4. Hello Mellow

Ibarat magnet yang saling tarik-menarik, begitulah kita. Mau dipaksa bagaimanapun untuk lepas, kita tetap akan kembali bersama.

***


“Udah, dong, Rish. Kalau lo nangis terus, air mata lo bisa habis. Lagi pula, tas lo belum tentu bakal balik.”

“Masalahnya aku nggak ada uang lagi, Nei. Kalau aku ada kerjaan, sih, nggak apa-apa. Tapi kamu tahu sendiri kalau aku nganggur udah lama.”

Untuk kesekian kalinya, Irish menghapus air mata sekaligus mengeluarkan ingusnya menggunakan tisu. Entah sudah berapa banyak tisu milik Neiva yang dia habiskan hingga bekasnya berceceran di meja makan—tak sedikit pula yang sampai jatuh ke lantai—tapi air matanya tetap tidak mau berhenti.

Sejujurnya, selain menangis karena kehilangan barang-barang berharga, air mata Irish mengucur karena ingin meluapkan rasa malunya yang sudah membalas pelukan Hazel. Di tengah jalan pula! Mau ditaruh di mana harga dirinya? Dia benar-benar tak menyangka dengan apa yang sudah dia lakukan.

Alhasil, lantaran merasa sudah kepalang tanggung, ditambah lagi dia yang tak ada uang, akhirnya Irish menumpang di mobil Hazel. Sepanjang perjalanan menuju rumah, mereka sama sekali tidak bicara. Memang, beberapa kali Hazel memancing pembicaraan, tapi selalu Irish balas dengan singkat. Selebihnya, Irish hanya menatap lalu lalang kendaraan dan Hazel yang fokus menyetir.

“Mau gimana lagi, Rish? Namanya juga musibah.” Neiva menyahut sembari mencomot pisang goreng yang dibelinya sepulang kerja lalu memakannya.

Bibir Irish tertekuk ke bawah. “Kenapa musibahnya bisa barengan gini, ya, Nei? Aku, kan, nggak siap.”

Neiva mengedikkan bahu. “Lo kurang sedekah kali.”

Alih-alih menenangkan, ucapan Neiva justru menambah kesedihan Irish. Dia meletakkan kepalanya di atas meja dengan ekspresi pasrah.

Tiba-tiba, Neiva memajukan tubuhnya. “Tapi serius, Rish, nggak ada yang mau acc lamaran lo?”

Irish menggeleng dengan tatapan mengarah pada Neiva yang tengah mengunyah pisang gorengnya. Mendadak dia ngiler hanya dengan melihat Neiva makan.

“Kok, bisa?” tanya Neiva.

Irish mengangkat kepalanya. Sebelum menjawab, dia membuka mulut. “Suapin.”

Neiva berdecak, tapi tetap menyuapi Irish pisang goreng yang masih utuh. Perempuan yang sedang patah semangat itu pun mengunyahnya dengan sisa-sisa air mata di pipi. Melihat itu, Neiva menjadi iba. Penampilan Irish sangat berantakan. Baju putih-hitam yang kotor di beberapa bagian, rambut tak beraturan, hidung memerah dan mata bengkak.

Daripada pelamar pekerjaan, Irish lebih cocok dianggap sebagai orang frustrasi yang tak punya harapan di bola matanya. Neiva jadi semakin yakin kalau Irish memang baru saja menjalani hari yang berat.

“Dengan catatan hitam di kantor aku sebelumnya, kamu pikir masih ada yang mau terima aku dengan sukarela? Mereka mikir-mikir juga kali.” Irish menelan pisang gorengnya dengan susah payah. Gara-gara kebanyakan menangis, tenggorokannya menjadi kering.

“Karena lo keliatan niat banget, gue pikir bakal ada yang terima lo. Eh, tahu-tahunya lo dateng sambil nangis-nangis.”

Irish menipiskan bibirnya. Neiva memang tidak tahu mengenai pertemuannya dengan Hazel. Dia hanya beralasan kalau ingin melamar kerja dengan mendatanginya satu persatu. Neiva juga tidak banyak bertanya, hanya berdoa semoga di antara banyaknya tempat, ada yang mau menerima Irish. Meski pada akhirnya tetap tidak menemukan titik temu.

“Aku benar-benar dendam kesumat sama bos kurang ajar itu. Bisa-bisanya dia bikin aku jadi nelangsa begini. Biasanya, nih, ya. Kalau ada orang yang menyulitkan orang lain, hidupnya bakal dipersulit juga.” Irish meremas bekas tisu yang masih berada di genggamannya, seakan-akan tengah meluapkan kekesalannya pada atasan yang menjadi penyebab kehidupan merananya.

