42. Perasaan Emosional
Kita tidak bisa memilih pada siapa kita akan menjatuhkan hati, tapi kita bisa memilih, pada siapa kita akan menghabiskan waktu hingga tua nanti.
***
Hazel menatap rumah berwarna pastel itu dengan ekspresi yang sulit diartikan. Terhitung sudah tiga puluh menit waktu yang dia habiskan hanya untuk berdiam di mobil tanpa melakukan apa pun. Kira-kira, apa yang sedang dilakukan si pemilik rumah di dalam sana? Apakah sedang memikirkannya seperti yang dilakukan Hazel?
Ingin rasanya Hazel pergi menemui Irish, tapi dia tidak ingin orang yang dicintainya khawatir. Dia tak mungkin lagi membuat Irish kecewa di tengah kemelut yang sedang Hazel hadapi. Meski hanya dengan melihat rumahnya saja sudah sedikit mengurangi emosional Hazel.
Pria itu menarik napasnya dalam-dalam, lalu dikeluarkan secara perlahan. Rasanya Hazel lelah sekali. Pemikiran kolot ayahnya benar-benar sulit untuk dia runtuhkan. Dia sudah tak sanggup lagi untuk menuruti sang ayah yang entah kapan akan berhenti merecoki kehidupannya.
Hazel menyandarkan tubuhnya ke punggung kursi kemudi. Matanya terpejam, mengingat kembali bagaimana pertengkarannya dengan sang ayah dan tangisan Ayana yang terus berputar di kepalanya seperti kaset rusak. Apakah ayahnya tidak sadar kalau keputusan sepihaknya justru membuat Ayana sakit hati? Perempuan itu sudah terlalu berharap kepadanya, yang tentunya tak akan pernah bisa Hazel wujudkan sampai kapan pun.
Bagaimana mungkin, Hazel yang sudah merancang kebahagiaan hingga akhir hayat bersama Irish harus hancur hanya karena campur tangan pria paruh baya yang menyandang status ayah secara cuma-cuma tanpa melakukan kewajibannya?
Karena setahu Hazel, seorang ayah akan bahagia ketika anaknya bahagia. Orang tua yang baik akan melakukan apa pun agar anaknya tidak bersedih. Namun, tidak dengan ayahnya yang malah bersikap semena-mena dengan dalih kalau itu adalah yang terbaik untuk Hazel.
Dia berdecih. Baik apanya? Semua itu demi keberlangsungan perusahaan. Satu-satunya hal yang dipikirkan oleh pria paruh baya itu hanyalah bagaimana cara untuk memperkuat bisnisnya. Dan menikahkan Hazel dengan Ayana merupakan jalan pintas untuk mencapai tujuannya.
Padahal, kalau dipikir-pikir, setiap roda kehidupan pasti ada pasang-surutnya. Siapa tahu, suatu hari nanti, perusaahan yang ayahnya bangga-banggakan itu akan collaps seperti beberapa tahun lalu. Ayahnya terlalu percaya diri, tanpa menyadari kalau semua yang dipunyainya sekarang tidaklah kekal.
Mata Hazel terbuka saat ponselnya yang berada di saku, bergetar. Dia mengambil benda pipih tersebut lalu menghidupkan layar. Seketika, keresahan yang sempat menggerogoti benaknya menghilang melihat siapa yang baru saja mengiriminya pesan.
Ny. Jenggala : Gimana? Kamu nggak diapa-apain dengan papa kamu, kan?
See? Bagaimana bisa Hazel meninggalkan perempuan yang sangat mengkhawatirkannya itu? Bahkan setelah disakiti, Irish masih mencintainya dan mau menerimanya. Astaga ... Hazel ingin sekali masuk ke dalam sana untuk memeluk tubuh mungil perempuannya.
Jari-jari Hazel menari di atas keyboard ponsel.
Hazel : Kenapa? Khawatir dengan aku? Telepon, dong.
Hazel tertawa melihat balasan pesannya untuk Irish. Sudah dipastikan kalau perempuan itu sedang menggerutu dengan pipi yang bersemu.
Irish mengiriminya pesan lagi.
Ny. Jenggala : Ih, ogah! Untuk apa? Ngabisin kuota aja. Aku cuma tanya doang. Kalau kamu enggak mau jawab juga nggak masalah.
