33. Cinta Atau Gila

Namanya juga cinta. Bisa membuat orang yang mengalaminya menjadi buta, dan tak jarang membuat orang-orang di sekitarnya geleng-geleng kepala.

***


Padahal, Irish berharap hubungannya dengan Hazel dapat disembunyikan dalam waktu yang cukup lama, tapi takdir ternyata berkata sebaliknya. Sorot mata penuh kecurigaan yang dilayangkan Neiva sudah menghancurkan keinginan Irish. Ibarat patung, dia sama sekali tak mampu berkutik di hadapan sahabatnya itu.

"Lo bisa jelasin kenapa Hazel ada di sini, Rish?" Pertanyaan Neiva sebenarnya tak cukup sulit untuk dijawab. Irish bisa saja beralasan kalau mereka ada urusan pekerjaan atau apa pun itu lah, hanya saja seperti tubuhnya, bibir Irish juga seakan-akan kelu. Dia ... kehilangan kata-kata karena terlalu gugup.

"Jadi, gini Nei..."

"Gue nggak lagi bicara dengan lo, Zel. Mending lo diem aja." Tatapan Neiva beralih sebentae ke arah Hazel, memberi peringatan. Namun, pria dengan keras kepalanya tentu tak menuruti perintah Neiva. Selain Irish dan keluarganya, dia tidak akan pernah mau menuruti ucapan orang lain kecuali itu adalah pendapat yang bisa diterimanya.

"Gue cuma wakilin Irish. Lagi pula, di sini gue juga ikut terlibat," ucap Hazel, tak merasa gentar sedikitpun dengan aura intimidasi seorang pengacara yang menguar di diri Neiva.

"Lo punya hubungan dengan Hazel?" Mengabaikan Hazel, Neiva kembali bertanya kepada Irish. Dia menatap perempuan itu dengan penuh rasa penasaran.

Bagaimana tidak, pulang dari kerja—setelah berjam-jam berkutat dalam ruang sidang—dia dikejutkan dengan kehadiran Hazel di rumahnya, hanya berdua bersama Irish. Dia bahkan masih ingat dengan kalimat Irish yang ingin segera move on dari Hazel. Ketika ditanya pun, Irish mengaku berurusan dengan Hazel hanya sebatas pekerjaan. Lalu, apa ini? Bukankah dia dan Mauve sudah dibohongi? Meski dia belum tahu apa jawaban yang akan diberikan Irish, tapi banyak praduga-praduga mengelilingi kepala Neiva.

Irish mengembuskan napas, menenangkan kegugupan yang melanda dirinya, persis saat dia tengah sidang skripsi dan diuji oleh dosen killer. "Nei, aku..."

"Kami balikan."

Irish menoleh cepat ketika suara lain mendahuluinya. Matanya mendelik horor, memberi isyarat kepada Hazel kalau pria itu sudah keceplosan. Namun, yang ditatap  seolah-olah tak bersalah. Dia justru masih sempat-sempatnya makan kacang almond di toples yang terletak di atas meja ruang tamu.

"Maksud lo?" tanya Neiva, berusaha memastikan pendengarannya. Respons perempuan itu juga tak kalah kaget dari Irish.

"Lo nggak tahu arti dari balikan? BA-LI-KAN. Memulai kembali hubungan yang sempat terputus—ralat, hubungan yang sempat renggang, karena menurut gue, kami nggak pernah benar-benar putus." Hazel menyodorkan kacang almond kepada Irish. "Mau minta?"

Irish menggeleng. Bahunya melemas, tak mengerti dengan jalan pikiran Hazel yang terlalu blak-blakan. Sudahlah. Semua rencana yang sudah dia susun, berantakan. Padahal mereka sedang diinterogasi, tapi Hazel seperti menganggapnya hanyalah bincang-bincang hangat.

Poor, Irish.

Neiva memutar bola matanya sambil menepuk punggung tangan Hazel. "Jangan abisin kacang gue!"

Bukannya berhenti, Hazel malah semakin mengambil kacang tersebut banyak-banyak. Berusaha untuk tidak peduli, Neiva kembali berbicara. "Gue tahu arti dari balikan. Tapi ... Rish. Lo yakin balikan dengan Hazel? Laki-laki yang pengin banget lo hilangin dari muka bumi ini?"

