39. Tidak Terduga

Selama ini, aku tidak pernah meminta apa pun kepada Sang Pencipta, tapi kali ini, aku berharap supaya kita merajut bahagia. Please, don't leave me.

***


"Om Anggara udah ada di dalem. Ada yang mau dibicarain dengan kamu." Informasi yang Lavender berikan saat Hazel dan Irish sedang bersantai di halaman belakang gedung pernikahan Alam, cukup mengejutkan keduanya.

"Papa cari saya? Untuk apa?" tanya Hazel meski tubuhnya tetap bangkit yang disusul oleh Irish. Acara di dalam sana sudah berlangsung hampir dua jam, dan ayahnhya baru datang. Entah sesibuk apa sebenarnya pria itu begitu sampai di Jakarta.

Lavender mengangkat bahu. "Nggak tahu. Tapi Om Anggara ke sini bareng perempuan. Cantik."

Hazel yang sudah akan menggerakkan kakinya, sontak terhenti. Dia menatap Lavender penuh rasa penasaran. "Maksud kamu? Perempuan? Cantik? Siapa?"

"Ya, mana aku tahu. Kenal juga enggak."

Ucapan Lavender membuat perasaannya tiba-tiba menjadi tidak enak. Dengan langkah panjang, dia langsung berderap ke dalam, mencari sosok sang ayah di antara keramaian. Kepalanya melongok dengan gelisah, hingga tatapannya jatuh kepada sesosok pria bertubuh jangkung yang tengah berbincang dengan beberapa tamu. Segera, Hazel menghampiri ayahnya hingga tak sadar meninggalkan Irish dan Lavender yang berusaha menyamai langkahnya.

Barangkali merasa diperhatikan, ayah Hazel menoleh. Senyum terbit di sudut-sudut bibirnya yang sudah mulai berkerut di sekitarnya tatkala melihat sang jagoan. "Wah, ini dia. Hazel Jenggala. Kebanggaan saya." Ayah Hazel memperkenalkan anaknya dengan bangga di hadapan para tamu.

Hazel tersenyum hormat dan menyalami tamu-tamu tersebut. Sementara Irish hanya bisa menatap interaksi mereka dari jarak yang agak jauh, tak ingin mengganggu. Sungguh, dia sedikit terkejut dengan penampilan ayah Hazel. Irish sempat tidak percaya kalau pria itu merupakan ayah dari kekasihnya lantaran posturnya yang masih terlihat bugar dan tentunya tampan, persis seperti Hazel. Bedanya, kalau Hazel adalah versi muda, maka ayahnya adalah versi lanjut usia. Mirip sugar daddy.

"Wah, wah. Anak kamu sudah besar, ya, Ga. Dulu kayaknya dia masih remaja. Makin ganteng. Andai saya punya anak perempuan seusianya, pasti akan saya kenalkan," ucap salah satu tamu dengan potongan rambut cepak.

Ayah Hazel tertawa. "Dia sempat ikut saya ke Singapura selama beberapa tahun, jadi wajar kalau penampilannya semakin dewasa. Saya ajarkan banyak hal di sana."

Irish sempat bingung dengan perkataan ayah Hazel, tapi dia baru sadar kalau Hazel sempat menyinggung masalah tersebut. Sepertinya Hazel memang pergi ke Singapura hingga mereka berpisah. Jadi, pria itu benar-benar meninggalkannya ke negeri seberang? Irish pikir, Hazel masih berada satu negara dengannya. Sebenarnya, apa yang terjadi? Tidak mungkin Hazel pergi hanya untuk menjenguk orang tuanya dalam rentang waktu yang cukup lama.

"Bagus kalau begitu. Dia sudah siap kalau sewaktu-waktu diminta untuk menggantikan ayahnya." Kali ini, sosok pria bertubuh tambun yang menimpali.

Ayah Hazel melirik anaknya penuh arti. "Rasanya memang sudah pantas, ya? Apalagi Alam akan stay di Jakarta. Jadi, tidak ada yang bisa membantu saya lagi. Kalaupun Alam masih bisa membantu saya dari Jakarta, tapi tentunya tidak secara intens."

Hazel menggeleng pelan. "Apa maksud Papa? Papa udah tahu jawaban saya, kan?"