Neiva mengangguk sambil mengelus bahu Irish. “Gue yakin nanti pasti lo dapat pekerjaan, kok. Tapi, Rish. Lo bilang kalau tas lo dicopet, kan?”

“Huum. Kenapa?” Irish mengambil tahu goreng beserta cabai lalu memakannya berbarengan.

“Terus lo pulang pake apa? Jalan kaki? Karena nggak mungkin, dong, lo pulang pake ojek atau semacamnya. Uang dari mana?”

Irish seketika tersedak! Pedasnya cabai membuat telinga dan hidungnya terasa panas. Dengan sigap, Neiva mengangsurkan air minum kepada Irish yang langsung diteguknya hingga habis.

“Kalau makan, tuh, pelan-pelan Rish.”

Justru pertanyaan kamu yang bikin aku jadi begini, Nei!

Irish belum cerita kalau Hazel yang mengantarkannya pulang. Sengaja, supaya Neiva tidak banyak bertanya yang berujung dengan berbagai macam nasihat dan bahasan mengenai masa lalu kelam Irish.

Bahkan, bukan tidak mungkin kalau berita tersebut akan sampai ke telinga Mauve yang tinggal di rumah sebelah. Jadi, daripada mengundang kehebohan, Irish sudah mewanti-wanti Hazel untuk memberhentikannya sedikit jauh dari rumah. Walaupun awalnya Hazel kurang setuju, tapi Irish berhasil membuat pria itu menurut.

“A-aku, masuk kamar dulu, Nei. Badanku rasanya lengket. Udah ngantuk juga. Bye, Nei! Sleep tight.” Buru-buru Irish bangkit dari duduknya lalu melesat ke kamar, mengabaikan teriakan Neiva yang menggema di penjuru ruangan.

“Irish, ini bekas tisunya nggak lo bersihin?”

***

Paginya, Irish sudah duduk bersila di sofa ruang tamu dengan setoples kacang berada di pangkuannya. Mata perempuan itu tertuju pada televisi, sementara tangannya sibuk memasukkan kacang ke dalam mulut. Dibandingkan semalam, hari ini Irish tampak lebih segar. Rambutnya pun masih basah—ternyata keramas di pagi hari berdampak pada mood-nya yang menjadi lebih baik.

Berhubung Irish sedang sendirian di rumah karena pagi-pagi sekali Neiva sudah pergi untuk mengurusi berkas perkara dan semacamnya, dia jadi lebih santai. Kalau Neiva ada di rumah, perempuan yang sudah menjadi sahabatnya sejak SMA itu pasti akan mengomel saat melihat kamarnya yang masih berantakan. Iya, sifat mereka memang sangat berbanding terbalik. Maka tak heran kalau Irish menganggap Neiva sebagai ibu keduanya.

Ketika Irish sedang asyik dengan dunianya, pintu rumah tiba-tiba diketuk, membuat Irish menoleh. Alisnya berkerut samar. Rasa-rasanya, dia maupun Neiva sedang tak memesan apa pun melalui situs online. Mencoba mengabaikan—barangkali salah alamat—Irish kembali fokus pada tayangan Spongebob Squarepants di depannya.

Namun, ketukan kembali terdengar. Kali ini sedikit lebih keras. Irish seketika was-was. Dia meletakkan toples kacang di atas meja lalu bangkit. Dengan mengendap-endap—takut kalau misalnya di luar sana adalah penjahat—dia mendekati jendela dan membuka tirainya sedikit.

Betapa terkejutnya Irish saat mendapati Hazel sedang berdiri di depan pintu rumah. Irish refleks mengumpat pelan. Untuk apa pria itu ada di sini? Bukankah permasalahan mereka sudah selesai? Irish tak menyanggupi penawaran Hazel, dan dia juga tak mempunyai urusan utang-piutang, tapi kenapa Hazel seolah-olah tengah menerornya seperti arwah penasaran?

Tamat sudah riwayatnya kalau sampai Mauve tahu atau tiba-tiba Neiva pulang! Bisa-bisa dia diinterogasi seharian.

Cepat-cepat Irish membuka pintu lalu melotot galak. “Kamu ngapain ada di rumah aku?”

Hazel menaikkan sebelah alisnya. Bukannya menjawab, dia malah menatap Irish dari atas ke bawah, berulang kali, hingga membuat perempuan itu bersedekap dada.

“Apa, sih?” tanya Irish, risi.

Hazel menghela napas. “Kalau pake baju itu yang sopan dikit, Rish. Masih mending aku yang datang ke sini, kalau orang lain, laki-laki pula, gimana?”

