3. Untung Atau Buntung

Padahal aku sudah berusaha untuk menjauh, tapi takdir seolah-olah ingin kembali menyatukan kita.

***

"Seperti biasa, milkshake strawberry dan croffle caramel."

"Makasih, Glenn."

Glenn Samudera-salah satu barista di Cafe Senja sekaligus teman Irish-tersenyum lalu duduk di hadapan Irish setelah meletakkan pesanan. Selama tiga bulan ini, perempuan itu sering mengunjungi Cafe hingga membuatnya dekat dengan Glenn dan karyawan di sana.

Pembawaan Irish yang ramah tak menyulitkannya untuk berbaur dengan siapa pun, tapi aneh. Biasanya Irish tak pernah melupakan laptopnya tiap kali bertandang ke Cafe, berbeda dengan hari ini yang malah membawa amplop cokelat.

Tidak hanya itu, Irish juga memakai kemeja putih dan rok hitam, sementara rambutnya disanggul rapi, persis seperti orang yang ingin interview kerja.

"Kamu udah dipanggil untuk wawancara?" tanya Glenn, mengutarakan keingintahuannya.

Irish menyeruput minumannya dan mengangguk pelan. "Iya."

Glenn mengangkat sebelah alisnya. "Terus, kenapa kamu kelihatan nggak semangat? Bukannya bagus kalau kamu dipanggil? Itu berarti kesempatan kamu untuk kerja lagi udah ada di depan mata, Rish."

Irish mengaduk-aduk minumannya dengan eskpresi yang makin murung. Kalau saja pekerjaannya tidak ada sangkut pautnya dengan Hazel, mungkin dia akan tersenyum secerah mentari, tapi sayangnya dia harus kembali bertemu pria itu dan merendahkan sedikit egonya demi mendapatkan pekerjaan.

Entah ke mana sikap angkuhnya tempo lalu yang percaya diri kalau dia tidak akan menerima uluran tangan Hazel.

Tahu bagaimana respons Hazel saat Irish meneleponnya? Pria itu langsung meminta pertemuan keesokan harinya. Tanpa memberitahu apa saja yang harus Irish bawa sebagai persyaratan. Alhasil, Irish hanya membawa berkas-berkas yang biasa dia cantumkan saat melamar pekerjaan.

"Aku cuma takut nggak keterima lagi. Kamu tahu sendiri, kan Glenn, gimana usaha aku supaya bisa kerja lagi," sahut Irish, berbohong. Tak mungkin dia mengatakan yang sebenarnya kepada Glenn. Masa lalunya bersama Hazel bukan hal penting yang harus dia ceritakan. Kalau saja dia punya pilihan lain, dia tidak akan sudi menghubungi pria itu lagi.

"Sayang banget kamu nolak kerja di sini, Rish."

"Ralat, bukan nolak, tapi aku mengantisipasi adanya kerugian besar."

Kali ini, Irish tidak berbohong. Sebelum ditawari oleh Glenn untuk menjadi waiters di Cafe Senja, Mauve lebih dulu menawarinya untuk bekerja di PinKafe, hitung-hitung sambil menunggu panggilan wawancara. Hanya saja, belum ada sehari Irish bekerja di sana, dia sudah memecahkan lima cangkir dan mendapat protesan karena menabrak pelanggan saat membawa pesanan hingga mengotori baju si pelanggan.

Jadi, daripada Irish melakukan hal yang sama di Cafe Senja, lebih baik dia menolak tawaran Glenn.

Pria yang memiliki gigi gingsul dan love smile itu mengedikkan bahu. "Mudah-mudahan kamu diterima, ya, Rish., supaya kamu nggak galau lagi karena jadi pengangguran. Nanti kalau udah kerja, jangan lupa makan makanan sehatnya dibanyakin."

Irish mendengkus, meski tawa kecil ikut meluncur dari bibirnya. "Kamu lagi sarkas gara-gara badanku yang kurus gini, Glenn?"

"Bukan sarkas, tapi perhatian. Aku nggak mau orang tua kamu kaget karena lihat anaknya kayak orang kurang gizi."

"Glenn, ih!" Irish refleks memukul bahu Glenn.

"Glenn!"

Keduanya menoleh saat nama Glenn dipanggil. Tampak teman pria Glenn melambaikan tangannya-meminta untuk segera dihampiri-dari balik meja kasir. Glenn yang mengerti pun langsung bangkit.

"Aku lanjut kerja dulu. Good luck!" Glenn menepuk bahu Irish pelan, lalu pergi diikuti tatapan Irish yang terus tertuju pada punggung pria itu.

"Rish?"

