31. Sang Penolong
Setelah bertemu kamu, aku yang terbiasa mandiri, kini berubah menjadi perempuan yang sering bergantung kepadamu.
***
Ayana tidak apa-apa.
Perempuan itu hanya mengalami luka kecil di keningnya karena tak sengaja kepentok saat mengerem dadakan dan sudah bisa pulang dari klinik hari itu juga. Setelah mengurus administrasi, Ayana pergi bersama Hazel beserta Irish.
Masalahnya, Ayana sangat manja dengan Hazel. Dia menempel pada pria itu seperti perangko, seolah-olah dia baru saja mengalami kecelakaan yang parah. Kalau jahat, mungkin Irish sudah mendorong Ayana supaya hilang ingatan sekalian.
"Na, jangan kayak gini." Hazel berusaha untuk melepaskan tangan Ayana yang merangkul lengannya.
"Kok, Na? Biasanya juga manggilnya, Ay."
Ayam maksudnya? Dih, geli, banget!
Irish bergidik ngeri. Rasanya, kalau waktu bisa diputar beberapa saat lalu, dia ingin menghentikan Hazel yang khawatir dengan perempuan itu. Jujur saja, dia tidak suka kalau ada perempuan lain yang cari perhatian Hazel. Mungkin sebelum-sebelumnya, dia bisa menahan diri, tapi kali ini tidak. Dia dan Hazel sudah memulai hubungan baru. Itu berarti dia punya hak untuk cemburu.
Iya, Irish akui kalau dia sedang dilanda kecemburuan. Perasaan aneh yang diam-diam menggelisahkan hati.
"Nama kamu Ayana. Jadi panggil Na, pun, nggak masalah, kan?" Hazel sedikit memelankan langkahnya agar bisa sejajar dengan langkah Irish yang berjalan di belakang mereka.
"Tapi aku lebih suka dipanggil Ay."
"Lama-lama ganti aja namanya jadi Ayam, biar dipanggil Ay." Celetukan Irish sukses mengalihkan pandangan Ayana. Perempuan dengan plester luka di keningnya itu melirik Irish tidak suka.
"Aku nggak ajak kamu bicara. Jadi, nggak usah ikut campur."
Irish memutar bola matanya. "Saya juga cuma memberi ide. Siapa tahu Mbak Ayana suka."
"Zel, asisten kamu ini suruh pulang sendiri aja. Nyebelin banget!"
Mendengar aduan Ayana yang seperti dibuat-buat, Irish menipiskan bibir sambil mencari kantong kresek yang bisa dipakainya untuk menampung makanan di lambung yang ingin dia muntahkan. Hanya saja, begitu menyadari kalau dia baru saja makan di restoran Korea terenak dan cukup mahal, Irish mencoba menahan keinginannya itu. Kasihan kalau dikeluarkan hanya gara-gara Ayana.
Hazel hanya bisa menggeleng. Andai saja Ayana bukanlah salah satu klien penting di kantornya, mungkin sudah dari dulu Hazel membatalkan kerja samanya dengan perempuan itu. Dia bukannya tidak tahu kalau Irish sedang cemburu—meski hatinya menghangat karena itu—tapi dia tidak bisa melakukan apa pun selain menolak Ayana secara halus.
"Kamu bawa mobil, kan? Aku rasa kamu nggak apa-apa kalau nyetir sendiri," ucap Hazel begitu mereka sampai di parkiran.
"Kok, gitu? Aku tabrakan gara-gara ngantuk. Itu berarti aku nggak boleh nyetir sendiri."
"Lagi pula, kamu kalau udah ngantuk, kenapa nggak pakai supir aja? Untung bukan orang yang kamu tabrak, tapi pohon." Hazel mengambil ponsel dari saku lalu mengutak-atiknya.
"Kalau nabrak orang, mungkin dia udah di penjara."
Lagi, Irish menimpali tanpa diminta, yang semakin menambah kekesalan Ayana, barangkali merasa kalau keberadaan Irish mengganggu usaha Ayana untuk pendekatan dengan Hazel. Semenjak perempuan itu muncul di kantor sebagai asisten Hazel yang sebelumnya sangat mandiri—dia sempat merasa aneh dengan ini—Hazel menjadi semakin menjauh, seolah-olah memberi jarak tak kasat mata di antara mereka, dan itu membuat Ayana tidak suka.
