34. Yang Terkuak
Dan pada akhirnya, sesuatu yang disembunyikan, tak akan pernah lama tenggelam di dasar lautan. Akan ada masanya sesuatu itu akan muncul ke permukaan.
***
Ponsel Hazel berdering nyaring tepat ketika dia baru saja menginjakkan kaki di apartemen sehabis dari rumah Irish. Mengambil ponsel di saku, dia melihat nama yang tertera di layar dengan alis berkerut. Ayana. Untuk apa lagi perempuan itu menghubunginya?
Meski begitu, Hazel tetap mengangkat telepon Ayana, barangkali memang ada yang perempuan itu butuhkan dengannya. Kalau Irish sampai tahu dia masih menanggapi Ayana, pasti Irish akan menggerutu atau merajuk.
"Kenapa, Na?" Berbeda dari sebelumnya, Hazel mengganti panggilannya kepada Ayana. Semata-mata untuk menjaga perasaan Irish. Toh, dari awal, panggilan 'Ay' bukan keinginannya, melainkan keinginan Ayana.
"Kamu di mana, Zel?"
Alis Hazel terangkat satu. Dia yang masih berdiri di ambang pintu, menyandarkan tubuhnya di tembok dengan satu tangan yang tenggelam di saku. "Lagi di apart. Kenapa?"
"Kamu bisa ke rumah aku? Kebetulan aku lagi di rumah. Sendirian."
Kebingungan semakin tercetak di wajah Hazel. Untuk apa Ayana menyuruhnya pergi ke rumah perempuan itu? Jujur saja, dia baru sekali ke rumah Ayana bersama Sian, itu pun karena masalah pekerjaan. Dan setahunya, Ayana tinggal bersama asisten rumah tangga beserta sopir dan satpam. Keluarganya tidak ada di Jakarta.
Hazel bisa menebak kalau ini bukan masalah pekerjaan. Mengingat kejadian beberapa saat lalu, dia yakini Ayana pasti menggunakan kesempatan itu untuk dekat dengannya. Hazel bukannya tidak tahu kalau Ayana suka padanya, tapi sekali lagi. Di mata Hazel, dia hanya tertarik dengan semua hal tentang Irish. Perempuan itu sudah menginvasi seluruh perhatiannya.
Hah! Belum ada satu jam mereka berjauhan, Hazel sudah rindu pada Irish. Sepertinya dia memang harus cepat-cepat mengikat Irish ke dalam komitmen yang lebih serius supaya Irish tetap berada dalam jangkauannya 24/7.
"Udah malem, Na. Kalau memang ada keperluan yang nggak terlalu penting, bisa besok aja di kantor?" Ya, meskipun dia berharap Ayana tak datang lagi ke kantornya. Namun, untuk urusan pekerjaan—misalnya—dia memang harus bersikap profesional, kan?
"Aku lagi sendirian di rumah, Zel. Asisten aku lagi pulang kampung. Aku nggak mungkin minta ditemenin dengan satpam, kan? Sebentar aja. Aku butuh kamu."
Hazel menghela napas. Suara permohonan Ayana yang terdengar sangat memelas sedikit mengusik Hazel. Dia paling tidak bisa kalau ada orang yang sampai memohon-mohon begitu kepadanya. Namun, dia juga tidak mungkin mengiyakan permintaan Ayana di saat dia dan Irish sedang dalam hubungan yang baik. Mau bagaimanapun, dia harus bisa menjaga jarak dengan perempuan lain, seperti Irish yang menjaga jarak dengan laki-laki lain.
"Maaf, Na. Aku nggak bisa. Coba tanya temanmu yang lain. Kamu nggak mungkin nggak punya teman, kan? Lagi pula, kita hanya sebatas rekan kerja. Aku nggak mungkin tiba-tiba datang ke rumah kamu tanpa urusan."
Keheningan merajai mereka sesaat. Hazel pikir Ayana akan menutup panggilan, tapi ternyata dia salah. Mungkin sekitar satu menit terdiam, Ayana kembali berbicara. "Aku perlu ganti plester luka aku. Tapi aku butuh bantuan kamu.."
