38. Sapaan Hangat

When the night changes, i hope we stay together.

***


Bak keluarga sosialita yang setiap melakukan pertemuan selalu membahas bisnis, saham maupun barang bermerek, begitulah gambaran Irish mengenai keluarga Hazel. Tak ketinggalan, pakaian-pakaian modis mereka yang ditaksir berharga expensive, membuat Irish seolah-olah menjadi upik abu di antara berlian. Dia ... merasa kecil berada di antara lingkaran keluarga Hazel.

"Kenalin. Ini Irish Blossom. Tamu spesial kita hari ini." Lavender mengenalkan Irish kepada beberapa perempuan bermacam usia yang sedang bercakap-cakap. Irish dapat menebak kalau mereka adalah para nyonya maupun tuan putri dari pihak Hazel.

Namun, apa itu? Tamu spesial? Irish malah berpikir kalau dia merupakan tamu tak diundang yang tidak pantas berada di acara mewah ini. Astaga ... dia jadi ingin pulang. Walaupun sudah memakai pakaian mahal yang dibelikan Hazel, tetap saja auranya menampilkan kemiskinan.

"Irish Blossom? Tamu spesial kita? Kenapa?" tanya salah satu perempuan berusia lima puluh tahunan dengan rambut yang disanggul seraya menatap Irish dari atas ke bawah. Sikapnya itu langsung mengingatkan Irish kepada Lavender saat mereka pertama kali bertemu di pintu tadi. Jangan bilang kalau...

"Iya, Ma. Tamu spesial kita. Hmm, bisa dibilang calon keluarga kali, ya?" Lavender senyam-senyum lalu menyenggol bahu Irish. Yang disenggol hanya mampu tersenyum kikuk, bingung harus merespons bagaimana. Andai ada Mauve atau Neiva, mungkin dia tidak akan secanggung ini.

"Dia pacar aku." Sosok Hazel yang entah habis dari mana—mungkin mengobrol sebentar dengan para tamu—akhirnya muncul. Tanpa malu-malu, pria itu merangkul pinggang Irish, menarik tubuhnya lebih dekat sekaligus memberi kenyamanan pada kekasihnya. Dari kejauhan, dia sudah melihat kegelisahan Irish, yang membuatnya buru-buru mendekati perempuan itu.

"Loh, memang iya? Kenapa kamu nggak pernah bilang dengan mama?"

Mama?

Mata Irish seketika melotot saat seorang perempuan paruh baya yang masih cantik dan terlihat awet muda memanggil dirinya sendiri dengan sebutan 'Mama' kepada Hazel. Jadi, ini perempuan yang sudah melahirkan anak seperti Hazel? Pantas saja Irish sempat merasa familier.

"Karena aku ngerasa belum ada waktu yang pas. Mama tahu, kan, kalau kita LDR? Aku nggak mungkin bawa Irish ke Singapura di saat kerjaan aku lagi sibuk-sibuknya."

Wait, wait. Singapura? Maksudnya?

"Orang tua aku tinggal di Singapura, Rish. Alam juga tinggal di sana awalnya, tapi setelah menikah, dia mutusin untuk stay di Jakarta," jelas Hazel dengan senyuman terlukis di sudut bibirnya, seakan-akan mengetahui isi pikiran Irish.

"Oh, gitu..." Irish mengangguk-angguk. Tiba-tiba, mama Hazel melangkah menghampirinya, menimbulkan kegugupan di benak Irish. Dia menelan ludahnya susah payah, takut kalau-kalau mama Hazel tidak setuju dengan hubungan mereka. Terlebih, tatapan perempuan itu seperti tengah menilainya meski mengukir senyuman manis yang sangat mirip dengan anaknya.

"Kamu beneran pacar anak saya?" tanya mama Hazel seraya meletakkan tangannya di lengan Irish.

"I-iya, Tante."

"Kamu cinta dengan anak saya? Nggak ada niatan jahat apa pun, kan?"

"Enggak, kok, Tante. Aku beneran tulus cinta dengan Hazel." Irish menjawabnya dengan ragu-ragu, merasa terintimidasi dengan tatapan mama Hazel.

