36. Kejutan Ringan
Semakin lama, hubungan ini terasa menyenangkan sekaligus mendebarkan. Bersembunyi dari orang-orang, tapi diam-diam menjalin kemesraan.
***
Meski baru saling mengenal, nyatanya Irish merasa canggung kepada Jasmine hanya pada saat pertemuan pertama mereka. Pembawaan Jasmine yang asik mampu mendekatkan mereka dengan cepat. Namun, Irish kembali menemukan kecanggungan itu saat Jasmine memergokinya dan Hazel tengah bermesraan. Bahkan, beberapa kali Jasmine melirik cincin yang melingkar manis di jari manisnya.
Irish berusaha menutupi cincin tersebut menggunakan tangannya yang lain. Berdeham sejenak—membasahi tenggorokannya yang terasa kering—dia mulai angkat suara. "Mbak Jas, aku..."
"Jadi kamu punya hubungan dengan Pak Hazel?" Jasmine menyerobotnya. Duduk mereka yang berhadapan membuat Irish bisa menatap ekspresi Jasmine dengan mudah. Beruntung, suasana pantry sedang sepi, jadi tidak ada yang mendengar percakapan mereka berdua.
Hazel? Pria itu memberi waktu Irish untuk berbicara dengan Jasmine, sementara dirinya pergi bersama Sian. Barangkali Hazel mengerti kalau Irish merasa tidak enak karena selama ini sudah menutupinya dari Jasmine. Ya, perasaan tidak enak dan Irish seakan-akan sudah menjadi satu kesatuan. Padahal, Hazel sudah bilang kalau Jasmine pasti tidak akan terlalu ambil pusing.
"Iya, Mbak. Maaf, kalau mungkin Mbak merasa dibohongi." Karena gugup, secara alamiah Irish mengelus cincin pemberian Hazel, berharap hal itu dapat sedikit menenangkannya.
Alis Jasmine berkerut. "Kenapa minta maaf? Kamu nggak salah apa pun, Rish."
Tidak ada yang salah dari ucapan Jasmine, bukan? Dia memang sempat syok dengan fakta yang baru dia ketahui—terlebih, Irish dan Hazel baru saling mengenal, tapi Hazel sudah seyakin itu kepada Irish. Namun, setelah dipikir-pikir, cinta memang tidak bisa ditebak. Yang dirasa mustahil, bisa menjadi mungkin.
Selain terkejut, tak dipungkiri kalau Jasmine juga bersyukur dengan hubungan keduanya. Itu membuktikan kalau seksualitas Hazel masih normal. Tidak belok.
"Karena aku dan Pak Hazel nutupin ini. Bersikap seolah-olah kami saling membenci, kayak Tom and Jerry, padahal kenyataannya kami punya hubungan."
Jasmine diam sejenak lalu tertawa kecil. Dia mengibaskan tangannya. "Santai aja, Rish. Aku tahu yang namanya privasi. Apalagi di kantor, kalian, kan, atasan dan bawahan. Nggak mungkin juga kamu koar-koar kalau punya hubungan dengan Pak Hazel."
Irish menyisipkan senyum tipis. Walaupun Jasmine tak mau diambil serius, tapi dia masih tidak nyaman dengan ini. Maksudnya ... kenapa Jasmine harus mengetahuinya dengan cepat? Oke, Jasmine sudah klarifikasi kalau ini semua lantaran kelalaiannya dan Hazel yang tidak mendengar ketukan pintu Jasmine, membuat perempuan itu mau tak mau menerobos ke dalam.
Namun, tetap saja, setidaknya Jasmine bisa mengetahuinya nanti—saat mereka sudah menyebar undangan misalnya. Supaya surprise dan tidak terlalu cepat. Mungkin nanti dia bisa mengarang cerita kalau dia dan Hazel memiliki perasaan satu sama lain seiring berjalannya waktu.
"Tapi, Mbak Jasmine nggak bakal bilang ke orang lain, kan? Tentang hubungan aku dan Pak Hazel." tanya Irish hati-hati, tak ingin Jasmine tersinggung. Dia memang percaya dengan Jasmine, tapi tak ada yang tahu isi hati seseorang. Dia masih harus waspada.