Alis Hazel terangkat sebelah. "Kamu berharap aku menghilang dari bumi, Rish? Seriously?"

"Enggak, bukan gitu." Tangan Irish melambai-lambai, mengelak. Bisa-bisa Hazel ngambek gara-gara hal sepele. Repot.

"Jadi lo beneran balikan dengan Hazel? Kapan? Kenapa lo nggak bilang ke gue? Gue sahabat lo, loh." Neiva terus mencerca Irish dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuat Irish pusing.

"Bentar, bentar, Nei. Satu-satu dulu. Aku pusing." Irish menggaruk-garuk kepala. Melihatnya, tangan Hazel refleks mengelus punggung Irish lembut. Pria itu tahu kalau ini semua di luar kehendak Irish yang awalnya ingin tetap merahasiakan hubungan mereka.

Walaupun hati Hazel cukup lega lantaran Neiva memergoki mereka—setidaknya Hazel tak perlu adu urat lagi dengan Irish mengenai hal ini—tapi dia tetap tidak tega. Irish pasti kesulitan untuk merangkai kata-kata.

"Calm, Rish. I'm here." Bisikan Hazel ternyata masih mampu diterima oleh telinga Neiva yang langsung berdecak sebal. Baru tempo lalu dia melihat bagaimana Irish enggan berdekatan dengan Hazel, tapi sekarang lihatlah. Mereka seperti perangko yang menempel satu sama lain.

"Jadi, udah bisa dijelasin?" tanya Neiva.

Irish yang mulai merasa tenang, akhirnya buka suara dan menceritakan semuanya. Sepanjang Irish bercerita, Neiva hanya bisa terbengong-bengong dan sesekali menggeleng tak percaya.

"Bisaan, lo Zel. Manipulasi temen gue." Neiva memijat pelipisnya yang mendadak sakit. Irish ... dari awal Neiva memang kurang percaya dengan Irish yang bekerja untuk Hazel. Dia sudah punya firasat kalau Irish akan masuk kembali ke dalam perangkap buaya Hazel. Terlebih, sikap labil Irish yang katanya ingin bebas dari perasaan nano-nanonya, tapi matanya justru menyiratkan keraguan.

See? Irish akhirnya kembali berhasil ditaklukkan oleh Hazel. Tidak butuh waktu lama, seperti masa move on Irish.

"Ini namanya cinta sejati, Nei. Mau seberapa pun jauhnya, kami pasti bakal bersatu lagi."

"Ada kresek nggak? Gue mual dengernya." Neiva berlagak seolah-olah hendak muntah saat mendengar ucapan Hazel yang terkesan picisan. Kenapa Irish bisa betah dengan pria modelan begini?

"Bilang aja lo nggak pernah diginiin dengan Badai."

"Belum pernah dilempar sandal, ya? Sembarangan kalau bicara."

Hazel tertawa. Dia sudah mengenal Neiva dan Mauve dari sejak sekolah, jadi dia tidak canggung lagi saat mengejek perempuan itu.

"Nei, kamu bakal bilang dengan Mauve?" Irish bertanya tiba-tiba, membuat perhatian dua orang di sana kembali terpusat padanya.

"Harus. Dia juga harus tahu tentang ini." Neiva diam sebentar, sebelum matanya menyipit. "Sian kerja bareng lo, kan, Zel? Apa jangan-jangan..."

"Dia nggak tahu tentang gue yang balikan dengan Irish." Hazel menyahut cepat.

"Berarti kalian benar-benar pengin rahasiain ini, ya. Kalau nggak gue pergokin, sampe kapan lo mau sembunyiin ini dari gue, Rish?"

"Sampe kami sebar undangan."

"Gue nggak bicara dengan lo, Zel! Lama-lama gue sumpel juga mulut lo pake kacang!"

"Ih, takut!" Hazel seketika bersembunyi di balik punggung Irish, pura-pura ketakutan meski gelak tawa tak bisa dia tahan.

Irish hanya menggeleng melihat kelakuan Hazel. Dia membasahi bibir lalu menjawab, "Batas waktunya, sih, aku nggak bisa nentuin. Tapi, ya. Aku dan Hazel sepakat untuk sembunyiin hal ini."

"Aku nggak ikut-ikutan, loh, Rish."