"Kamu ngapain, Zel?" Mengabaikan Irish, tatapan Ayana kembali mengarah kepada Hazel.
"Mau sewa supir untuk kamu." Jawaban yang diberikan Hazel menimbulkan kerutan di kening Ayana.
"Aku bareng kamu aja, Zel."
"Terus mobil kamu gimana? Nggak mungkin ditinggalin gitu aja di sini." Hazel menunjuk sebuah mobil yang terparkir bersebelahan dengan mobilnya. "Lagi pula, aku masih ada perlu dengan Irish. Jadi, arah kita beda, Na."
Ayana buka mulut, ingin bersuara, tapi tidak jadi. Dia berdecak sambil bersedekap. Mereka hanya diam sampai akhirnya supir yang disewa datang dan menggantikan Ayana menyetir. Dengan berat hati, Ayana menurut untuk pulang bersama supir. Sebelum benar-benar pergi, Ayana sempat membuka kaca mobil lalu berkata, "Besok aku bakal ke kantor, Zel."
"Hm." Hazel bergumam sebagai balasannya. Begitu mobil Ayana sudah tak terlihat lagi, Hazel melirik Irish yang masih menatap arah kepergian mobil Ayana dengan wajah merengut.
"Kenapa? Ayana, kan, udah pergi." Hazel menenggelamkan tangannya di saku celana.
"Dia kayaknya bener-bener suka dengan kamu, deh, Zel." Irish menghela napas pelan. Mungkin ini hanya sebatas pikirannya saja, tapi Irish dapat melihat pancaran ketertarikan di mata Ayana—ralat, bukan ketertarikan, lebih tepatnya ... cinta. Walaupun Hazel memilihnya, tak dipungkiri ada perasaan tak nyaman di hati Irish.
Selain sikapnya yang menyebalkan, perempuan itu merupakan tipe idaman kebanyakan para laki-laki. Cantik, pintar dan mandiri. semua kriteria itu ada di diri Ayana. Kalau dibandingkan dengan dirinya, mereka seperti langit dan bumi.
Sebenarnya, Ayana sangat cocok dengan Hazel yang juga merupakan pria flamboyan. Kalau mereka bersama, kehidupan keduanya ibarat negeri dongeng. Sang putri dan pangeran yang hidup berbahagia. Namun, lagi-lagi Irish ingin bersikap egois. Dia sudah mencoba untuk melupakan Hazel selama tiga tahun, tapi nyatanya begitu pria itu datang kembali, Irish langsung luluh.
"Terus, kenapa? Aku udah dengan kamu. Masalah perasaan Ayana, aku nggak peduli. Setiap orang bebas untuk menyukai siapa pun, dan setiap orang juga bebas untuk memilih pada siapa mereka ingin bersama." Hazel mengeluarkan satu tangannya lalu menarik tangan Irish, menyatukan jari-jari mereka hingga membentuk tautan hangat. "Mau sesuka apa pun Ayana dengan aku, kalau aku pilih kamu, Ayana bisa apa?"
Ayana bisa apa?
Irish mengulangi pertanyaan Hazel. Ayana tidak bisa apa-apa. Meski perempuan itu memiliki banyak kelebihan dibandingkan dirinya, kalau memang dia yang ditakdirkan untuk Hazel, Ayana tak akan mampu memisahkan mereka. Lalu, untuk apa perasaan gelisah ini merambati hatinya? Sia-sia saja.
"Udah, nggak usah banyak mikir. Aku merjuangin kamu susah payah begini, masa aku lepas gitu aja? Kalau aku nggak sayang dengan kamu, mana mungkin aku berusaha untuk dapetin kamu lagi." Hazel tersenyum tulus, yang sedikit menenangkan hati Irish.
"Iya. Tapi, kayaknya perjuangan kamu belum seberapa, deh, dengan sikap kamu yang ninggalin aku tiba-tiba."
Hazel mendengkus. Pembahasan itu lagi. Entah sudah berapa kali dia mendengarnya dari mulut Irish. Memang, mungkin perempuan itu sudah mulai memaafkannya, tapi ingatan tersebut tak akan pernah hilang dari kepala Irish. Salahnya juga yang tidak pernah mau jujur dengan Irish.