Jasmine mengangkat sebelah alisnya. Satu lengannya bersandar di atas meja pantry sambil berpangku dagu. "Aku mungkin suka cengengesan dan suka gosip, Rish. Tapi kamu tenang aja. Kalau disuruh tutup mulut, aku juga bisa. Rahasia kamu bakal aman di aku."
Irish menghela napas lega. "Syukur, deh, Mbak. Ya, sebenarnya aku masih ragu untuk publikasiin hubungan ini."
Jasmine menepuk bahu Irish. "Nggak ada yang salah, kok, dari hubungan ini, Rish. Lagi pula, aku udah penasaran dengan gayanya Pak Hazel kalau lagi bucin," ucapnya sembari terkekeh geli, membayangkan atasannya yang perfeksionis, akhirnya bertekuk lutut kepada seorang perempuan, modelan seperti Irish yang sedikit ceroboh.
"Tetep aja ngeselin, Mbak. Aku suka nggak tahan dengan Pak Hazel." Sedikit demi sedikit, Irish mulai kembali nyaman dengan Jasmine. Ibarat seorang kakak yang selalu mendukung keputusan adiknya.
"Tapi emang, sih, dari awal aku udah agak curiga dengan Pak Hazel. Kamu inget kejadian waktu di restoran Mbak Ayana? Yang ... waktu Pak Hazel ambilin kamu nasi goreng?"
Irish mengangguk. Tentu dia ingat akan kejadian itu, di mana pada akhirnya Ayana mengirim sinyal-sinyal permusuhan kepadanya.
"Nah. Tumben banget, loh, Pak Hazel sepeka itu. Maksudku, Pak Hazel mungkin baik. Tapi sikapnya ke kamu itu, aku lihat agak berbeda. Awalnya aku pikir, mungkin karena Pak Hazel pengin bikin kamu nyaman dengan kerjaan ini, tapi setelah tahu kalau kalian punya hubungan, aku langsung sadar kalau Pak Hazel perhatian dengan kamu karena beliau memang suka dengan kamu."
Mendengarnya, entah kenapa Irish justru tersipu malu. Apa terlihat sejelas itu? Dia bahkan tak sadar. Dia hanya berpikir kalau Hazel suka mencari gara-gara dengannya.
"Mbak Jas bisa aja. Asal Mbak tahu, Pak Hazel selalu bikin aku kesal. Nyebelin banget."
"Mungkin itu cara beliau untuk narik perhatian kamu, Rish. Laki-laki memang suka begitu. Semakin orang yang disuka kesel, semakin bagus."
Ah, andai Jasmine tahu sikap Hazel di masa lalu yang pernah meninggalkannya, mungkin Jasmine akan mengumpati pria itu.
"Nggak gitu juga, Mbak. Yang ada aku darah tinggi."
Jasmine tertawa. Tak heran, dia yang menjadi sekretaris Hazel saja terkadang suka dibuat sakit kepala. "Omong-omong, Rish. Pak Hazel romantis, nggak? Suka kasih kejutan gitu, atau mungkin loyal?"
"Hm." Irish bersikap seolah-olah tengah berpikir, meski sebenarnya jawaban itu sudah ada di kepala. Jangankan suka membuat kejutan, Hazel juga suka menghilang, seperti ninja.
"Ih, kelamaan kamu mikirnya," dumel Jasmine.
Irish terbahak. "Maaf, Mbak. Ya, udah. Aku kasih tahu. Pak Hazel itu..."
"Rish?"
Keduanya langsung menoleh, dan menemukan Hazel sudah berdiri di ambang pintu sambil memasukkan tangan di saku celana.
"Oh, Pak Hazel." Jasmine melayangkan senyum hormat.
"Kenapa, Pak?" tanya Irish saat Hazel mulai melangkah mendekati mereka.
"Enggak apa-apa. Saya mau makan siang. Kamu mau ikut?" Dengan lembut, Hazel mengelus rambut Irish, membuat dua perempuan di sana memberikan respons yang berbeda. Jasmine dengan wajah melongonya, dan Irish dengan raut salah tingkahnya. Malu!
"Berdua aja?" Irish berusaha untuk bersikap biasa saja.
"Jasmine kalau mau ikut, nggak masalah."
