45. Fakta Mengejutkan

Rasanya gila. Bukankah kamu yang memintaku untuk kembali? Lalu, kenapa kamu justru berlari?

***

Kacang Gila : Zel, kamu nggak kerja?


Irish menatap pesan yang dia kirim untuk Hazel beberapa saat lalu, yang hingga kini masih belum juga mendapatkan balasan. Tak dipungkiri, Irish khawatir dengan pria itu. Dari kemarin, Hazel sulit sekali dihubungi. Tak seperti biasanya yang selalu berkomunikasi, Hazel mendadak menghilang tanpa adanya kejelasan. Bahkan, hari ini Hazel tak bekerja, tanpa memberitahu Irish lebih dahulu. 

Sebenarnya, apa yang terjadi kepada Hazel? 

Pikiran-pikiran Irish seketika dipenuhi asumsi buruk. Apa Hazel akan meninggalkannya lagi? Mengingat dulu Hazel juga tiba-tiba tak ada kabar begini. Kalau iya, lalu bagaimana dengan kata-kata manis Hazel yang berjanji untuk selalu bersamanya? Bagaimana dengan cincin pemberian pria itu yang masih melingkar manis di jarinya? Bukankah setidaknya Hazel harus memberi kepastian terhadap hubungan mereka ke depannya? 

Kalau Hazel pergi, cincin tersebut harus Irish apakan? Irish harus percaya dengan pria mana lagi kalau separuh hatinya dibawa serta oleh Hazel? 

"Rish, mungkin Pak Hazel memang lagi ada urusan," ucap Jasmine, berusaha supaya Irish bisa lebih tenang. Dia menatap perempuan itu prihatin, seolah-olah ikut merasakan kekhawatiran yang dialami Irish. 

Jasmine juga bingung alasan Hazel meliburkan diri. Atasannya itu hanya mengatakan kalau sedang ada urusan, tanpa menjelaskan lebih lanjut. Jasmine juga segan untuk bertanya di luar ranah pribadinya. 

Irish mengembuskan napas panjang. "Biasanya dia selalu bilang apa pun ke aku, Mbak. Katanya supaya aku nggak khawatir. Tapi sekarang apa? Dia bikin aku kelimpungan." 

"Udah coba ke apartemen Pak Hazel?" tanya Jasmine, yang dibalas anggukan oleh Irish.
Itu adalah opsi pertama yang Irish lakukan setelah Hazel tak berkabar. Namun, dia tidak menemukan si pemiliknya. Apartemen Hazel kosong. Kata satpam maupun resepsionis, Hazel memang tidak pulang dari kemarin, yang menambah kecemasan di benak Irish. 

"Aku khawatir banget dengan Pak Hazel, Mbak." Irish menelungkupkan wajahnya di antara lengan yang berada di atas meja sekretaris. Di kantor, dia memang masih menggunakan embel-embel panggilan 'Pak', meski itu di depan Jasmine sekalipun. 

"Berdoa aja supaya Pak Hazel baik-baik aja di luar sana." Jasmine mengelus pundak Irish.
Perempuan itu hanya diam. Mengira-ngira keberadaan Hazel yang persis seperti hantu. Tiba-tiba, pikirannya langsung tertuju pada rumah orang tua Hazel beserta ucapan ayah Hazel saat di pesta pernikahan Alam. 

Hazel tidak benar-benar menuruti keinginan ayahnya, kan? Pria itu pasti akan memperjuangkan hubungan mereka. Hazel mencintainya, dan setelah apa yang sudah mereka lalui, Hazel tak mungkin segampang itu mengambil keputusan sepihak. Namun, kalau memang benar Hazel melakukannya...

Buru-buru Irish mengangkat kepalanya, lalu mencari nomor Hazel di ponselnya. Begitu dapat, dia langsung menekan tombol panggil. 

"Please, angkat Zel. Ini aku. Angkat dan bilang kalau tebakan aku salah." Irish bermonolog. Dia menggigit bibir bawahnya, menunggu Hazel. Dering pertama, tak diangkat. Dering kedua pun sama. Irish berdecak saat suara operator lah yang menjawabnya. 

Irish kembali mencobanya, tapi nihil. Lagi-lagi hanya suara operator yang menjawab. 

"Mungkin Pak Hazel lagi sibuk, Rish." Jasmine kasihan melihat kefrustrasian Irish. 

"Mbak, tahu rumah orang tua Pak Hazel, nggak?" 