Irish seketika menoleh dan mendapati Hazel sudah berdiri di depannya. Berbanding terbalik dengan Irish yang formal dan rapi, penampilan Hazel justru tampak santai, seperti orang yang ingin pergi ke mall; celana chino berwarna coksu, kaus polo hitam dan sneakers.

"Udah lama nunggu?" tanya Hazel seraya duduk di kursi yang sebelumnya ditempati Glenn, sementara ponselnya diletakkan di atas meja.

Entah kenapa, Irish mendadak gugup. Barangkali karena dia yang seolah-olah sedang mengemis bantuan Hazel atau takut ditertawakan pria itu karena menjilat ludah sendiri. Yang pasti, Irish menyesal sudah menghubungi Hazel. Kalau waktu bisa diulang, Irish akan tetap meninggikan gengsinya meski nanti dia harus memakan nasi dan garam saja.

Namun, lagi-lagi. Keinginannya untuk tidak merepotkan Neiva terus-menerus menjadi alasan Irish untuk memilih jalan ini.

Irish berdeham dua kali, lalu mengangkat bahu tak acuh. "Lumayan. Milkshake aku sampe nggak dingin lagi."

Hazel melirik milkshake Irish. "Kalau kamu mau pesan lagi, silakan. Aku yang bayar."

"Jadi, apa pekerjaan yang mau kamu kasih ke aku?" tanya Irish, mengabaikan ucapan Hazel. Memang pria itu pikir dia datang kemari hanya untuk menerima traktiran?

Mendapat penolakan secara tidak langsung dari Irish, Hazel tersenyum tipis. Dia bersandar di punggung kursi dengan bersedekap dada. "Aku kira kamu nggak benar-benar serius untuk menerima bantuan aku, tapi saat melihat kamu yang seniat ini-padahal aku nggak minta kamu untuk pakai baju hitam-putih-sepertinya kamu memang udah seputus asa itu."

Irish berdecak sebal. "Kalau kamu cuma mau ngejek aku, mending aku pergi aja."

Irish hendak bangkit ketika tangan Hazel menghentikan pergerakannya. "Oke-oke, Rish. Santai. I'm sorry. Aku nggak ada maksud untuk ngejek kamu."

"To the point aja, deh, Zel. Aku nggak punya waktu untuk dengerin ocehan kamu." Sebisa mungkin Irish bersikap ketus walaupun sebenarnya dia cukup malu karena sudah diolok-olok Hazel.

"Sikap kamu ke aku dengan sikap kamu ke laki-laki tadi, beda banget, Rish."

"Kamu bilang apa?" Irish seperti mendengar Hazel mengucapkan sesuatu dengan nada pelan.

Hazel menggeleng. "Nevermind."

Irish tak peduli. Dia menyodorkan amplop cokelat ke arah Hazel yang dibalas dengan kerutan di kening pria itu.

"Surat lamaran, CV beserta data-data yang diperlukan ada di amplop itu. Kalau ada yang kurang, nanti aku tambahin." Irish menjelaskan. Alih-alih menerima, Hazel justru mengembalikan amplop cokelat tersebut sambil terkekeh kecil.

"Aku nggak butuh itu semua, Rish. Aku tahu latar belakang kamu."

"Maksud kamu?" Irish tak menampik kalau Hazel memang mengetahui latar belakangnya, tapi bukankah untuk melamar pekerjaan memang membutuhkan berkas-berkas yang dia sebutkan tadi?

"Kamu, kan, bakal kerja bareng aku."

Irish menaikkan alisnya, bingung. Sedangkan Hazel malah menarik senyumnya lalu berkata dengan santai-mengabaikan air muka Irish yang berubah saat mendengarnya, "Kamu jadi asisten pribadi aku."

***

"Hazel gila!"

Menjadi asisten pribadi pria itu? Bulu kuduk Irish tiba-tiba merinding di sekujur badan. Demi kerang ajaib, seumur-umur, Irish tidak pernah membayangkan hal tersebut akan terjadi. Dia saja mati-matian berusaha untuk menghindari Hazel. Kalau dia bekerja sebagai asisten pribadi Hazel, itu berarti dia harus berada di dekat pria itu setiap saat, bukan?

"Cari kesempatan dalam kesempitan banget, sih! Bilang aja kalau dia memang sengaja main-main sama aku. Hazel gila, gila, gila!"

Irish menusuk-nusuk mi cup-nya dengan kesal, seolah-olah menganggapnya adalah Hazel Jenggala. Kini, dia sedang berada di minimarket dalam rangka melarikan diri setelah mendengar penawaran konyol dari pria itu. Beruntung, dia tak sampai mengguyur Hazel dengan milkshake yang entah bagaimana nasibnya.