"Eh? Oh? Nggak, nggak usah, Pak. Saya di kafetaria aja makannya." Jasmine langsung menolak. Tidak mungkin dia menjadi obat nyamuk di antara love birds ini kan? Yang ada dia jadi ngenes.
"Loh? Kebetulan saya juga mau ajak Irish ke Kafetaria. Tenang, Jas. Saya traktir, deh. Itung-itung, pajak jadian saya dan Irish."
"Pajak jadian apa, sih?" Irish menggerutu. Sejujurnya, dia masih malu karena hubungannya dengan Hazel terbongkar oleh Jasmine.
"Ehm, nggak usah, Pak." Jasmine masih menolak meski iming-iming traktiran membuat perutnya bergejolak.
"Nggak apa-apa. Ikut aja. Saya memaksa."
Dan, kalau Hazel sudah mengeluarkan ultimatum, Jasmine tidak bisa menolaknya lagi.
***
Kafetaria cukup ramai di saat makan siang. Dan, itu justru menimbulkan perasaan tidak nyaman di hati Irish. Semenjak hubungannya ketahuan, dia jadi merasa seolah-olah orang-orang di kantor memperhatikannya. Padahal, faktanya mereka tidak tahu mengenai hubungannya dengan Hazel. Ibarat maling magang yang baru saja berhasil mengambil barang yang ditargetkan.
"Pak, ini nggak kebanyakan?"
Irish menoleh ketika mendengar suara Jasmine. Perempuan itu menatap berbagai macam makanan yang terhidang di atas meja dengan takjub.
"Kebanyakan apanya? Nggak, kok. Anggap aja bonus." Hazel menyahut dengan santai sembari memasukkan soto ayam ke dalam mulutnya.
Irish mencibir. Tadi katanya untuk pajak jadian, sekarang malah bonus. Dasar plin-plan!
"Aduh, Pak. Jangan baik-baik dengan saya, nanti Irish cemburu," ucapnya bercanda. Pasalnya, Hazel memang serius dengan ucapannya yang ingin mentraktir Jasmine. Lihat saja seberapa banyak makanan di atas meja mereka. Bahkan, beberapa karyawan sempat melirik ke arah mereka dan berbisik-bisik, barangkali berpikir kalau mereka tengah mengadakan pesta segitiga.
Hazel tersenyum tipis. "Irish nggak bakal cemburu. Justru saya yang keseringan cemburu dengan orang-orang yang dekat dengan dia."
Hazel Gombal Jenggala! Pria itu memang benar-benar pandai dalam bersilat lidah, ya. Kata-katanya sangat manis, semanis madu meski kenyataannya mengandung racun. Irish saja sampai terlena. Entah sudah berapa banyak perempuan yang terbawa perasaan karena omongan atau tindakan Hazel.
Ayana salah satu korbannya.
Omong-omong tentang Ayana, perempuan itu tidak pernah muncul lagi ke kantor Hazel, seakan-akan menyiratkan kalau dia sudah menyerah dan mengikhlaskan hubungannya dengan Hazel.
"Haduh, Pak. Kalau mau bucin, jangan di sini, masih di wilayah kantor. Kasihan dengan yang jomlo." Jasmine balik ke setelan pabrik. Sosok perempuan yang suka ceplas-ceplos, bahkan dengan atasannya sendiri.
"Ya, nggak apa-apa, dong. Saya ngegombalin calon istri saya juga."
Jasmine tersedak rendang. Dia buru-buru mengambil segelas air lalu menegaknya hingga tandas. Beruntung, suara orang-orang di kafetaria mampu meredam suara Hazel. Kalau tidak, mungkin mereka sudah menjadi pusat perhatian.
"Zel, kamu bikin Mbak Jasmine kesedak." Irish mengelus punggung Jasmine. Tanpa sadar, dia memanggil Hazel tanpa embel-embel 'Pak', dan Hazel tidak tampak keberatan.
"Faktanya memang begitu, kan."
"Maksud Bapak?" tanya Jasmine setelah merasa lega.
"Menurut kamu, kenapa saya kasih Irish cincin kalau bukan untuk mengajaknya ke hubungan yang lebih serius?"
Jasmine mengikuti arah tunjuk Hazel, dan dia tercenung. Berarti ... hubungan mereka sudah cukup jauh!
Astaga ... dia ketinggalan berita!
***
Bali, 09 November 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top