32. Rumah Impian
Manusia hanya bisa berekspektasi, tapi Tuhan lah yang berhak untuk memutuskan. Kalau memang kita ditakdirkan bersama, sejauh apa pun jarak membentang, kita akan tetap menyatu, bukan?
***
"Minum dulu." Hazel menyodorkan segelas air putih yang langsung diterima oleh Irish dan diteguknya hingga habis. Helaan napas meluncur begitu dia meletakkan gelas. Kekhawatiran yang sempat merambati, sedikit demi sedikit menghilang digantikan ketenangan.
"Kamu tadi kenapa? Kayak takut banget." Hazel duduk di sebelah Irish, mengelus punggung perempuan itu lembut.
"Tadi aku denger suara grasak-grusuk dari arah belakang rumah. Kalau ada Neiva, mungkin aku nggak terlalu takut karena ada teman. Tapi Neiva ternyata belum pulang, jadi aku agak parno," jelas Irish. Dia sangat bersyukur dengan kedatangan Hazel di waktu yang tepat. Dia tidak bisa membayangkan kalau misalnya Hazel benar-benar sudah pulang. Mungkin dia akan ketakutan setengah mati.
"Makanya, kalau aku tawarin untuk diem di sini dulu, jangan sok jual mahal, Rish." Hazel menjawil hidung Irish. Memang, dia berniat untuk menemani Irish lantaran mengetahui kalau Neiva belum pulang. Dia khawatir terjadi sesuatu yang tak diinginkan sementara Irish hanya sendirian di rumah. Maka dari itu, Hazel sempat berdiam diri di dalam mobilnya yang terparkir di pinggir jalan dekat rumah Irish, semata-mata untuk berjaga dan memastikan kalau tak ada hal buruk yang terjadi.
Namun, entah kenapa perasaannya tiba-tiba tak enak. Terlebih saat Neiva tak kunjung pulang, membuat Hazel berinisiatif untuk kembali ke rumah Irish. Dan benar saja, perempuan itu sedang ketakutan. Pelukan yang Irish berikan seolah-olah menggambarkan perasaannya. Tanpa perlu dikatakan lagi, Hazel sudah bisa mengetahui kalau yang dia lakukan-menyusul Irish-adalah tindakan yang tepat.
"Aku pikir Neiva bakal pulang."
"Dan kamu takut kalau hubungan kita kebongkar?"
Irish menunduk, memainkan jari-jarinya. Melihat itu, Hazel mengembuskan napas panjang. Walaupun Irish sudah kembali menerimanya, tapi dia merasa kalau perempuan itu masih ragu dengannya. Terbukti dari keengganan Irish untuk membeberkan hubungan mereka kepada dua temannya. Hazel sebenarnya tidak masalah, apalagi mereka memang baru berbaikan.
Hanya saja, sampai kapan mereka akan bermain kucing-kucingan sedangkan Hazel tak punya waktu banyak untuk bersembunyi? Toh, lambat-laun orang-orang akan tahu juga. Dan mereka mau tak mau harus siap dengan konsekuensi yang akan dihadapi.
"Rish, dengerin aku, bisa?" Hazel memegang bahu Irish, memutar tubuh perempuan itu supaya menghadapnya. "Aku ngerti kalau kamu masih pengin nutupin hubungan kita dengan Neiva dan Mauve, bahkan dengan orang-orang kantor juga."
Tangan Hazel berpindah, menarik tangan Irish untuk digenggamnya. Di ruang tamu rumah Irish, hanya ada keheningan yang memeluk mereka. Televisi sudah Hazel matikan, menambah suasana serius di antara keduanya.
"Tapi kita nggak akan bisa nutupin ini selamanya, kan? Hubungan kita bukan aib yang harus disembunyiin, Rish. Kalau kamu masih ada kejanggalan di hati, kamu bisa tanya. Kita selesaiin semuanya bareng-bareng. Kalau cuma kamu yang khawatir, gunanya aku ada di sini itu apa?"