Hazel menggeleng pelan. Senyum tak pernah pudar dari sudut bibirnya. Benar-benar menggemaskan. Kalau bisa, Hazel ingin memasukkan Irish ke dalam sakunya supaya bisa dibawa ke mana-mana.
Hazel : Kalau khawatir, bilang aja, Rish. Aku justru seneng, kok, kalau dikhawatirkan dengan kamu.
Senyum Hazel langsung memudar tatkala seseorang mengetuk kaca mobilnya. Meski gelap dari luar, tapi Hazel bisa melihat wajah si pelaku yang sedang celingak-celinguk itu. Sambil memutar bola matanya, Hazel mulai menurunkan kaca mobil, menampilkan wajah malasnya kepada orang itu.
"Nah! Udah gue duga kalau itu lo. Ngapain mobil lo ngemper di sini? Nggak punya parkiran? Atau lupa jalan pulang?"
Kalau ada teman Irish yang harus dia hindari, maka itu adalah Neiva. Tindak-tanduk perempuan itu benar-benar menguras emosi. Beruntung, Irish tidak tertular sikap bar-barnya.
"Suka-suka gue mau parkir di mana. Nggak ngerugiin lo juga."
Neiva mendengkus. Meski Irish dan Hazel kembali bersama, Neiva tak benar-benar bisa akur dengan Hazel. "Tapi ini termasuk jalan depan rumah gue. Di mana itu ganggu banget." Mata Neiva menyipit ketika sebuah simpulan muncul di kepala. "Atau jangan-jangan lo lagi ada masalah dengan Irish? Wah, wah. Kalau memang bener, lo udah keterlaluan, sih, Zel."
"Apaan? Gue nggak ada masalah dengan Irish. Hubungan kami adem ayem. Jangan fitnah gitu." Hazel langsung klarifikasi. Jangan sampai masalah kembali muncul ke tengah-tengah hubungan mereka. Dia belum siap kalau harus berpisah lagi dengan Irish.
Neiva mengedikkan bahu. "Ya, siapa tahu, kan. Terus lo di sini untuk perhatiin Irish diam-diam sampe turun hujan."
"Lo kata sinetron?"
"Iya. Karena hidup lo penuh drama."
Hazel melirik Neiva sinis. Beruntung, Badai—pria yang memiliki hubungan tak jelas dengan Neiva—merupakan teman baiknya. Kalau tidak, sebenarnya tidak masalah juga.
"Tapi lo kenapa tahu kalau gue ada di sini?" tanya Hazel. Pasalnya, Neiva tak akan mungkin seperti tetangga kepo yang selalu mengintip tetangga lainnya. Si Pengacara terlalu sibuk dengan berkas perkaranya hingga tak akan mau mengurusi hal remeh seperti itu.
"Mobil mentereng yang sering lo pake ke mana-mana ini nggak mungkin nggak gue kenal. Apalagi, gue curiga kenapa tiba-tiba ada mobil yang parkir sembarangan di dekat rumah gue. Ya, gue samperin lah."
"Ya, udah lah, gue cuma numpang sebentar. Ini juga gue mau balik."
"Perlu gue kasih tahu Irish, nggak?" tanya Neiva, memancing. Sebenarnya, dia sudah curiga dengan keberadaan mobil Hazel sedangkan pemiliknya tidak muncul. Hazel tidak mungkin hanya sekadar iseng karena ingin buang-buang bensin saja, kan? Pasti ada sesuatu.
"Jangan, Nei. Gue ke sini memang bukan untuk ketemu dengan Irish." Hazel menjawabnya cepat. Jangan sampai Irish tahu kalau dia ada di depan rumahnya.
"Yah ... sayangnya Irish udah ada di depan pintu, sambil lihatin lo." Neiva menunjuk seorang perempuan yang berdiri di depan pintu dengan ekspresi penasaran. Ketika Hazel mengikuti arah pandang Neiva, dia langsung tahu kalau memang dari awal tak seharusnya dia kemari.
***
"Aku kira kamu ada di rumah tadi."
"Ya, kan, kamu rumah aku, Rish."
Irish mendengkus. Bisa-bisanya pria itu tetap cengengesan di saat Irish khawatir dengannya. Setelah Hazel mendapat telepon dari ayahnya, dia memutuskan untuk mengantar Irish pulang tanpa mengatakan apa pun.
