35. Simbol Percaya
Hari esok, tak ada yang tahu. Jangan terlalu bahagia dengan apa yang kamu punya hari ini, karena bisa jadi esok kamu akan dibalut rasa kecewa.
***
"Sial!"
Ayana melempar bantal sofa ke sembarang arah sambil berteriak kesal. Hazel sudah pergi beberapa saat lalu, tapi pernyataan pria itu masih terngiang di telinga. Dugaannya memang benar kalau Hazel dan asistennya mempunyai hubungan di luar pekerjaan. Kalau sebelumnya dia berusaha menampik hal tersebut, kini tidak bisa lagi lantaran Hazel sendiri yang mengaku.
Hah! Pantas saja dari awal Ayana kurang menyukai Irish. Perempuan itu seperti ular di balik wajah polosnya. Tindak-tanduknya pun tampak berani meski hanya menjadi asisten pribadi Hazel.
Lalu, itu berarti dia sudah tidak punya kesempatan lagi untuk mendekati Hazel? Dia sudah kalah bahkan sebelum berjuang? Memangnya, apa yang Hazel lihat dari diri Irish? Kecantikan? Kekayaan atau kemandirian? Ayana jauh di atas perempuan itu. Lagi pula, Ayana lebih dulu mengenal Hazel, tapi kenapa justru Hazel memilih Irish?
"Aku benci kamu, Rish!" Ayana menepis kotak P3K yang masih tergeletak di atas meja hingga isinya berceceran di lantai. Secara alami, setetes cairan sebening kristal mulai mengalir dari sudut matanya, yang semakin lama semakin deras. Ayana menangis sekencang-kencangnya. Rumahnya yang sepi seakan-akan menjadi saksi bisu kesedihannya, memeluk Ayana dalam keheningan yang mencekam.
Sejak pertama kali bertemu Hazel, Ayana sudah tertarik. Ketertarikannya semakin menjadi tatkala melihat keuletan pria itu. Semula, dia masih ragu untuk bekerja sama dengan kantor Hazel, tapi karena beberapa alasan—salah satunya adalah kecerdasan Hazel—akhirnya dia setuju.
Dari sana, dia dan Hazel menjadi lebih sering bertemu. Pertemuan-pertemuan yang memunculkan perasaan menggelitik di hatinya. Perasaan ingin memiliki, dan kecemburuan yang menyeruak ketika Hazel bersama dengan perempuan lain.
Semuanya berjalan dengan baik. Hazel memperlakukannya dengan sangat manis, barangkali memang karakternya begitu, yang membuat Ayana semakin menaruh harap. Namun, kenyataan yang baru saja dia dapatkan, menyentak diri Ayana. Dia seperti baru saja dicampakkan oleh Hazel.
Tanpa sadar, tangan Ayana terkepal erat. Dia membenci Irish. Perempuan itu sudah mengambil Hazel darinya, dan kalau Irish pikir dia akan diam saja, tentu tidak. Seorang Ayana selalu mendapatkan apa pun yang dia inginkan, termasuk Hazel.
Cepat-cepat, Ayana mencari ponselnya di antara bantal-bantal sofa. Setelah ditemukan, dia mencari sebuah kontak lalu menghubunginya. Tak lama menunggu, orang yang ada di seberang sana langsung mengangkat panggilannya.
"Kenapa, Na?" Suara berat yang agak serak seketika menyapa indra pendengarannya, membuat Ayana tersenyum tipis.
"Om? Bagaimana kabarnya?" Tanpa membereskan barang-barangnya yang berserakan, Ayana duduk di sofa seraya menyandarkan tubuhnya.
"Baik, baik. Tumben telepon, Na. Kamu lagi perlu bantuan?"
Ayana menggeleng. "Enggak, Om. Aku lagi nggak butuh bantuan. Tapi ... aku mau kasih jawaban atas penawaran Om dua tahun silam."
"Oh? Bukannya kamu bilang lagi nggak mau memikirkan perihal itu dulu?" Terselip nada keheranan dalam suara lawan bicara Ayana.
"Iya, Om. Itu memang benar." Ayana menatap layar televisinya yang hitam, menampilkan pantulan bayangannya yang tampak tidak keruan. Dia yang selalu memperhatikan penampilannya, menjadi sangat berantakan gara-gara pria bernama Hazel Jenggala. "Tapi itu, kan, dulu, Om. Aku pikir, semakin dewasa, aku memang perlu seseorang yang bisa dijadikan sandaran. Dan, ya. Aku memutuskan untuk menerima tawaran Om."