Irish membalas genggaman Hazel dengan erat. Jujur saja, di balik kebahagiaan yang dia rasakan karena sudah kembali bersama Hazel, masih ada ketakutan-ketakutan yang menghantuinya. Salah satunya adalah ketakutan akan kepergian Hazel yang serba mendadak, lagi. Dia tidak ingin dijatuhkan oleh pria itu untuk kesekian kali.
"Kamu janji untuk sama-sama dengan aku selamanya, Zel?" Perlahan, Irish mendongak, menatap wajah Hazel yang selalu menjadi candunya. Seberapa pun kebenciannya untuk Hazel, nyatanya perasaan cinta itu masih terpendam di hati, sulit untuk dihilangkan bagaimana pun caranya.
"Jangan tinggalin aku lagi." Anggap saja dia bodoh. Anggap dia gila karena masih menerima Hazel, tapi perasaan tak bisa dipaksa. Bersama Hazel dia mungkin merasakan sakit, tapi dia jauh lebih sakit kalau tidak bersama pria itu.
Genggaman Hazel semakin mengerat. Sulit rasanya untuk mengiyakan permintaan Irish di saat hal paling sederhana itu tampak sulit untuk dia lakukan. Untuk sesaat, Hazel terdiam, menatap kedalaman kelereng indah Irish yang selalu membuatnya tenggelam. Dia tidak sanggup untuk menyakiti Irish lagi. Perempuan itu terlalu berharga.
"Janji, Zel?" Irish kembali memastikan, yang akhirnya dibalas anggukan kecil dari Hazel. "Iya."
Meski dia sendiri masih ragu, tapi Hazel tak ingin mengecewakan Irish.
***
"Hape kamu dari tadi bunyi terus." Irish mengerutkan kening saat benda pipih milik Hazel terus berdering nyaring. Dia tentu tahu siapa yang terus-menerus menelepon Hazel. Nama Ayana yang terpampang di layar tak akan bisa Irish lupakan. Entah apa yang ingin Ayana bicarakan kepada Hazel, Irish dilanda kecemburuan. Dia tidak suka perempuan itu terlalu dekat dengan Hazel.
"Biarin aja. Dia cuma mau ganggu aku." Hazel menolak panggilan Ayana lalu mengedikkan bahu sebelum kembali berkutat dengan iPad-nya. Dia sedang memeriksa desain interior dari salah satu kliennya yang akan dipresentasikan beberapa hari kemudian, kalau-kalau misalnya ada kekeliruan yang harus diperbaiki.
"Tapi dia telepon kamu terus," sungut Irish saat ponsel Hazel kembali berdering.
Hazel mengangkat sebelah alisnya. Kali ini, dia bukan hanya menolak panggilan Ayana, melainkan mematikan ponselnya sekalian. "Masalah selesai," ucap pria itu sambil tersenyum puas.
Irish mendengkus, meski dia tanpa sadar ikut tersenyum. Hari sudah menjelang malam, dan Hazel masih menemaninya di rumah. Belum ada tanda-tanda kedatangan Neiva, pun perempuan itu juga belum menghubungi Irish mengenai keterlambatannya.
"Kamu nggak pulang, Zel?" tanya Irish. Mungkin ini sudah ketiga kalinya dia bertanya demikian. Bukan niat untuk mengusir-bahkan dia suka kalau Hazel betah di sini-hanya saja pria itu pasti sedang sibuk. Dari tadi Hazel tak berhenti mengutak-atik iPad-nya dengan wajah serius. Irish tak ingin merepotkan Hazel. Selain itu, Hazel juga harus beristirahat. Kalau Neiva belum juga pulang sampai tengah malam, tidak mungkin dia menyuruh Hazel untuk menetap di sini, bukan?
"Neiva udah hubungin kamu untuk ngasih tahu kapan dia pulang?" Hazel balik bertanya dengan tatapan yang tetap melekat pada iPad.
"Belum, sih. Tapi mungkin dia bakal dateng sebentar lagi." Irish melirik layar ponselnya yang gelap. Setitik kekhawatiran muncul di benaknya. Dia sudah mencoba menghubungi Neiva, tapi ponsel perempuan itu tak aktif.