Aduh, apa jangan-jangan bakal ada kejadian kayak di sinetron, ya? Nanti mama Hazel kasih aku uang supaya jauhin anaknya.

Oke, sepertinya Irish kebanyakan menonton sinetron.

"Ma? Kenapa tanya gitu? Kalau Irish ada niat jahat ke aku, nggak mungkin dia terima aku." Hazel membela Irish.

"Loh? Siapa yang tahu kalau alasan dia terima kamu karena ada niat jahat?"

Jangankan niat jahat, Tan. Aku mau pergi aja, selalu ditahan Hazel. Seharusnya aku yang curiga dengan anak Tante.

Irish tak mampu mengatakan isi hatinya. Baru pertama kali bertemu calon mertua, harus jaga image. Mungkin kalau mama Hazel tahu bagaimana sifat anaknya saat bersama Irish, perempuan itu pasti menyesal sudah berucap demikian kepadanya.

"Tenang, Tan. Saya bukan orang yang seperti itu." Irish berusaha untuk tersenyum, walaupun bibirnya terasa kaku. Dia ingin pergi dari sini!

Hazel berdecak, kasihan dengan Irish yang tampak tertekan. "Ma, Irish itu perempuan yang pernah aku ceritain ke Mama. Yang katanya Mama pengin ketemu dengan dia. Ya, ini orangnya."

Alis mama Hazel berkerut samar. Dia kembali menatap Irish dengan lebih teliti sebelum matanya membulat sempurna. "Jadi perempuan ini..." Tanpa aba-aba, mama Hazel memeluknya erat, yang membuat Irish terbengong, heran. Dia melirik Hazel, meminta penjelasan tapi pria itu justru mengangkat bahu sambil tersenyum misterius.

"Oh, Tuhan ... maafin mama karena nggak kenal dengan kamu. Mama pikir kamu orang yang berbeda. Maklum, Hazel nggak pernah kasih lihat foto kamu ke mama."

Apalagi ini? Kenapa tiba-tiba mama Hazel juga memanggil dirinya dengan sebutan 'Mama' kepada Irish? Maksudnya, mama Hazel adalah mama mereka bersama? Atau apa?

"You look so gorgeous. Kenapa baru muncul sekarang, sih, Nak? Dari dulu mama selalu pengin ketemu kamu," ucap mama Hazel setelah pelukan mereka terlepas. "Pasti gara-gara Hazel, ya, yang nggak kasih kamu untuk ketemu dengan Mama? Memang anak kurang ajar!" Mama Hazel memukul sang anak hingga meringis kecil.

"Mama apa-apaan, sih? Bukan gara-gara aku. Tapi papa. Salah siapa yang nyuruh aku pergi?" Dumelan yang dikeluarkan Hazel tanpa sengaja seketika mengalihkan perhatian Irish. Dia menatap Hazel bingung, sementara si pelaku pura-pura tidak tahu. Irish hendak bertanya, tapi urung tatkala mama Hazel sudah menggiringnya ke perkumpulan perempuan-perempuan sosialita dan mengenalkannya sebagai menantu.

Untuk sesaat, kebingungan Irish tergantikan oleh sikap malu-malu yang mengakibatkan wajahnya memerah seperti tomat.

***


"Gimana? Seru ngobrol dengan keluarga aku?" tanya Hazel ketika mereka duduk berdua di bangku dekat prasmanan. Di depan sana, tepatnya di panggung, Alam sedang menyanyikan lagu Perfect milik Ed Sheeran sebagai hadiah untuk sang istri yang tersipu di pelaminan.

Melihat keduanya, tak dipungkiri kalau ada rasa iri di hati Hazel. Dia juga ingin segera berada di posisi tersebut, tapi dia juga harus mengerti kalau Irish tak ingin terburu-buru dalam mengambil keputusan besar yang akan membawa hubungan mereka ke jenjang yang lebih serius.

"Seru, sih, tapi capek juga. Keluarga kamu banyak banget, ya? Orang hebat semua." Irish tak mengada-ada. Nyatanya, sepanjang dia dikenalkan oleh mama Hazel, Irish tak berhenti berdecak kagum dengan profesi yang digeluti oleh keluarga Hazel. Mulai dari dokter, hingga pengusaha besar. Bahkan, dari kalangan aktor terkenal yang sering membintangi perfilman Indonesia pun ada.