"Kamu serius, Na? Udah pikirin ini matang-matang?"
Ayana tertawa kecil, tawa yang sebenarnya tak sampai hingga ke mata. Kalau orang yang benar-benar teliti pasti tahu kalau tawa itu hanyalah sekadar formalitas semata.
"Aku nggak mungkin bohong, kan, Om?"
"Tapi bukannya kamu belum pernah ketemu dengan—"
"Udah. Aku udah pernah ketemu dengan dia, kok, Om." Ayana mengganti posisi ponselnya.
"Di mana? Kenapa kamu nggak kasih tahu om?"
"Setiap pertemuan memang nggak bisa ditebak, kan, Om? Kemarin-kemarin, aku masih berpikir, jadi belum berani kasih tahu Om, tapi sekarang udah enggak lagi. Aku yakin untuk berkomitmen dengan Hazel."
***
"Ayo, dong, Rish."
"Apaan, sih? Biasanya juga sendiri, kenapa sekarang beda gini?"
"Memang salah, manja dengan pacar sendiri?"
"Dih? Siapa yang pacaran dengan siapa?"
"Kamu dan aku. Kita. Hazel Jenggala dan Irish Blossom."
Irish menatap Hazel dengan kening berkerut. Kesabarannya benar-benar diuji oleh Hazel. Pasalnya, di pagi hari yang sedikit mendung ini, Hazel tiba-tiba meminta untuk disuapi. Iya, disuapi menggunakan tangan Irish. Terkejut bukan? Tidak juga, sih. Lantaran sejak mereka bertemu lagi, Hazel memang selalu melakukan hal-hal baru yang seringkali membuat Irish sakit kepala.
"Sarapan sendiri, Zel. Aku juga mau sarapan." Irish mendorong nasi goreng yang Hazel beli di tengah perjalanan menuju kantor tadi ke arah pria itu. Mereka memang berangkat bersama—Hazel tiba-tiba sudah nangkring di depan rumahnya—meski Irish sebenarnya sudah memesan ojek online hingga mau tak mau harus dibatalkan.
"Nah, apalagi kayak gitu. Kita barengan aja sarapannya, Rish. Supaya nggak terlalu banyak pake piring." Hazel memberi ide, yang semakin memperdalam kerutan di kening Irish. Lama kelamaan bersama Hazel, bisa-bisa kulit Irish cepat keriput dan menua gara-gara keseringan mengernyit.
"Yang cuci juga aku, kan? Kenapa kamu yang repot?" Meski begitu, tangannya tetap menuruti perintah Hazel. Dia yang hendak membuka bungkus nasi gorengnya, langsung mengurungkan niat dan justru mengambil piring berisi nasi goreng Hazel.
"Aku nggak mau ngerepotin pacar aku. Cuma itu."
"Geli banget, Zel. Omongan kamu bikin aku merinding." Irish menyendok nasi goreng lalu menyuapkannya ke mulut Hazel yang diterima dengan senang hati.
"Berarti nggak mau dipanggil pacar? Wifey aja gimana?" Hazel menyisipkan kedipan kepada Irish yang membuat perempuan itu bergidik ngeri. Orang seperti ini yang berhasil mengacaukan hatinya? Sungguh di luar dugaan sekali. Dia bahkan merasa kalau Hazel sudah menjampi-jampinya.
"Wifey? Kayak tethering maksud kamu?"
"Wifey, Yang. Bukan WiFi." Gemas, Hazel mengacak pelan rambut Irish yang dikuncir kuda.
Irish mendengkus. Giliran dia menyendokkan sesuap nasi goreng lalu memasukkannya ke dalam mulut. "Lagi pula, kenapa masih bahas itu, sih? Kayaknya, topik pembicaraan kamu nggak jauh-jauh dari pernikahan. Kenapa? Kamu ngebet nikah?"
Hazel mengedikkan bahu. Tangannya terulur, menyeka sudut bibir Irish yang tertempel sebutir nasi. "Kalau kamu pasangannya, aku nggak bakal bosen untuk ajak kamu ke pelaminan. Umur-umur kayak kita itu udah nggak pantes lagi untuk pacaran menye-menye, Rish. Udah saatnya kita fokus dengan masa depan yang lebih baik lagi."