"Itu juga yang kamu bilang sebelumnya, tapi ternyata kamu ketakutan. Kita tunggu Neiva bareng-bareng, oke?" Hazel sempat mengelus pipi Irish dengan jari telunjuknya.
Irish membuang napas kasar lalu menghempaskan tubuhnya ke punggung kursi. Dia melihat Hazel yang tengah fokus. Sesekali pria itu akan mengernyitkan dahi atau berdecak pelan.
"Zel. Aku boleh tanya?"
Hazel menatap Irish sekilas. "Boleh, dong. Anything you ask, i will answer."
"Kamu, kan, udah sering rancang desain interior klien kamu. Kira-kira, kamu ada bayangan nggak, tentang desain interior untuk rumah kamu sendiri? Atau kamu justru milih untuk tinggal di apartemen selamanya?" Tiba-tiba pertanyaan tersebut terlontar dari mulut Irish, padahal sebelumnya tak pernah terbesit di pikiran perempuan itu untuk bertanya begitu.
Hazel tak langsung menjawab. Dia diam sebentar-seakan-akan tengah menimbang-nimbang jawaban yang akan diberikan-lalu meletakkan iPad di atas meja. Dia berdeham. "Ada. Aku punya banyak rancangan indah di kepala aku mengenai rumah yang akan aku tempati. Entah itu pasangan, maupun dalam bentuk bangunan."
Hazel mengerling ke arah Irish, yang sontak menciptakan semu merah di pipi Irish. Dia tahu siapa yang Hazel maksud.
"Aku nggak bakal tinggal selamanya di apartemen, Rish. Seperti yang pernah aku bilang, aku pengin membangun sebuah keluarga. Jadi, aku akan memberikan yang terbaik untuk keluarga kecil aku."
Hazel tersenyum tipis. Pemikiran untuk membangun sebuah keluarga memang sudah bercongkol di kepalanya sejak beberapa tahun lalu. Melihat banyaknya keluarga kecil yang bahagia membuat Hazel iri. Dia juga ingin suatu saat berada di posisi itu. Bermain di taman bersama anak-anak, menikmati senja bersama pasangan seraya memperhatikan anak mereka, dan menghabiskan malam dengan saling bercerita satu sama lain.
"Oh, gitu." Irish mengangguk, bingung harus merespons bagaimana. Dia yang semula hanya sekadar bertanya, menjadi sangat canggung dengan jawaban Hazel. Meski mereka sudah bersama, tapi siapa yang menjamin kalau mereka akan berjodoh? Tidak ada yang tahu, kecuali Tuhan. Bahkan, Irish yang sempat berandai-andai tentang kebersamaan mereka hingga akhir, nyatanya harus berhenti di tengah jalan seperti dulu. Jadi, tak ada yang tahu nasib ke depannya, kan?
"Kenapa? Kamu nggak setuju?" Kepala Hazel miring, menatap Irish dengan pandangan menggoda.
"Kenapa nggak setuju?" tanya Irish dengan mata yang meliar ke segala arah, tak kuat ditatap sedemikian intens oleh Hazel.
Pria itu mengangkat bahu tak acuh. "Karena aku perlu persetujuan dari nyonya rumahnya juga, kan? Nanti kita bicara lebih lanjut tentang desain interiornya. Kalau kamu kurang suka, kamu bisa kasih ide juga."
"Ih, apaan, sih, Zel? Kamu makin aneh, deh. Nyonya rumah apanya?" Irish menggeleng-geleng, tidak ingin berpikir terlalu jauh.
"Loh, kenapa? Kamu nggak mau nikah dengan aku? Terus, untuk apa kamu terima aku lagi kalau bukan untuk komitmen di kemudian hari?"
"Ya, tapi enggak bahas sekarang juga. Kan, bisa nanti-nanti." Irish mendorong tubuh Hazel supaya menjauh darinya.
"Kapannya kapan? Kalau enggak sekarang dibahas, nanti malah keteteran, Rish. Kamu—"
"Ngapain lo di sini, Zel?"
***
Bali, 01 Oktober 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top