Dengan ekspresi nelangsa-memikirkan masa depannya yang suram-Irish memakan mi-nya yang sudah tak berbentuk secara perlahan. Dia sengaja memilih rasa pedas dower untuk melampiaskan kekesalannya pada Hazel. Namun, alih-alih lega, perutnya justru terasa panas, membuatnya tanpa pikir panjang langsung meminum es teh.

Pilihan yang salah sebenarnya, karena sekarang bukan hanya perutnya yang panas, tapi mulutnya juga kepedasan. Cairan sebening kristal sudah menggenang di pelupuk mata dengan tangan yang dijadikan kipas dadakan dan mulut megap-megap, bak ikan yang terdampar di daratan.

Mama ... hidup anakmu kenapa jadi nggak jelas begini, sih?

Irish berusaha untuk menahan air matanya supaya tidak jatuh, entah karena kepedasan atau sudah lelah dengan hidupnya yang luntang-lantung. Katanya, sebelum dilahirkan, roh manusia sudah diberi spoiler mengenai kehidupan mereka. Namun, Irish sendiri masih bingung dengan alasan rohnya memilih untuk menjalani hidup yang keras ini. Part bahagia apa yang membuatnya terlena, kalau hingga saat ini dia masih merasa merana?

Irish menghela napas. Sudahlah, mungkin memang dia ditakdirkan untuk menjadi gelandangan. Atau nanti dia bisa pulang ke rumah orang tuanya dan meminta untuk dijodohkan dengan saudagar kaya raya yang sudah punya banyak istri.

Menjadi istri muda sepertinya bukanlah pilihan yang buruk. Setidaknya, dia akan mendapat warisan kalau suami tuanya sudah berada di liang lahat. Kemudian, dia bisa mencari suami baru yang lebih muda, lalu mereka hidup bahagia selamanya.

Sungguh hidup yang sinetron sekali.

"Nggak apa-apa, Rish! Tetap semangat!Pasti ada pelangi setelah hujan, kok. Lebih baik kamu jadi pengangguran daripada harus kerja bareng Hazel. Yang ada kamu dibikin sakit hati terus." Irish membisikkan kata-kata penyemangat sambil memeluk dirinya sendiri.

Tanpa menghabiskan mi, Irish bangkit dari duduknya lalu membuang mi tersebut di tong sampah. Kalau perutnya yang tidak bisa menerima makanan pedas tetap memaksakan diri, bisa-bisa dia bolak-balik toilet karena mules.

Irish memutuskan untuk pulang dengan jalan kaki. Hari sudah sore. Banyak kendaraan berlalu lalang membawa penumpangnya kembali ke pelukan keluarga. Langit senja yang menakjubkan seharusnya menjadi objek yang indah untuk diabadikan menggunakan ponsel atau sekadar dinikmati oleh mata telanjang. Namun, Irish sedang tak punya mood yang bagus untuk itu.

Hanya saja, ketika dia tengah berjalan di trotoar, tiba-tiba tas selempangnya ditarik oleh seseorang, membuatnya refleks menoleh. Mata Irish seketika melotot. Tampak seorang pria dalam pakaian serba hitam dan masker berusaha merebut tasnya.

"Pergi! Jangan ambil tas saya! Tolong, tolong, ada pencuri!" Irish berteriak sembari mempertahankan tasnya, tapi tubuhnya langsung didorong oleh pencuri itu, hingga dia terjungkal dan jatuh.

Pencuri itu berhasil membawa tas Irish lalu berlari entah ke mana sebelum sempat dikejar massa.
Kali ini, Irish benar-benar menangis. Ponsel dan dompetnya yang berisi uang terakhir berada di tas tersebut. Setelah ini, dia benar-benar tidak tahu harus bagaimana.

Saat Irish sedang meratapi nasib, sebuah tangan terulur di hadapannya, membuat Irish seketika mendongak.

"Maaf, malingnya nggak kekejar. Ternyata dia bareng temennya yang bawa motor. Tapi aku udah sempat foto plat nomornya untuk jadi barang bukti di kantor polisi."

Seharusnya Irish tak boleh begini, tapi begitu melihat Hazel, emosionalnya semakin menjadi. Dia benar-benar meluapkan rasa frustrasinya di depan pria itu.

"Aku nggak tahu lagi harus gimana, Zel."

Hazel menarik tubuh Irish untuk berdiri lalu menenggelamkan tubuh perempuan itu dalam dekapannya.

"Iya, aku tahu. But i'll be there for you, Irish. Kapan pun kamu butuh aku."

***

Haiii udah lama banget nggak ke lapak ini, karena sebelumnya naskah ini memang sempat ada di Joylada selama beberapa tahun.

Tapi, kali ini cerita ini bakal ada di wattpad dan insyaallah update setiap hari! Jadi, siapkan hati, camilan, dan bantal, ya!

Soo, siapa yang excited?

See u!

Bali, 02 Agustus 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top