"Kalau misalnya kita nggak berjodoh, gimana?"
"Setelah perjuangan yang aku lakuin, masa kita nggak berjodoh, sih? Nanti aku rayu Tuhan supaya kita berjodoh," ucap Hazel dengan kerlingan matanya.
Spontan, Irish tertawa, meski diam-diam dia mengaminkan ucapan Hazel. Dia dan Hazel sudah sampai ke tahap ini, jadi kalau mereka tidak berjodoh, bukankah sangat disayangkan? Sungguh, Irish benar-benar jatuh cinta dengan Hazel. Dia tidak mau berpisah lagi dari pria itu. Dia akan melakukan apa pun asalkan terus bersama Hazel.
"Kamu mau, kan, nikah dengan aku?" tanya Hazel. Sepertinya pria itu tak pernah bosan untuk melontarkan pertanyaan yang sama kepada Irish. Namun, berbeda dengan sebelumnya yang agak sangsi, kali ini entah kenapa hati Irish menjadi lebih yakin. Ini, kan, yang dia inginkan dari dulu? Bersatu dengan Hazel dalam bahtera rumah tangga.
"Tapi, nggak sekarang, kan, Zel? Bukan dalam waktu dekat juga?" Irish bertanya dengan hati-hati. Dia belum memberitahu orang tuanya mengenai kedatangan Hazel lagi. Dan tentunya, dia juga belum mengenal keluarga Hazel sepenuhnya. Pernikahan bukan hanya sebatas menyatukan ego antar dua insan, melainkan menikahi dan menerima keluarganya sekalian.
"Ya, enggak. Masih banyak proses yang harus kita lalui, Rish. Nggak bisa satsetsatset. Aku juga pengin yang terbaik untuk acara sakral kita nanti." Hazel mengambil piring berisi nasi goreng dari tangan Irish lalu meletakkannya di atas meja. "Aku cuma minta pendapat kamu aja, kesediaan kamu untuk menikah dengan aku."
Irish hanya terdiam saat Hazel merogoh saku celananya, mengeluarkan kotak beludru berwarna merah dan menunjukkannya ke hadapan Irish. Perempuan itu langsung terkejut, sangat. Dia bahkan sampai menutup mulutnya, tak percaya. Dia tentu bukan orang bodoh yang tidak tahu isi dari kotak beludru tersebut. Namun, untuk apa Hazel memberikannya? Astaga ... jangan-jangan ini adalah sebuah lamaran? Tapi, kenapa harus di kantor dan sedang dalam keadaan tidak siap? Tidak ada hal spesial selain nasi goreng beserta teh hangat.
Memahami keterkejutan Irish yang pastinya menimbulkan tanda tanya besar, Hazel langsung menjawab, "Ini bukan lamaran, kok. Aku juga nggak mau ngelamar kamu dengan cara yang biasa-biasa aja. Ini cuma simbol aja."
Hazel membuka kotak beludru tersebut, menampakkan sebuah cincin berbentuk daun yang melingkar dan love di bagian tengah. Simpel, tapi elegan. Pria itu menarik tangan kanan Irish, memasukkan cincin tersebut ke jari manisnya.
"Cantik." Hazel tersenyum sembari mengusap cincin tersebut. Irish menatap cincin yang melingkar indah di jarinya. Kapan Hazel membelinya? Benar-benar penuh kejutan, bukan?
"I-ini, jadi simbol apa, Zel?" Irish masih penasaran dengan maksud perkataan Hazel.
"Simbol kalau kamu punya aku. Jadi, nggak akan ada laki-laki yang boleh deketin kamu selain aku."
"Apa, sih, Zel?" Irish menggeleng, walaupun pipinya malah bersemu merah.
"Aku serius, Rish. Aku nggak rela kalau ada laki-laki lain coba-coba untuk deketin kamu."
"Tapi, kan—"
"Loh, Pak Hazel? Irish?"
Keduanya refleks menoleh, dan menemukan sosok Jasmine sudah berada di ambang pintu dan tengah menatap mereka dengan terkejut.
"Jasmine?"
"Mbak Jasmine?"
***
Bali, 01 Oktober 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top