41. Semakin Runyam
Cinta memang butuh pengorbanan, tapi keikhlasan terasa lebih menenangkan di saat cinta itu tak terbalaskan.
***
"Kamu dan Ayana akan segera melangsungkan pertunangan."
Hanya satu kalimat, tapi berhasil membuat Hazel terkejut luar biasa. Dia menatap sang ayah yang duduk di hadapannya dengan ekspresi tenang, seolah-olah tak merasa bersalah atas apa yang baru saja dikatakannya tanpa pertimbangan.
"Pa, saya bahkan belum setuju, tapi Papa langsung kasih keputusan. Ini nggak adil namanya." Hazel menolak. Kalau tahu akan begini ujungnya, dia tak akan mau pulang ke rumah orang tuanya. Lebih baik dia menghabiskan waktu bersama Irish yang jelas-jelas tak akan semakin membebani pikirannya.
"Mau atau tidak, kamu tidak punya pilihan selain setuju, Zel. Nanti papa akan mendiskusikan kapan tanggal yang baik untuk dilaksanakannya acara kalian."
Hazel berdecih. Selalu begitu. Ayahnya tak menerima yang namanya penolakan. Suka mengambil keputusan sendiri tanpa menanyakan kepadanya terlebih dahulu. Hazel bahkan pernah berpikir kalau ayahnya memiliki anak hanya untuk dijadikan robot yang patuh kepada pemiliknya. Dia benar-benar tak bisa diberikan kesempatan untuk berpendapat. Hazel melirik sang ibu yang hanya duduk diam di sebelah suaminya. Raut perempuan yang sudah melahirkannya ke dunia itu tampak pasrah, barangkali sudah paham dengan tabiat suaminya yang begitu arogan.
"Kenapa, sih, Pa? Papa selalu egois kayak gini? Mungkin bagi Papa ini adalah keputusan terbaik, tapi enggak untuk saya."
"Papa tahu kalau ini yang terbaik karena papa adalah papa kamu. Suatu saat kamu pasti akan berterima kasih kepada papa."
Hazel menunduk sebentar, sementara kedua tangannya sudah terkepal erat di atas paha. Sejujurnya, bisa dibilang kalau dia merupakan orang yang tidak mudah emosi, bahkan dia tipikal pribadi yang cukup santai dalam menghadapi masalah apa pun itu, tapi kali ini tidak lagi. Ayahnya sudah ikut campur ke dalam kehidupannya terlalu dalam. Dia tidak ingin terus-menerus berada di bawah kontrol sang ayah. Ini menyangkut masa depannya. Masa depan yang ingin dia habiskan bersama dengan Irish, pilihannya sendiri.
"Saya nggak akan bertunangan dengan Ayana." Hazel mendongak, menatap orang-orang yang berada di ruang tamu megah di rumah orang tuanya. Ada beberapa keluarga yang bertempat tinggal cukup jauh dan ... Ayana. Mereka semua hanya diam, menjadi penonton perdebatan antara ayah-anak itu. Acara pernikahan Alam dan istrinya baru saja selesai. Mereka baru berbahagia atas kedua mempelai, tapi ayahnya sudah merusak itu semua. Kenapa bukan di hari lain? Setidaknya biarkan keluarga lain beristirahat sebentar.
"Kenapa enggak? Apa yang kurang dari Ayana? Perempuan itu merupakan kandidat yang pas untuk kamu, Zel. Banyak yang mengantre untuk menjadi pasangan dia."
"Tapi orangnya bukan saya, Pa. Yang jelas saya tidak mau bertunangan apalagi menikah dengan Ayana." Hazel berucap dengan tegas, tak peduli kalau Ayana akan sakit hati. Dia memang harus berani menentang apa pun yang ayahnya katakan selagi dirasa salah. Hazel sudah dewasa, tentu dia tahu mana yang baik dan buruk.
Ayahnya menggeleng keras, tak setuju dengan penolakan Hazel. Anaknya itu selalu menurutinya. Namun, entah apa yang terjadi hingga Hazel menjadi pemberontak begini.
"Sebenarnya, apa yang ingin kamu cari lagi, Zel? Kamu seperti bukan Hazel yang papa kenal. Semenjak kembali ke Indonesia, kamu terlalu banyak berubah." Ayah Hazel terdiam sejenak, seperti tengah memikirkan sesuatu. "Apa ini ada hubungannya dengan kepergian kamu secara tiba-tiba di tengah pesta tadi?"
