada, tapi nggak dianggap?"

Mendengarnya, tangan Ayana spontan mengepal. Kata-kata Hazel benar-benar melukai hatinya. Belum pernah ada pria yang berani berkata demikian kepadanya. Namun, tentu Ayana tak akan menyerah begitu saja. Dia sudah sampai sejauh ini, jadi tak ada alasan baginya untuk mundur.

"Kamu terlalu percaya diri kalau hati kamu tetap bakal utuh untuk Irish. Aku yakin, kamu bakal berpaling ke aku dan lupain Irish. Aku janji, Zel. Ini sumpah aku." Melihat keyakinan di dalam mata Ayana, tak lantas membuat Hazel gentar. Dia mengangguk lalu berucap, "Buktiin kalau memang bisa."

***


Irish sudah kehilangan harapan. Rentetan informasi yang terlontar dari mulut satpam perumahan orang tua Hazel masih terngiang di kepala Irish layaknya kaset rusak. Hazel dan Ayana akan melangsungkan pertunangan? Jadi, pria itu berbohong mengenai dirinya yang akan mempertahankan hubungan mereka bagaimanapun caranya? Kalau memang pada akhirnya mereka akan berakhir begitu saja, kenapa Hazel seolah-olah memberinya harapan? Kenapa Hazel seolah-olah memberinya ekspektasi mengenai kehidupan yang bahagia seperti orang-orang di luar sana?

Dan, kenapa Irish dengan bodohnya menunggu Hazel yang pastinya tak akan pernah berbalik lagi kepadanya. Hazel sudah pergi, meninggalkan dia yang terperosok sendirian. Hazel memilih untuk menggenggam tangan perempuan lain daripada mengeratkan genggaman mereka. Hazel memilih untuk menemani langkah perempuan lain daripada menyamai langkah mereka.

Apa yang lebih jahat dari itu?
Irish terus bertanya-tanya. Apakah dia melakukan kesalahan hingga Hazel tak ingin lagi bersamanya?

Irish terpejam, membiarkan air matanya mengalir semakin lama semakin deras. Dadanya sesak sekali, seperti dihantam palu berton-ton. Bukan ini maksudnya, Tuhan. Dia sudah cukup tersiksa, tapi kenapa Tuhan semakin menambah siksaannya? Dia pernah berdoa supaya dia dan Hazel terus bersama-sama, tapi kenyataannya, Irish justru berjalan seorang diri. Menapaki jalan penuh berduri tanpa Hazel. Lalu, dia harus bagaimana? Cintanya kepada Hazel sudah terlalu penuh, sampai-sampai dia bingung cara untuk melepaskannya.

"Sakit banget! To ... long, ini bener-bener sakit." Irish menepuk dadanya berulang kali, mencoba untuk meredakan kesesakannya.

"Irish? Itu kamu?"

Irish seketika mendongak. Dia mengernyit tatkala pandangannya memburam karena air mata. "Si-siapa?"

"Astaga! Kamu ngapain di sini?" Orang itu hendak membantu Irish bangkit, tapi ditolak oleh si empunya.

"Si-siapa?"

"Ini aku, Glenn. Kamu ngapain di sini?"

Irish mengerjap sambil mengucek matanya, memastikan penglihatannya terlebih dahulu. Ternyata benar. Orang itu adalah Glenn. Tanpa pikir panjang, Irish bangkit dari posisi jongkoknya lalu menghambur ke pelukan Glenn yang langsung tercenung di tempat. Belum sempat Glenn bertanya, suara tangisan kembali terdengar. Bedanya, kali ini lebih lepas, diiringi isakan yang menyayat hati. Glenn bingung, sungguh. Bagaimana tidak, dia baru saja pulang bekerja ketika tak sengaja melihat seseorang yang tengah berjongkok di taman kota.

Semula, Glenn hendak melewatinya begitu saja, tapi semakin diperhatikan, postur orang itu tampak tak asing bagi Glenn, membuatnya berhenti dan mendekat orang itu. Benar saja, orang yang sedang menangis sendirian itu adalah Irish, perempuan yang diam-diam dia sukai.

Glenn tak tahu apa yang menjadi penyebab tangisan Irish. Namun, dia ikut sakit hati mendengar tangisan itu, seolah-olah dia juga merasakannya. Alhasil, Glenn membalas pelukan Irish, mengelus punggungnya berulang kali. Biarkan seperti ini sebentar saja. Tidak, dia tidak sedang mencari kesempatan dalam kesempitan, tapi dia membiarkan Irish menyelesaikan tangisannya. Supaya perempuan itu puas.

Berangsur-angsur, tangis Irish berhenti. Hanya sesegukan yang tersisa. Irish melepas pelukannya di tubuh Glenn. "Maaf, Glenn."

"Apa?"

"Baju kamu ... basah."

Glenn mengikuti arah maksud Irish. Alisnya terangkat melihat sisi kanan di bajunya sudah basah dengan air mata Irish. Dia tertawa. "Santai aja, Rish. Nanti juga kering sendiri." Tatapan Glenn menelisik Irish yang tampak ... berantakan?

"Kamu kenapa? Ada yang nyakitin kamu?"

Pertanyaan Glenn kembali membawa Irish ke dalam ingatan yang menyakitkan. Dia berusaha tersenyum, meski justru terlihat dipaksakan. "Bukan apa-apa, kok."

"Serius? Tapi kenapa kamu..." Glenn terdiam sebentar, lalu mengangguk pelan. "Oke."

Giliran Irish yang bingung. "Kamu nggak tanya alasannya?"

Glenn tersenyum sambil menggeleng. "Enggak. Itu privasi kamu. Kalau kamu pengin cerita, kamu pasti cerita. Aku nggak bakal maksa."

Jawaban Glenn perlahan menimbulkan senyuman tipis di bibir Irish. "Makasih, ya, Glenn." Setidaknya, Irish tidak perlu lagi mengulang-ulang penyebab rasa sakitnya.

"Kamu mau pulang, Rish?" tanya Glenn. Tangannya terangkat, menyingkirkan anak-anak rambut Irish yang menutupi mata perempuan itu. "Maaf, ya."

"Penginnya, sih, gitu. Tapi kalau Neiva lihat penampilan aku, dia pasti panik. Jadi..."

"Mau keliling dulu?" tebak Glenn, yang langsung diangguki Irish. Spontan, Glenn tertawa sebelum mengangguk. Dia mengajak Irish menuju motor vespanya yang terparkir tak jauh dari posisi mereka. Baiklah, meski dia cukup lelah karena bekerja, tapi dia akan membawa Irish berkeliling untuk meredakan kesedihannya.

***

Bali, 27 November 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top