“Hah?” Irish menunduk, menatap penampilannya sebelum memekik kecil dan langsung berlari ke dalam untuk mengambil apa pun yang bisa dia gunakan untuk menutupi bagian bawahnya. Astaga, dia lupa kalau sedang memakai celana yang panjangnya hanya sedikit di bawah bokong. Walaupun tertutup kaus polos kebesaran berwarna putih, tapi tetap saja menerawang lantaran bahannya yang tipis.

Setelah menutupinya dengan handuk biru motif doraemon yang dia ambil dari kamar, Irish kembali menemui Hazel. "Jadi, ngapain kamu ke sini? Kalau kamu lupa, kita udah nggak ada urusan lagi."

Hazel menenggelamkan tangannya di saku celana. "Kalau kamu lupa juga, kamu masih ada utang sama aku."

Mata Irish sontak melebar sempurna. "Utang apaan? Kamu ngigo? Daripada ngomong yang aneh-aneh, mending kamu pergi. Aku nggak menerima tamu. Hush hush!" Tangan Irish melambai-lambai, seperti mengusir ayam. Namun, Hazel tak juga beranjak dari posisinya. Pria itu justru menatap Irish aneh.

"Tumpangan kemarin nggak gratis, Rish. Baju aku yang basah gara-gara air mata kamu juga ada bayarannya."

Pergerakan Irish langsung terhenti. Dia terbengong dengan bibir yang terbuka. Speechless. Pria itu benar-benar di luar dugaan Irish. "Oh, jadi kamu pamrih? Nggak ikhlas? Mau morotin aku? Berapa, sih, harga tumpangan sama baju kamu sampe-sampe kamu cari aku kayak penagih utang?" tanya Irish, bersikap seolah-olah yang punya banyak uang saja.

Padahal, kenyataannya Irish pun bingung harus membayarnya dengan apa. Tidak mungkin, kan, dia pergi ke rumah sebelah dan meminjam uang kepada Mauve? Cari masalah itu namanya!

By the way, kira-kira Mauve sudah pergi ke PinKafe atau belum, ya? Mata Irish spontan melirik ke arah rumah sebelah. Jaga-jaga kalau nanti ada sosok perempuan yang muncul dari balik pintu.

"Aku nggak minta uang kamu."

Irish berpaling. "Maksud kamu? Terus kamu mau minta apa?"

Senyum miring terbit di sudut-sudut bibir Hazel, membuat perasaan Irish tiba-tiba tidak enak. Dia punya firasat buruk.

"Temani aku sarapan."

Tuh, kan!

"Kamu udah gi—" Ucapan Irish terputus lantaran terdengar suara derit pintu disertai orang berbicara dari arah rumah Mauve.

Warning satu!

Tanpa tedeng aling-aling, Irish menarik Hazel menuju mobil pria itu yang berjarak tidak jauh dari tempat mereka berdiri lalu menyuruhnya masuk. Irish sendiri tidak paham dengan spontanitas tubuhnya yang malah membawa mereka bersembunyi di dalam kendaraan beroda empat tersebut.

"Nunduk, Zel!" Irish menekan kepala Hazel ke bawah, sedangkan dia sedikit melongok, melihat situasi. Tampak Mauve keluar dari rumahnya sambil menelepon. Sepertinya perempuan itu hendak pergi ke PinKafe, terlihat dari penampilannya yang rapi.

Irish seketika menunduk saat Mauve menoleh ke arah mobil Hazel. Mata Mauve menyipit curiga—barangkali merasa aneh dengan keberadaan mobil asing di halaman rumah sahabatnya. Dalam hati, Irish berdoa agar Mauve tidak menghampiri mereka.

"Rish." Mendengar suara bisikan dari sebelahnya, Irish hanya menatapnya sekilas seraya meletakkan jari telunjuk di bibir, menyuruh Hazel untuk diam.

"Irish." Hanya saja, Hazel tidak menurut, membuat Irish menyahut ketus. "Kenapa?"

"Kita sebenarnya ngapain?"
Irish ingin sekali meremas wajah Hazel. Pertanyaan macam apa itu? Sudah jelas-jelas mereka sedang bersembunyi.

"Jangan sampe aku plester mulut kamu, ya, Zel."

"Bukan gitu, Rish. Maksud aku, kenapa kita sembunyi-sembunyi kayak gini? For your information aja, kaca mobil aku gelap kalau dilihat dari luar."

Tahu apa yang ingin Irish lakukan sekarang? Melempar Hazel ke Samudera Atlantik.

***

Haiii!!! Malam Minggu kalian ngapain nih??? Kalau aku sih, nulis lanjutan cerita sebelah, ya. Sekalian revisian xixixixi.

Sooo, untuk menemani malam Minggu kalian, aku update Mbak Irish dan Mas Hazel, nih. Semoga kalian suka!

By the way, aku bakal double chapter.

See u!

Bali, 03 Agustus 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top