"Loh? Memangnya kenapa? Apa salah kalau seorang ayah ingin anaknya melanjutkan bisnis keluarga? Papa sudah semakin tua, Zel. Memang sudah sepantasnya yang muda yang turun tangan."

Sebenarnya, Hazel enggan membahas hal ini kepada sang ayah, apalagi di hadapan tamu, tapi dia sungguh tidak berencana untuk melanjutkan bisnis keluarga mereka. Dia punya mimpi untuk menjadi seorang desainer interior, dan bisnis keluarganya, bukanlah bidang Hazel. Ayahnya juga tahu itu. Kejadian tiga tahun lalu hanyalah bakti seorang anak kepada orang tuanya.

"Kita udah bicarakan hal ini, Pa."

"Loh, kenapa kamu tidak mau melanjutkan bisnis orang tua kamu, Zel? Bisnisnya sudah semakin besar, jadi kamu tinggal tingkatkan lagi." Sahutan dari tamu ayahnya hanya dibalas embusan napas oleh Hazel. Ayahnya pasti sengaja membicarakannya di sini agar pria itu mempunyai pembela dan membuat Hazel tak berkutik.

"Papa suruh saya ke sini cuma untuk bahas ini aja? Bisa di rumah, Pa. Sekarang hari bahagianya Alam, jadi bisa jangan bicarakan pekerjaan untuk sesaat?" Hazel tak ingin semakin memperpanjangnya, yang pasti akan menimbulkan perdebatan. Dan akan berdampak pada acara yang sedang berlangsung.

"Om Anggara dari dulu memang begitu, Mbak. Keras kepala dan nggak mau ngalah. Apa pun yang diucapin, jadi ultimatum untuk orang yang dimaksud, nggak terkecuali Mas Hazel yang kehidupannya udah diatur dari kecil. Jadi, dia nggak bisa sebebas anak-anak lainnya."

Irish mendengarnya. Meski di sekitarnya sangat bising, dua rungunya masih mampu menangkap setiap ucapan yang terlontar dari mulut ayah Hazel, begitu juga dengan penjelasan Lavender yang ternyata masih berdiri di sebelahnya. Satu kesimpulan yang langsung tercetus di kepala Irish; sehambar apa kehidupan Hazel? Dari dulu, saat mengenal Hazel, Irish hanya mengira kalau kehidupan Hazel serba sempurna. Mempunyai teman yang banyak, sering mengikuti aktivitas sekolah maupun kampus, dan bersendok emas. Namun, nyatanya apa yang dia lihat tak sesuai dengan kenyataannya.

"Tapi dia nggak pernah bilang apa-apa dengan aku." Malah Irish yang lebih banyak bercerita mengenai kehidupannya. Dia hanya mengenal Hazel sebagai pendengar yang baik.

"Nggak heran. Dia memang setertutup itu walaupun kelihatannya mudah didekati. Dia juga tiba-tiba tinggalin Mbak Irish tanpa alasan, kan?"

Irish mengangguk. "Kamu tahu dari mana?"

Lavender tersenyum lebar, menampilkan deretan giginya yang rapi. "Mas Alam nggak bisa jaga rahasia. Hmm, lebih tepatnya suka keceplosan. Jadi, ya, begitu. Tapi, aku udah nggak heran kalau Mas Hazel nggak bilang apa-apa dengan Mbak Irish. Dia nggak mau bikin orang-orang sekitarnya khawatir dengan dia. Mas Hazel lebih suka khawatirin orang."

"Papa mau kenalin kamu dengan seseorang."

Fokus Irish seketika beralih. Dia kembali menatap Hazel dan ayahnya yang masih belum selesai berbicara.
Alis Hazel berkerut. Apa orang itu, perempuan yang dimaksud Lavi?

"Siapa?"

"Sebentar. Papa panggilin dulu." Mata ayah Hazel meliar, mencari perempuan yang dibawanya tadi. Begitu menemukannya, ayah Hazel langsung memanggil perempuan itu. "Ayana!"

Terkejut? Tentu saja. Hazel bahkan sampai menatap Irish yang juga tak kalah terkejutnya. Kalau hanya nama saja yang sama, tentu tidak masalah. Namun, perempuan yang dimaksud ayah Hazel memang perempuan yang Hazel dan Irish kenal. Ayana yang menyukai Hazel, yang juga merupakan klien pria itu.

Astaga ... bagaimana ayah Hazel bisa mengenal Ayana?