Irish mencubit lengan Hazel hingga pria itu mengaduk kecil. "Diem, Zel."

Neiva mengangguk. "Ternyata lo masih belum percaya dengan gue dan Mauve, ya, Rish, sampe lo pengin sembunyiin ini dari kami."

"Bukan gitu, Nei."

"Gue ngerti. Mungkin ini cukup berat untuk lo. Gue dan Mauve bisa apa selain dukung keputusan lo? Pasti ini udah lo pikirin matang-matang sebelumnya."

Bibir Irish tertekuk ke bawah, merasa bersalah dengan Neiva. Namun, nasi sudah menjadi bubur, kan? Neiva sudah tahu lebih dulu, dan dia jadi tidak perlu lagi bermain petak umpet dengan kedua sahabatnya.

***


"Kamu kenapa nggak jujur dengan kami?"

"Maaf, Mau."

"Untung Neiva datang di saat yang tepat, kalau enggak, pasti kamu bakal diem, kan?"

"Maaf, Mau."

Mauve menghela napas, menatap Irish yang rebahan di sebelahnya. Setelah dipergoki Neiva dan Hazel pulang, Neiva langsung menghubungi Mauve untuk segera datang ke rumah mereka. Dan, ya. Seperti dugaan, Mauve benar-benar kecewa dengan sikap Irish. Barangkali karena merasa tak dianggap teman dekat yang sering berbagi cerita.

"Jadi, kamu udah fix balikan dengan Hazel?"

Irish mengangguk. "Iya."

"Terus, gimana perasaan kamu?" Pertanyaan yang Mauve lontarkan membuat Irish diam sesaat. Sebelumnya, Neiva tak pernah bertanya demikian, bahkan mungkin tidak terpikirkan. Hanya Mauve.

"Biasa aja?" Bukan jawaban, melainkan pertanyaan lain yang keluar dari bibir Irish. Dia sendiri tidak mengerti dengan perasaannya. Kalau dibilang menggebu-gebu, tidak juga, tapi dia tetap senang saat akhirnya dia dan Hazel bisa kembali bersama. Bahkan, di kepalanya masih tersimpan beberapa pertanyaan untuk Hazel yang masih belum menemukan jawabannya.

"Nggak senang karena udah balikan dengan Hazel? Kamu nggak perlu galau lagi. Nggak perlu gelisah lagi kalau Hazel coba untuk dekatin kamu. Kamu nggak perlu lagi ngotorin buku kamu dengan berbagai macam cara untuk move on dari Hazel."

Irish menatap atap kamarnya yang polos. "Harusnya, sih, begitu. Tapi ... masih ada yang janggal."

"Kejanggalan apa?"

Irish tampak menimbang-nimbang. Dia bingung apakah dia harus mengatakan mengenai kejanggalan tersebut atau tidak. Namun, Neiva dan Mauve adalah sahabatnya. Dia tidak ingin keduanya kembali kecewa lantaran Irish yang tidak mau jujur. Hanya saja ... dia dan Hazel baru berbaikan. Hubungan mereka masih seumur jagung. Kalau dia mengatakannya, bukanlah itu berarti dia masih ragu dengan Hazel?

"Kenapa bengong? Janggal apanya? Lo curiga kalau Hazel ternyata udah nikah? Udah punya anak? Atau duda?"

"Nei, ih! Jangan sampe, deh." Irish menepuk lengan Neiva yang juga tengah rebahan di sebelahnya. Dia diapit oleh kedua sahabatnya dengan dalih supaya tidak ada acara kabur-kaburan.

"Ya, terus apaan?"

"Alasan Hazel dulu ninggalin aku. Dia masih belum cerita apa pun." Akhirnya, Irish memilih untuk mengatakannya. Siapa tahu mereka punya saran untuk kegelisahannya.

"Hah? Jadi, Hazel sama sekali belum kasih tahu alasannya tapi udah ngajak kamu balikan?" Mauve tiba-tiba bangkit, menatap Irish dengan mata yang melebar sempurna.

"I-iya. Kenapa?"

"Kenapa kamu mau, Rish? Dasar bucin!"

Irish hanya bisa meringis saat Mauve dan Neiva menggeplak lengannya secara bersamaan.

Memangnya dia salah, ya?

***

Bali, 01 Oktober 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top