"Iya." Dengan mantap Hazel menjawab. Toh, untuk apa disembunyikan? Irish bukan aib. Dan memang sudah seharusnya ayahnya tahu mengenai Irish, bukan?
"Siapa? Siapa yang membuat kamu begini?" Sang ayah tampak emosi, barangkali tak menyangka kalau anaknya akan berubah hanya karena seorang perempuan.
"Orang yang aku cinta."
Bertepatan dengan ucapan Hazel, ayahnya langsung menggebrak meja. Kemarahan tercetak jelas di wajah pria paruh baya itu, yang langsung ditenangkan oleh sang istri. Hazel sendiri tak terpengaruh sama sekali. Kalau memang nantinya dia diusir dari rumah, tak masalah. Dia bekerja untuk dirinya sendiri, bukan menadahkan tangan kepada orang tuanya. Jadi, semua aset yang dia pakai rata-rata murni dari hasil jerih payahnya.
Anggap dia sebagai anak durhaka, tapi setiap keputusan yang dia ambil memang ada harga dan konsekuensinya, kan? Dia akan berjuang untuk cintanya. Dia tidak mau lagi menyakiti hati Irish. Lagi pula ibunya sudah setuju. Dia sudah tenang. Mengenai sang ayah, dia yakin lambat-laun pria itu akan setuju.
"Pa, kita bicarakan nanti lagi, ya? Nanti jantung Papa kumat lagi. Papa juga harus istirahat dulu sehabis kerja." Ibu Hazel mencoba untuk menghentikan perdebatan.
"Nggak bisa, Ma. Ini juga demi Hazel. Masa depan perusahaan ada di tangan anak itu. Kalau tidak papa arahkan, anak itu bisa seenaknya." Ayah Hazel menolak saat istrinya hendak membantunya bangkit.
"Selalu begitu, ya, Pa? Saya selalu dianggap sebagai umpan perusahaan. Kalau memang Papa ingin perusahaan semakin maju, kenapa bukan Papa saja yang menikah dengan Ayana?"
"Hazel!" pekik ayahnya tertahan.
Hazel berkata benar. dari dulu, saat dia menduduki bangku kuliah, ayahnya sudah mengajarkannya mengenai cara mengurus perusahaan. Tak cukup di situ, beberapa kali pria paruh baya itu mengenalkan Hazel kepada anak dari rekan kerjanya. Hazel semula tak ambil pusing, dan mengira kalau ayahnya tidak serius. Sampai pada akhirnya ayahnya jatuh sakit, serangan jantung di kantor, yang mengharuskannya untuk dirawat selama waktu yang sudah ditentukan.
Karena kejadian dadakan tersebut, Hazel yang berada di Jakarta mau tak mau harus terbang ke Singapura untuk menggantikan sang ayah sementara. Hal itu juga yang menyebabkan Hazel tak sempat mengucapkan kalimat perpisahan kepada Irish, terlebih perusahaan sedang collaps, yang menambah kekalutannya. Dia tak mau Irish khawatir di Indonesia, membuat Hazel menyembunyikan semuanya dari perempuan itu hingga sekarang.
Selama kurang lebih tiga tahun, Hazel benar-benar fokus mengelola perusahaan. Beruntung, Alam yang juga tengah berada di Singapura, ikut membantunya. Hazel akhirnya bisa pulang ke Indonesia setelah kesehatan ayahnya berangsur membaik. Hazel menyerahkan perusahaan kepada Alam yang masih di Singapura. Namun, setelah apa yang dia lakukan, ayahnya masih belum merasa puas atas dedikasinya. Di saat dia ingin terbebas dan menjalani hidup dengan keinginannya, sang ayah tetap mencoba mengekangnya.
"Zel, lebih baik kamu pergi dulu. Mama nggak mau kalian bertengkar lagi. Masalah Papa, biar mama yang urus." Suasana semakin tegang. Wajah-wajah orang-orang di sana ikut pias. Ibu Hazel hanya tak ingin memperkeruh keadaah. Malu rasanya.
Hazel menurut. Tanpa berkata apa pun lagi, Hazel bangkit lalu melenggang pergi ke luar rumah, tak menyadari kalau Ayana mengikutinya.
"Hazel!" Panggilan Ayana berhasil menghentikan langkah Hazel di teras rumah. Pria itu hanya melirik tanpa menyahut.
"Bisa ... kita bicara?"
