44. Harapan Yang Semu

Bagaimana bisa, seorang penulis memberikan sequel dari cerita yang sudah berakhir tanpa cela? Tampak sangat sia-sia.

***


"Kenapa lagi? Ada masalah dengan Hazel?" 

Helaan napas meluncur dari mulut Irish mendengar pertanyaan yang ditujukan kepadanya. Sepulang dari bekerja, dia memutuskan untuk bertandang ke PinKafe milik Mauve. Sudah lama dia tidak mengunjungi tempat tersebut. Untungnya, Mauve sedang tidak begitu sibuk. Jadi, dia mempunyai teman untuk bercerita. 

Sejujurnya, tak ada masalah dengan Hazel. Hubungan mereka baik-baik saja, bahkan sangat baik. Hubungan mereka mengalami perkembangan yang cukup pesat. Dia sangat menikmati waktunya bersama pria itu. Hanya saja, entah hanya perasaan Irish saja atau bagaimana, tingkah Hazel agak mencurigakan, tepat setelah mereka datang ke acara pernikahan sepupu Hazel. Irish pikir, Hazel hanya iri dengan sepupunya yang lebih dulu menikah. Namun, Irish kembali mengingat ucapan ayah Hazel yang tak sengaja dia dengar mengenai pertunangan Ayana dan Hazel. 

Mau ditampik begitu saja, rasanya Irish tak mampu. Meski Hazel mencoba untuk meyakinkannya, tapi Irish sulit untuk langsung percaya. Tak ada yang tahu masa depan. Irish tak ingin hatinya kembali sakit untuk kedua kali karena orang yang sama. Terlebih, Hazel tiba-tiba pergi dari kantor dengan alasan urusan dadakan, tapi hingga jam pulang, pria itu belum juga kembali. 

"Cuma pengin lihat-lihat aja," ucap Irish sebelum meneguk lemontea miliknya. Neiva sedang sibuk-sibuknya mengurus salah satu perkara dan juga hubungannya dengan Badai yang masih tak ada kejelasan. Jadi, Irish tak mau membebani perempuan itu dengan masalahnya. 

"Kenapa aku nggak percaya, ya? Kamu pasti ada masalah." Mauve menepuk pundak Irish, mengelusnya perlahan. "Kalau mau curhat, kenapa nggak di rumah aja? Bisa lebih bebas." 

Irish menggeleng. Kalau dia bercerita kepada Mauve di rumah, bisa-bisa Sian mendengarnya. Dan, kemungkinan besar, Hazel mengetahuinya. Irish bukannya ingin menyembunyikan kegelisahannya dari Hazel, hanya saja dia takut hal itu akan berdampak pada kerenggangan hubungan Hazel dengan sang ayah. 

"Mau, kira-kira, kalau aku nggak mau lanjutin hubungan dengan Hazel, nggak apa-apa, kan, ya?" Pertanyaan itu keluar tiba-tiba dari mulut Irish. Dia pun agak terkejut dengan itu, tak terkecuali Mauve yang langsung memukul lengannya. 

"Sembarangan kalau ngomong! Memang kenapa, sih?" Mauve melotot, yang dibalas ringisan oleh Irish. Mauve tahu banyak mengenai sahabatnya. Irish benar-benar mencintai Hazel, tak peduli meski pria itu sudah pernah meninggalkannya. Tentu pertanyaan yang diajukan Irish membuat Mauve heran setengah mati, dan berpikir kalau hal ini pasti ada kaitannya dengan hubungan mereka. 

Irish diam, menatap cincin indah di jarinya. Selain mencintai si pemberi, Irish juga mencintai benda tersebut. Dia bahkan sangat setuju dengan Hazel yang mengatakan kalau cincin tersebut sangat cocok dipakai oleh Irish. Dia tak mau menanggalkannya. Namun, apa dia mampu bertahan di hubungan yang dari awal memang terkesan dipaksakan? Semestinya dia memang tak boleh menerima Hazel kembali. Ibarat buku, mau dibaca berapa kali pun, ending-nya tetap akan sama. Kecuali si penulis membuat sequel dari buku tersebut. 