Hazel menggeleng meski tahu kalau Ayana tidak bisa melihatnya. "Maaf, Na. Aku—"
"Please, Zel. Sekali ini aja. Lagi pula, nggak ada salahnya dengan membantu orang lain yang lagi kesusahan, kan? Cuma sebentar."
Bibir Hazel terbuka, hendak kembali menolak tapi urung dilakukan. Ayana bilang, hanya sebentar saja, jadi kemungkinan tidak masalah. Dia hanya harua membantu Ayana menggangi plester luka lalu langsung pulang. Irish juga tak akan tahu.
Sebentar aja, Zel.
"Oke. Kamu diem di sana, Na. Aku ke rumah kamu sekarang."
"Makasih Zel!"
Setelah sambungan telepon terputus, Hazel memasukkan ponselnya ke saku celana dan keluar dari apartemen. Malam yang semakin larut tak lantas msmbuat kota metropolitan menjadi sunyi, justru sebaliknya. Jalanan semakin ramai. Gedung-gedung bertingkat yang di antaranya merupakan kantor Hazel, semakin tampak gemerlap dengan tiap bangunannya yang tampak kokoh.
Orang-orang seakan-akan tak kehabisan energi untuk menikmati malam dan seisinya walaupun keesokan hari mereka harus kembali berangkat pagi untuk mencari nafkah demi sesuap nasi.
Tak butuh waktu lama bagi Hazel untuk tiba di rumah Ayana yang terletak di kompleks perumahan elit. Barangkali perempuan itu sudah memberi tahu satpam komplels, hingga Hazel diizinkan masuk ke dalam tanpa pertanyaan macam-macam.
Ternyata, Ayana sudah menunggu di teras rumah dengan pakaian yang lebih santai. Plester luka yang Hazel tebak adalah plester yang didapat dari klinik, masih terpasang di keningnya.
"Zel." Senyum sumringah terukir di sudut-sudut bibir Ayana, seperti seorang perempuan yang menunggu kekasihnya datang.
"Kenapa di luar? Dingin. Seenggaknya, pakai baju yang lebih tebal supaya nggak masuk angin." Hazel bukan ingin sok perhatian, tapi memang benar adanya. Kaus kebesaran Ayana berbahan tipis untuk dipakai duduk-duduk santai di teras rumah dengan semilir angin yang berembus. Kalau perempuan itu adalah Irish, mungkin Hazel sudah melingkupi tubuhnya dengan jaket.
"Aku pikir kamu bohong kalau mau ke sini. Aku cuma pengin mastiin." Ayana bangkit dari duduknya, berjalan menuju pintu rumah dan membukanya.
"Walaupun aku nggak niat ke sini, tapi aku nggak mungkin langgar janji." Hazel mengikuti langkah Ayana dengan tangan tenggelam di saku.
Ayana tiba-tiba berhenti, yang refleks membuat Hazel mengerem langkahnya lantaran hampir menabrak perempuan itu.
"Kamu ... berubah Zel." Ayana berbalik, menatap Hazel dengan sendu.
"Berubah gimana?" tanya Hazel. Dia melirik penampilannya. Rasa-rasanya dia masih sama seperti Hazel yang dulu, bedanya hanya pada suasana hatinya yang semakin baik sejak berbaikan dengan Irish. Dia juga bukan tokoh superhero yang bisa berubah wujud dalam satu waktu. Atau manusia serigala yang berubah setelah diterkam hewan tersebut.
"Iya, berubah. Kamu jadi makin jauh dari aku. Tiap kali aku pengin kita ketemu, kamu selalu nolak. Sebenarnya kamu kenapa, Zel?" Entah hanya perasaan Ayana saja atau bagaimana, tapi dia merasa kalau perubahan Hazel ada hubungannya dengan asisten pria itu.
Hazel mengerutkan keningnya. "Memang kapan kita dekat, Na? Selama ini kita cuma sebatas rekan kerja doang." Dari ucapan yang dilontarkan Hazel, terdapat penegasan mengenai hubungan mereka yang tanpa sadar menimbulkan kesesakan di dada Ayana. Dia sudah berjuang keras untuk mendapatkan hati Hazel, tapi pria itu terlalu sulit untuk diluluhkan.
Ayana tak melanjutkan percakapan mereka lagi, yang pastinya akan menjurus ke topik yang lebih serius dan berdampak pada hubungan mereka selanjutnya.