Irish juga enggan untuk bertanya, karena meski mereka adalah sepasang kekasih, bukan ranah Irish untuk ikut campur ke dalam masalah keluarga Hazel. Kalaupun nanti Hazel yang cerita kepadanya secara langsung, baru Irish akan menjadi pendengar yang baik.
Dia cukup kaget dengan keberadaan Hazel secara tiba-tiba di depan rumahnya, padahal dia pikir saat mereka berbalas pesan, Hazel sedang ada di rumah orang tuanya atau mungkin apartemen pria itu. Entah apa yang membawa Hazel kemari.
"Terus, kenapa kamu ke rumah aku nggak pake bilang dulu?"
"Memang, kalau ke rumah pacar sendiri, harus bilang gitu?" Hazel bertanya balik. Dalam hati, Hazel bersyukur lantaran Neiva tak memberitahukan yang sebenarnya kepada Irish. Walaupun tampak jutek, nyatanya Neiva bisa diandalkan di waktu-waktu tertentu. Minus sikap bar-barnya yang terkadang menginginkan perpisahan antara Hazel dan Irish.
"Ya, enggak gitu juga. Tapi ... setidaknya aku bisa siap-siap dulu."
Hazel melirik penampilan Irish. Tak ada yang salah. Piyama bergambar Hello Kitty itu cocok membalut tubuh Irish yang mungil. Menggemaskan.
"Kamu ketemu aku kayak mau ketemu Presiden aja. Pake acara siap-siap segala," tukas Hazel. Tangannya terulur, merapikan anak-anak rambut Irish yang aga berantakan. Kemungkinan Irish tak akan expect kalau Hazel akan datang ke rumahnya, hingga perempuan itu menguncir rambutnya asal-asalan, tapi Hazel justru suka. Dengan begini, dia bisa melihat wajah Irish yang alami tanpa polesan make up.
Bahkan, jerawat kecil di ujung hidung Irish menambah ketertarikan di mata Hazel. Dia suka dengan semua yang Irish miliki.
"Nggak gitu, setidaknya aku nggak kayak gembel, tahu!" gerutu Irish, membuat sudut-sudut bibir Hazel terangkat membentuk senyuman hangat. Untuk sesaat, dia melupakan masalahnya dengan sang ayah.
"Kamu tadi ngapain? Kenapa tiba-tiba keluar rumah?" Hazel mengganti topik pembicaraan.
Irish mengambil kue putu yang diletakkan di atas meja teras lalu memakannya. Kebetulan, saat Irish memergoki Hazel, gerobak kue putu lewat, membuat Irish membelinya untuk menjadi teman obrolan mereka.
"Aku cari Nei soalnya dia belum masuk rumah juga. Sedangkan dia lagi masak ayam, takutnya gosong."
Hazel mengangguk mengerti. Dia tahu kalau Irish memang belum ahli memasak, dan Hazel tak memaksa perempuan itu untuk belajar. Kalau mereka sudah berumah tangga, lambat laun Irish pasti akan mencoba untuk memasak. Kalaupun tidak, masih ada opsi lain yang bisa mereka lakukan. Salah satunya adalah memesan online.
"Oh, ya, Zel. Kayak yang tadi aku chat, kamu beneran nggak diapa-apain dengan papa kamu, kan? Kali ini jawab serius." Irish sedang malas dengan gombalan Hazel. Karena dia ingin memastikan kalau ayah Hazel tidak marah dengan anaknya yang pergi secara tiba-tiba.
"Kamu lihat aku ada luka atau semacamnya? Kalau enggak, berarti aku baik-baik aja, kan?"
"Kamu nggak dimarahi papa kamu karena nggak ada di acaranya sepupu kamu?"
Hazel menggeleng. "Enggak. Lagi pula, papa juga tadi datengnya telat. Jadi, nggak apa-apa asalkan udah setor muka."
Mendengar jawaban Hazel, Irish akhirnya bisa bernapas lega. Kekhawatirannya berkurang. Sementara Hazel, hanya bisa menatap Irish dengan sendu. Entah apa yang akan Irish pikirkan kalau mengetahui yang sebenarnya.
***
Bali, 26 November 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top