"Nah, ini dia. Ayana. Perempuan yang mau papa kenalkan ke kamu."

Ayana tersenyum kepada Hazel, senyum yang Irish bisa artikan sebagai senyum kepuasan.

"Pa. dia..."

"Kata Ayana, kalian udah saling kenal, ya?"

"Wah, siapa ini Pak Anggara? Cantik sekali." Pujian yang dilontarkan oleh tamu ayah Hazel, membuat Ayana tersipu.

"Cantik, kan? Dia salah satu anak dari klien saya, yang juga akan menjadi anak menantu saya."

Jawaban ayah Hazel yang terkesan enteng itu berhasil menciptakan kerutan dalam di kening Hazel. "Anak menantu?"

Ayah Hazel mengangguk bersemangat. "Iya. Papa ingin menjodohkan kamu dengan Ayana. Bagaimana?"

Kejutan kedua. Perkataan ayahnya seperti petir di siang bolong. Dijodohkan? Bagaimana bisa ayahnya menjodohkannya begitu saja? Tanpa berdiskusi terlebih dahulu. Lagi pula, ini sudah bukan zamannya Siti Nurbaya yang bisa dijodohkan dengan siapa pun, tanpa persetujuan dari kedua belah pihak. Padahal, ayahnya lulusan dari universitas terbaik dengan nilai di atas rata-rata. Memiliki pemikiran modernisasi yang sangat menyayangkan kekolotan orang-orang, tapi nyatanya pria itu sama saja. Tak ada bedanya dengan orang-orang yang dikomentari.

"Pa. Ini sama sekali nggak lucu." Hazel menolak fakta tersebut. Dia masih berharap kalau ayahnya hanya bercanda. Namun, gelengan dari sang ayah sukses menghantam dada Hazel.

"Papa nggak lagi bercanda. Kamu ingat dengan kata-kata papa waktu di Singapore kemarin? Papa pengin kamu melanjutkan bisnis papa di sana, dan menikah dengan Ayana merupakan jalan terbaik. Orang tua Ayana juga sedang berada di sana. Jadi, kalian bisa pindah dan menatap. Bukankah ini ide yang bagus?"

Iya, ayahnya memang pernah berceletuk begitu, tapi Hazel tidak tahu kalau perempuannya adalah Ayana. Dan, Hazel hanya menanggapinya dengan santai karena merasa kalau ayahnya tidak benar-benar serius.

"Saya nggak ada niatan untuk pindah ke Singapore, Pa. Menikah itu bukan perkara mudah. Saya tidak suka dijodohkan begini, dan mama setuju. Lalu, kenapa Papa justru berpikir sebaliknya?"

"Zel. Masa depan kamu sudah ditentukan, jauh sebelum kamu lahir. Papa memperbolehkan kamu bekerja semau kamu karena papa tahu kalau kamu akan mengambil alih bisnis keluarga kita. Jangan keluar dari jalur yang seharusnya, Zel!"

Hazel membuang napasnya kasar. Dia bisa melihat tamu-tamu ayahnya dan Ayana hanya diam mematung, menjadi pendengar dari pertengkarannya dengan sang ayah. Selalu begini. Mereka ibarat air dan minyak yang tidak bisa bersatu. Sejujurnya, Hazel sangat malu, tapi mau bagaimana lagi? Ayahnya yang memulai lebih dulu.

"Pa! Apa Papa pernah sedikit saja mengerti perasaan saya? Saya pikir tidak. Saya muak, Pa! Selalu mengikuti kemauan Papa yang tidak ada habisnya. Saya mungkin hanya bisa diam, tapi untuk masalah ini, saya nggak akan diam lagi. Saya udah punya perempuan yang saya cintai dengan sangat, dan saya hanya akan menikah dengan dia." Hazel menoleh ke arah Irish berada, tapi ternyata perempuan itu sudah menghilang. Hanya ada Lavender yang diam seperti patung.

Hazel diserang kepanikan. Irish pasti pergi setelah mendengar ucapan ayahnya. Tidak, tidak. Irish tidak boleh pergi. Dia tidak mau kehilangan Irish lagi. Tanpa mengucapkan apa pun, Hazel langsung berlalu dari hadapan ayahnya, mengabaikan panggilan pria itu yang menyuruhnya kembali.

Tujuannya hanya satu; menemukan Irish.

***

Bali, 09 November 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top