Alis Jasmine berkerut samar. "Rumah orang tua Pak Hazel? Hm ... tahu, sih, tapi—"

"Di mana, Mbak?" tanya Irish, tak sabaran. 

"Perumahan Indah Sari, setahu aku." 

"Oke. Makasih, Mbak. Aku mau keluar sebentar, ya?" Irish bangkit. Sambil memasukkan ponsel ke tas selempangnya, Irish melenggang pergi. Ketika perjalanan menuju lift, dia tak sengaja bertemu dengan Sian yang kebetulan tengah berjalan sendirian. 

"Sian!" 

Yang dipanggil, sontak menoleh. Alisnya berkerut melihat Irish sebelum kegugupan melandanya. 

"Hai, Rish?" 

"Yan. Kamu tahu di mana Hazel?" tanya Irish tanpa basa-basi. 

"Hazel? Bukannya kamu pacarnya, ya? Seharusnya kamu yang lebih tahu, kan, Rish?" Sian malah balik bertanya. 

"Kalau aku tahu, aku nggak bakal tanya ke kamu, Yan." Irish sudah bingung harus bagaimana lagi untuk mendapatkan informasi tentang Hazel. Jadi, sebelum dia ke rumah pria itu, dia lebih baik bertanya lebih dulu kepada Sian. Barangkali pria itu tahu. 

"Aku juga nggak tahu. Dia nggak bilang apa-apa." 

Bukan jawaban itu yang ingin Irish dengar, tapi mau bagaimana lagi. Mungkin memang Sian juga tidak diberitahu apa pun. Jadi, harapan satu-satunya adalah ke rumah orang tua Hazel.
Mengucapkan terima kasih terlebih dahulu, Irish masuk ke lift menuju lobi. Dia memilih menggunakan taksi supaya lebih cepat daripada harus menunggu ojek online. Beruntung, saat Irish sudah keluar dari kantor, ada taksi yang lewat hingga dia bisa menghentikannya. 

"Ke Perumahan Indah Sari, ya, Pak." 

Di dalam taksi, Irish lagi-lagi mencoba menghubungi Hazel, berharap kali ini dia mendapat balasan. Namun, kalau tadinya ponsel Hazel masih aktif, kini ponsel pria itu justru nonaktif. Tidak tersambung. 

Irish bersandar di punggung kursi penumpang. Serius, dia bingung sekali dengan Hazel. Pria itu tak pernah bercerita apa pun mengenai dirinya, sama sekali tidak. Sangat jauh berbeda dengan Irish yang selalu terbuka. 

Irish merasa ... Hazel belum percaya padanya. Mungkin Hazel berpikir kalau Irish bukanlah teman cerita yang baik. Namun, kenapa Hazel justru memilihnya untuk menjadi pasangan? Maksud Irish, kalau pada akhirnya kepercayaan itu tidak ada, bukankah lebih baik Hazel mencari perempuan lain yang dirasa mampu menyeimbanginya? 

"Jangan gini, Zel. Kamu selalu bikin aku khawatir, tahu?" Irish terpejam tatkala pening mulai menyerang kepalanya. Dia memutuskan untuk menghadap ke samping, menatap lalu-lalang kendaraan yang cukup padat. Siapa tahu, salah satu dari mereka adalah Hazel. 

Sekitar tiga puluh menit, akhirnya Irish sampai di Perumahan Indah Sari. Hanya saja, dia dihadang oleh satpam yang berjaga di depan gerbang. Wajar saja, karena dia bukan salah satu penghuni perumahan dan baru kali ini berkunjung ke sana. Satpam pasti tidak akan mempersilakannya secara cuma-cuma.

"Saya temannya Hazel, Pak. Anak dari salah satu penghuni di sini. Bapak kenal Hazel Jenggala, kan?" 

"Iya, saya tahu Mas Hazel. Tapi walaupun Mbaknya kenal dengan Mas Hazel, bukan berarti saya mengizinkan Mbaknya masuk. Setidaknya, harus ada bukti. Coba Mbaknya telepon Mas Hazel dulu." 

Irish berdecak. Bagaimana dia bisa menelepon Hazel kalau pria itu menghilang bagai ditelan bumi? Irish kemari, kan, karena Hazel tidak ada kabar. 

"Beneran nggak bisa, ya, Pak?" 

Satpam itu menggeleng. "Maaf, Mbak. Nggak bisa. Saya cuma menjalankan perintah aja." 

Irish menghela napas, lelah. Dia melirik sekeliling perumahan yang tampak sepi. Jujur saja, dia takjub dengan bagaimana megahnya rumah-rumah di sana. Benar-benar menggambarkan perumahan kelas menengah ke atas. 