"Bisa bantu aku untuk ganti plester luka?" Ayana kembali berjalan menuju ruang tamu. Di sana, sudah ada kotak P3K yang diletakkan di atas meja.
"Iya." Hazel duduk di sebelah Ayana. Kondisi rumah Ayana benar-benar sepi. Sepertinya perempuan itu jujur mengenai asisten rumah tangganya yang pulang kampung.
Hazel membuka kotak P3K, mengambil plester dan betadine. Hazel duduk menghadap Ayana lalu membuka plester luka di keningnya. Ayana hanya diam, menatap pahatan wajah Hazel yang selalu terlihat menarik di matanya. Bagaimana bisa Tuhan menciptakannya seindah ini? Andai Hazel merasakan hal yang sama dengannya, apakah mungkin mereka akan menjadi sepasang kekasih yang berbahagia? Atau mungkin ... justru dia yang lebih bahagia lantaran dapat bersama dengan sosok pria yang selalu dia idam-idamkan sejak pertemuan pertama mereka?
"Lain kali, coba lakuin apa pun sendiri selagi bisa, Na. Aku nggak akan terus bisa nyamperin kamu kayak gini. Apalagi, aku juga punya kehidupan sendiri. Kita bukan siapa-siapa." Hazel kembali menekankan status mereka seraya memasang plester baru di kening Ayana.
"Kita benar-benar nggak bisa jadi siapa-siapa, Zel? Maksudku, kenapa kamu nggak mau coba dulu? Perasaan itu nggak bakal tumbuh kalau kita nggak pernah coba. Sesuatu yang terbiasa, bakal bikin perasaan itu ada." Ayana masih mencoba melakukan negosiasi. Kalau dia berhasil memenangkan tender besar bersama klien, dia pasti juga akan berhasil memenangkan hati Hazel. Tidak masalah kalau harus berjuang lebih keras lagi.
Hazel menggeleng. Dia menutup kotak P3K terlebih dahulu sebelum menatap Ayana lamat-lamat. Dia tak mau munafik kalau Ayana merupakan tipe ideal banyak pria. Bohong kalau dia mengatakan Ayana tak cantik. Bohong kalau dia mengatakan kalau Ayana tak pintar. Bohong kalau dia mengatakan tak pernah tertarik dengan hampir kesempurnaan yang Ayana miliki.
Namun, ini merupakan tentang cinta. Perasaan sensitif yang muncul secara alamiah. Tak bisa kita duga kapan datangnya dan bagaimana. Dia tidak mempersoalkan Ayana karena memiliki perasaan terhadapnya. Hanya saja, dia tidak mau membuat Ayana berharap lebih padanya. Dia sudah punya Irish. Dia mencintai Irish dengan segenap jiwanya. Kehilangan perempuan itu benar-benar membuat Hazel takut. Takut kalau mereka akan kembali merenggang seperti dulu.
"Maaf, Na. Aku ... udah punya seseorang. Aku nggak mungkin kecewain dia." Pada akhirnya, Hazel memang tak bisa menutupi hubungannya dengan Irish terlalu lama. Lambat-laun, semuanya akan terungkap. Hubungan mereka bukan aib yang harus disembunyikan.
Mata Ayana membulat sampurna. Kaget? Tentu saja. Pria itu tak pernah terlihat dekat dengan perempuan mana pun...
"Apa perempuan yang kamu maksud adalah asisten kamu itu?" Ayana sendiri tidak tahu kenapa tiba-tiba dia bertanya begitu. Dia hanya mengikuti insting saja.
Hazel bungkam. Dia mengembuskan napas. Dia sudah tak heran mengapa Ayana langsung bisa menebaknya. Karena memang, siapa yang tidak curiga dengan kedekatan atasan dan bawahan yang terkesan sangat intim? Dia pun kalau menjadi Ayana, akan berpikiran yang sama.
"Zel. Apa memang dia?" Ayana agak mendesak Hazel meski hatinya sudah berdenyut nyeri, dan semakin nyeri saat Hazel justru mengangguk pelan.
"Iya. Perempuan itu adalah asisten aku. Irish."
***
Bali, 01 Oktober 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top