Hanya saja, kalau titik terakhir dari paragraf di ending merupakan akhir yang sebenarnya, bukankah sequel akan tampak sia-sia? Seolah-olah, si penulis memaksakan diri untuk membuat hubungan yang lebih indah dari sebelumnya, padahal hubungan tokoh tersebut memang sudah benar-benar berakhir, tanpa cela. 

"Rish?" 

"Aku udah nggak tahu lagi harus gimana, Mau." Irish memulai. Pikirannya sudah buntu. Mau diperjuangkan bagaimana lagi, dia tetap tidak akan pernah menang. "Aku ... Ayana dan Hazel bakal tuanngan." 

Pengumuman ini belum resmi. Hazel belum tentu setuju, dan Irish tak akan pernah setuju. Namun, apa dia bisa menolak? Sementara dia bukanlah bagian dari keluarga Hazel. Dia hanyalah kekasih dari Hazel, yang bisa diputuskan kapan saja. 

"Maksud kamu?" Tubuh Mauve semakin condong ke arah Irish, penasaran. Belakangan ini, intensitas Irish untuk curhat mengenai dirinya, agak berkurang. Jadi, dia tidak tahu apa-apa mengenai ini. 

"Entah aku pernah bilang atau enggak sama kamu, tapi Ayana itu salah satu klien terbesar Hazel. Sian pasti tahu. Dan, ya. Orang kaya pasti kenal dengan orang kaya lainnya. Begitu juga dengan ayah Hazel yang kenal Ayana." Jari-jari Irish bergerak-gerak, mengalihkan diri supaya air mata yang mulai menggenang di bawah mata, tidak jatuh. 

"Ayah Hazel ingin anaknya bertunangan dengan Ayana. Hal yang mungkin aja bisa terjadi di antara mereka kalau aku nggak ada di tengah-tengah Hazel dan Ayana." Irish merasa rendah diri. Mungkin dia memang mendapatkan cinta Hazel, tapi dukungan keluarga tetap berpihak kepada Ayana. Dia sudah kalah bahkan sebelum berperang. 

"Enggak gitu, Rish. Mungkin kamu salah paham." Mauve mencoba menenangkan Irish. Perempuan itu pasti tengah kebingungan dan tidak percaya diri. Irish berpikir kalau value-nya tidak akan pernah bisa sejajar dengan milik Ayana. 

"Aku harus gimana, Mau? Aku benar-benar nggak tahu." Irish mengusap wajahnya kasar. 

"Kamu udah tanya Hazel?" 

Irish mengangguk. "Hazel bilang kalau pertunangan itu nggak akan pernah terjadi." 

"Dan kamu percaya?" 

Irish diam, tak mempunyai jawaban atas pertanyaan Mauve. 

"Rish, Kunci dari sebuah hubungan itu adalah kepercayaan. Kalau untuk yang kayak gini aja kamu masih ragu dengan Hazel, gimana kalian bisa melangkah ke hubungan selanjutnya? Aku bukannya mau mengajari kamu, tapi sebagai seorang perempuan yang udah menikah, aku tahu banget gimana rasanya saat kepercayaan itu mulai dipertanyakan. Masalah kalian, nggak akan berhenti cuma sampai di sini. Kalau kamu bisa lalui semuanya, dan tetap berada di sisi Hazel, masalah-masalah yang akan menimpa kalian di kemudian hari, pasti bakal bisa terselesaikan." Mauve menyeruput teh melatinya, lalu kembali melanjutkan ucapannya. "Begitu juga sebaliknya. Kalau kamu menyerah, gimana caranya kamu mempertahankan hubungan yang udah setengah jalan ini?"

Irish bergeming. Hanya maniknya yang melekat pada kelereng teduh milik Mauve. 

"Sekarang, coba kamu pikirin itu. Mau bertahan atau meninggalkan? Dan kalau kamu memilih bertahan, yakinkan juga alasannya. Kamu mencintai Hazel dan ingin terus bersama laki-laki itu, atau kamu cuma cinta dengan kenangannya, dan ingin mengulang kembali kisah kalian." 

Ucapan Mauve, benar-benar menancap tepat di hati Irish.