"Aku minta maaf, Sayang."
"Ih? Apaan, sih? Nggak usah manggil gitu." Tiba-tiba, Irish merasa bulu kuduknya meremang. Dia mengelak, tapi pipinya yang bersemu tak bisa menyangkal kalau dia suka dengan panggilan itu.
"Sayang." Dengan usil, Hazel menggoda Irish, yang membuat perempuan itu langsung melepas tautan mereka.
"Jangan bilang gitu lagi, Zel." Irish menutup telinga supaya tidak mendengarnya lagi.
"Sayang, Sayang."
"Stop, Zel! Geli!"
Hazel tertawa renyah, tapi enggan untuk berhenti. Di parkiran klinik, dia bisa melihat wajah malu-malu kucing Irish yang menggemaskan.
***
Kenyataan kalau dia hanya seorang diri di rumah cukup membuat Irish was-was. Meski di samping, ada Mauve dan Sian di rumah mereka, tapi tetap saja dibatasi oleh tembok. Setidaknya kalau ada apa-apa, Mauve maupun Sian perlu waktu untuk tiba di sini. Seharusnya dia memang membiarkan Hazel untuk menemaninya sampai Neiva datang.
Tadi, Hazel sempat menawarkan diri—barangkali paham kalau Irish agak parno ditinggal sendiri di rumah—tapi Irish meyakinkan Hazel kalau Neiva akan pulang sebentar lagi dan dia belum mau perempuan itu tahu tentang mereka.
Namun, hingga tiga puluh menit lamanya, Neiva masih belum menampakkan diri. Dia memang bukan orang yang penakut. Hanya saja, keheningan yang mencekam di rumah—padahal dia sudah menyalakan televisi di ruang tamu—agaknya sukses membuat telinganya menjadi lebih sensitif. Beberapa kali dia mendengar suara grasak-grusuk dari belakang rumah. Dia butuh Neiva!
Irish sibuk mencari kontak Neiva di ponselnya. Setelah ketemu, dia segera menekan tombol panggil dan meletakkan ponsel ke telinga. Dering pertama, belum diangkat. Dering kedua juga sama hingga dering ketiga. Neiva tidak menjawab. Sekali lagi, dia mencoba untuk menghubungi Neiva, berharap perempuan itu mengangkatnya atau segera datang.
Saking cemasnya, Irish tanpa sadar menggigit kukunya yang baru dia potong kemarin. Dia mengerang kesal saat Neiva masih tidak mengangkat teleponnya.
Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki yang semakin mendekat lalu disusul suara ketukan pintu.
"Nei ... kamu di mana?" Irish tidak berani membuka pintu depan. Itu pasti bukan Neiva. Karena Neiva tak pernah mengetuk pintu. Mereka punya kunci masing-masing. Kalaupun itu Neiva, dia pasti akan bersuara untuk dibukakan pintu.
"Rish? Are you okay?"
Hazel! Itu suara Hazel.
Irish seketika bangkit dari duduknya. Dia tak akan salah mengira. Suara berat nan dalam yang belakangan ini selalu dia dengar memang milik Hazel. Dengan penuh kelegaan, Irish keluar dari kamar menuju pintu depan. Sebelum membuka pintu, dia mengecek sekali lagi dari balik jendela. Tentu Irish tak salah mengenali sosok bertubuh jangkung dengan sorot teduh itu.
Buru-buru, Irish membuka pintu lalu memeluk tubuh Hazel yang terkejut dengan tindakan Irish, tapi sesaat kemudian dia membalas pelukan Irish.
"Hei, kamu kenapa?"
"Aku takut, Zel. Neiva belum pulang." Pelukan Irish semakin mengerat. Kemunculan Hazel benar-benar seperti penolong baginya.
"It's okay, Rish. I'm here. Aku ada di sini untuk kamu." Hazel mengelus punggung Irish, menenangkannya.
Irish mengangguk dalam pelukan Hazel. Pria itu benar. Dia tidak perlu takut lagi lantaran Hazel ada di sisinya.
Seharusnya memang begitu, kan?
***
Bali, 01 Oktober 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top