"Ehm, Pak. Tapi, Hazel-nya ada di sini, kan? Tinggal di sini maksud saya." Irish pikir, kalaupun dia tidak diperbolehkan untuk masuk, dia bisa mengorek informasi melalui si satpam. 

"Ya, iya lah Mbak. Kan, rumah orang tuanya di sini." 

Jawaban si satpam membuat Irish memutar bola matanya. Dia mengibaskan tangan. "Maksudnya, sekarang dia tinggal di sini? Sebelum-sebelumnya, kan, dia tinggal di apartemen."

Satpam itu tak langsung menyahut, melainkan menyipitkan mata ke arah Irish. "Sebenarnya, Mbak ini siapanya Mas Hazel? Kepo banget dengan beliau." 

"Jawab dulu, Pak. Sekarang Hazel udah pindah ke sini?" 

Satpam itu mengangguk. "Iya. Setahu saya, sih, begitu. Semenjak papanya masuk rumah sakit, Mas Hazel bolak-balik ke sini, Mbak." 

"Eh, eh? Gimana, Pak? Papanya Hazel masuk rumah sakit?" tanya Irish, dengan mata yang melotot sempurna. Satu fakta baru saja dia ketahui, dan itu bukan berasal dari mulut Hazel langsung. 

"Loh, Mbaknya nggak tahu? Waduh, bisa-bisa saya dimarahi." Satpam itu menepuk dahinya, merasa teledor. Padahal, sebelumnya dia sempat diwanti-wanti oleh keluarga Jenggala untuk menutupi fakta ini kalau ada yang bertanya, di luar pihak keluarga. Dan dia dengan gamblangnya memberikan informasi tertutup tersebut dengan seorang perempuan yang asal-usulnya masih abu-abu. 

Sementara Irish, masih terkejut. Apa ketidakhadiran Hazel di kantor gara-gara ini? Dia ingin merawat sang ayah yang sedang sakit, tapi kenapa Hazel seakan-akan tengah bersembunyi darinya? Kalau Irish tahu dari awal, dia tak aka sepanik ini dan memberikan Hazel waktu bersama keluarganya. Irish tak akan egois dengan menyuruh Hazel untuk terus di sisinya. Dia tahu batasan. 

"Sekarang, papa Hazel masih ada di sana, Pak?" 

"Maaf, Mbak. Bukan wewenang saya untuk berbicara mengenai ini." Satpam itu berkata dengan hati-hati, tak mau salah lagi. 

"Udah kepalang tanggung, Pak. Saya udah tahu kalau papanya Hazel masuk rumah sakit. Tapi, Bapak tenang aja. Saya bakal tutup mulut, kok. Saya juga nggak bakal samperin Hazel ke rumah sakit. Saya cuma butuh informasi dari Bapak aja, daripada saya terobos masuk, kan?" Irish bersikap seakan-akan hendak menerobos, yang langsung ditahan oleh si satpam.

"Eh, jangan Mbak." Satpam itu melotot. 

"Ya, makanya Pak. Saya tanya doang. Tinggal jawab." 

"Tanya apa? Papanya Mas Hazel masih di rumah sakit atau udah balik? Masih, Mbak. Saya nggak tahu kapan pulangnya, tapi kayaknya dalam waktu dekat kalau dilihat dari acara yang bakal berlangsung." 

Irish mengernyit mendengar penuturan satpam itu. Perasaannya tiba-tiba menjadi tidak enak. "Kalau boleh tahu, acara apa, ya, Pak?" 

"Kalau saya enggak salah, Mas Hazel bakal tunangan, Mbak. Tapi, Mbak ini siapanya Mas Hazel, ya?" 

Seperti tembakan yang mengenai hatinya, Irish terkejut luar biasa. Hazel akan melangsungkan pertunangan? Dengan siapa? Apakah ... Ayana? Tapi, kenapa Hazel tutup mulut? Inikah alasan kenapa pria itu menghilang? 

"Mbak? Mbak? Pertanyaan saya, kok, belum dijawab?" 

Irish mengerjap dua kali, lalu tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan rasa sakitnya. "Oh, enggak. Saya bukan siapa-siapanya Hazel. Cuma teman yang mungkin sebentar lagi bakal menjadi asing. Saya minta tolong dengan Bapak, jangan beritahu Hazel kalau saya pernah kemari, ya?"

***

Bali, 26 November 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top