***

"Ma, saya nggak bisa!" 

"Ini demi papa kamu juga."

"Tapi apa kalian mikirin perasaan saya? Kalian pernah mikir, nggak, apa saya bakal bahagia di masa depan dengan pilihan kalian?" 

Dada Hazel kembang-kempis, menatap sang ibu yang juga tengah menatapnya. Lorong rumah sakit yang sepi menjadi saksi amarah Hazel. Dia belum pernah begini sebelumnya, bahkan tak pernah terbesit dalam otaknya untuk menyanggah ucapan perempuan yang sudah melahirkannya itu. Namun, untuk kali ini saja, biarkan dia berada pada keputusannya sendiri. 

"Zel, mama juga pengin lihat kamu bahagia, sungguh. Kebahagiaan kamu merupakan kebahagiaan mama juga. Tapi, kamu lihat sendiri bagaimana keadaan papa. Dia jauh lebih memprihatinkan daripada rasa frustrasi kamu karena menolak keinginan papa kamu." Ibu Hazel mengembuskan napas panjang. Menjadi satu-satunya penengah di antara dua pria yang sama-sama keras kepala sangat menguras energi. Di satu sisi, perempuan itu ingin anaknya bahagia dengan pilihannya, di sisi lain, ada waktu suaminya yang semakin berkurang di setiap harinya. Mereka harus berperang habis-habisan untuk mendapatkan seorang pemenang. 

"Ma, saya cinta dengan Irish. Banget. Mama tahu sendiri gimana saya berusaha untuk cepat-cepat menyelesaikan urusan saya di Singapura supaya saya bisa mencari Irish lagi. Tapi setelah kami bersama, kenapa kalian ingin memisahkan kami lagi?" Dalam balutan pakaian kerja yang belum diganti, Hazel mengacak rambutnya yang sudah berantakan. 

"Mama tahu, Nak. Mama tahu. Mama juga setuju kalau kamu dengan Irish. Perempuan itu terlihat seperti perempuan baik-baik. Tapi, apa kamu tega, melihat papa kamu yang sedang berjuang dengan penyakitnya?" 

"Setiap penyakit pasti ada obatnya. Setiap usaha, pasti ada hasilnya. Kita hanya perlu usaha yang lebih ekstra supaya papa bisa sembuh." 

"Apa kamu yakin, papa akan mau menjalani pengobatan sebelum keinginannya dikabulkan? Papa kamu itu persis seperti kamu. Keras kepala." 

Tiba-tiba, Hazel memukul tembok kuat-kuat, hingga menimbulkan bunyi yang membuat ibunya memekik tertahan. 

"Sial! Sial! Sial!" Dahi Hazel bersandar di tembok, membiarkan buku-buku jarinya memerah. Dia tak terlihat kesakitan, seakan-akan emosi sudah mengambil alih indra perasanya. 

"Zel..." Perlahan, ibunya mengambil tangan Hazel, mengelus buku-buku jarinya dengan lembut. Hati perempuan itu teriris melihat bagaimana frustrasinya sang anak. Ibu mana yang tega melihat anaknya begini? Bahkan, meski binatang buas sekali pun, pasti tak akan rela kalau anaknya kesakitan. 

"Ma, aku udah nggak tahu lagi harus gimana. Aku ... hopeless." Hazel menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca, persis seperti anak kecil yang kehabisan permen kesukaannya. Ibunya mengangguk paham lalu menarik tubuh besar Hazel ke dalam pelukannya yang menenangkan. 

"Mama tahu, Zel. Mama ngerti." 

Tanpa sadar, air mata Hazel keluar dari sudut matanya. Dia menangis di dekapan sang ibu yang selalu memberinya kehangatan dan kenyamanan. Sungguh, bagaimana bisa Hazel menjalin hubungan dengan orang yang tidak dia cintai? Dia bahkan tak sanggup kalau harus membayangkan Irish bahagia tanpanya. Dia tak akan sanggup kalau sosok yang akan menggenggam tangan Irish hingga akhir hayat bukanlah dirinya. 

"Everything will be okay, Son. I promise."

***

Bali, 26 November 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top