Entah apa yang ada di pikiran mereka saat mengetahui kalau Irish hanyalah seorang perempuan biasa yang bekerja sebagai asisten Hazel.

"Iya, makanya aku punya beban—ehm, lebih tepatnya tanggung jawab untuk memenuhi standar mereka juga." Hazel menyahut sebelum memasukkan potongan pancake ke dalam mulutnya.

"Pantesan kamu kelihatan ambisius banget. Tapi memang pada dasarnya keluarga kamu orang hebat, jadi anak-anaknya juga mengikuti."

"Orang tua kamu juga nggak kalah hebat, Rish, karena memiliki anak seperti kamu. Kalau nanti aku ketemu mereka, aku mau ngucapin terima kasih karena sudah merawat kamu dengan baik, sampai membuat aku jatuh hati."

Kenapa Hazel selalu mengatakan hal-hal yang picisan, sih? Apa pria itu tidak sadar di mana mereka berada sekarang? Jangan sampai ada yang mendengar ucapan Hazel dan berakhir dengan muntah di tong sampah.

Geli!

"Nggak usah aneh-aneh, deh. Gombalan kamu tuh nggak menarik." Irish cepat-cepat menunduk, menghindari tatapan Hazel yang membuatnya tak bisa menahan senyum lebih lama.

"Kalau nggak menarik, kenapa pipi kamu merah banget?"

"Eng-enggak ada! Ini cuma efek blush on, kok." Irish langsung menutupi pipinya yang memang memanas.

Hazel tertawa. Perempuan itu benar-benar sangat lucu! Setelah hampir tiga tahun dia menjalani kehidupan yang abu-abu, akhirnya Irish kembali mewarnai hidupnya seperti pelangi. Tingkah Irish yang bergengsi tinggi menjadi hiburan bagi Hazel. Kalau terus begini, dia tidak perlu lagi healing jauh-jauh hingga ke ujung dunia. Cukup rayu Irish, maka bebannya akan terangkat.

"Iya, deh. Mungkin salah pihak salonnya yang terlalu banyak polesin blush on ke pipi kamu."

Irish hanya manyun lalu memakan mango sago. Di tengah-tengah acara makannya, tiba-tiba dia teringat sesuatu.

"Omong-omong, Zel. Papa kamu ke mana? Kenapa nggak ada? Atau memang aku yang nggak lihat?"

Memang benar. Dari saat dia diperkenalkan satu persatu oleh keluarga Hazel, Irish tak dapat menemukan keberadaan ayah Hazel, meski batang hidungnya sekalipun. Dia penasaran bagaimana wajah calon ayah mertuanya. Kalau mama Hazel saja sudah secantik itu, lalu bagaimana dengan ayahnya?

"Papa? Lagi ada kerjaan. Mungkin nanti nyusul. Aku juga heran. Padahal ini pernikahan keponakannya, tapi masih sempet-sempetnya kerja." Hazel menggeleng, tak mengerti dengan jalan pikiran sang ayah. Pria itu terlalu gila bekerja, yang juga menjadi penyebab kepergian Hazel tiga tahun lalu.

"Mirip kayak kamu. Buah jatuh nggak jauh dari pohonnya."

Hazel mengernyit, tak setuju dengan ucapan Irish. "Aku dan papa itu beda, Rish. Aku masih bisa nikmatin waktu untuk diri sendiri, dan kamu. Kalau papa, bahkan nggak jarang mama sering diabaikan. Udah untung mama mau ikut papa ke Singapura."

Mendengarnya, Irish langsung menggeplak lengan Hazel. "Gitu-gitu juga beliau ayah kamu, Zel. Setidaknya, pasti ada salah satu karakter ayah kamu yang diturunin ke kamu."

Hazel hanya mengedikkan bahu. "Dan aku harap, karakter itu bukan karakter buruk yang bisa nyakitin orang lain."

Jawaban Hazel, berhasil menimbulkan pertanyaan di benak Irish.

***

Bali, 09 November 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top