***
Perempuan itu menjadi salah satu alasan pertengkarannya dengan sang ayah. Perempuan itu ... kalau tahu mereka dijodohkan, kenapa dia tidak bicara apa pun kepada Hazel dan memilih untuk menyembunyikannya? Hazel pikir mereka bisa berteman dengan baik, tapi sepertinya Ayana tak berpikir begitu.
"Kamu ... beneran nggak mau acara pertunangan lita dilaksanain, Zel?" Pertanyaan pertama yang akhirnya keluar dari mulut Ayana setelah hampir satu menit mereka hanya berdiam di taman belakang rumah orang tua Hazel.
"Serius kamu tanya begitu, Na?" Hazel bertanya balik. Dia menatap Ayana tak percaya.
"Aku cinta dengan kamu, Zel."
Mendengar pengakuan Ayana, seharusnya Hazel terkejut, tapi tidak. Entah kenapa, dia memang sudah memperkirakan hal ini. Bukan kegeeran, hanya saja dari sikpa yang Ayana tunjukkan, sudah mewakili perasaan perempuan itu. Yang membuat Hazel tak habis pikir adalah, kenapa Ayana justru tetap menyetujui pertunangan ini di saat dia tahu kalau Hazel sudah bersama Irish?
"Aku udah punya Irish, Na. Kamu harusnya ngerti. Kita nggak mungkin berhubungan sementara hati aku ada di Irish." Hazel masih mencoba untuk menjelaskan, barangkali Ayana akan mengerti dan mundur. Namun, gelengan Ayana menghancurkan pemikiran Hazel.
"Aku nggak bisa mengerti, Zel. Dari sekian banyaknya perempuan, kenapa harus dia? Kenapa harus perempuan yang bahkan baru kamu kenal. Kenapa bukan aku yang sellau ada untuk kamu?" Ayana tak bisa menerima kenyataan ini. Dia yang berjuang untuk mendapatkan Hazel, hingga dia melepaskan impiannya di Singapura untuk menetap di Indonesia. Kenapa bukan dia yang dicintai oleh Hazel? Bukankah dia sudah cukup sempurna? Bukankah apa yang dia miliki selalu menimbulkan keirian di hati perempuan lain? Tapi kenapa kini dia yang iri dengan perempuan biasa seperti Irish?
"Maaf, Na. Perasaan nggak bisa dipaksa. Kamu memang punya banyak pesona, aku akui itu. Tapi kalau aku pengin Irish, bahkan ayahku sekalipun nggak akan bisa menghentikannya."
Tangan Ayana terkepal erat dengan urat-urat di sekitar lehernya yang terlihat. Tak bisa. Dia tak mau kalah secepat ini. Dia sangat menginginkan Hazel. Dan dia harus mendapatkan apa pun yang dia inginkan.
"Coba sekali aja belajar mencintai aku, Zel. Aku yakin cinta akan tumbuh karena terbiasa. Aku nggak masalah kalau harus menunggu kamu."
"Tapi aku benar-benar nggak bisa, Na. Kita masih bisa berteman."
"Tapi aku nggak mau, Zel! Aku nggak mau kalau hubungan ini cuma sebatas teman. Aku mau lebih!" Ayana berteriak frustrasi. Dia menunduk ketika cairan sebening kristal mulai turun melalui sudut matanya. Ayana menangis di hadapan Hazel. Selama ini, dia selalu berusaha untuk menjadi perempuan yang kuat supaya orang lain tak merendahkannya, tapi Hazel berhasil meruntuhkan sisinya yang pura-pura kuat. Dia hanya ingin Hazel mencintainya. Hanya itu.
Hazel prihatin. Dia seolah-olah tak mengenali Ayana lagi. Perempuan itu terobsesi kepadanya. Dia tak ingin mendapat penolakan dari siapa pun.
"Na, mungkin bagi kamu, aku adalah pria yang kamu cintai, tapi nyatanya masih banyak pria baik di luar sana yang lebih pantas untuk kamu cintai. Cukup, Na. Hentikan perasaan itu atau kamu bakal semakin sakit hati." Hazel menatap Ayana yang masih menunduk lalu menghela napas panjang. Tak ingin bertambah runyam, Hazel memutuskan untuk pergi dari sana setelah menyelipkan sapu tangan miliknya ke tangan Ayana.
Dari balik punggungnya yang semakin menjauh, Hazel masih bisa mendengar tangisan Ayana yang menyakitkan. Namun, kalau Hazel tak tegas begini, Ayana tak akan pernah sadar.
Maaf, Na.
***
Bali, 26 November 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top