26. Mencari Bahagia
Tidak perlu jauh-jauh mencari kebahagian, kalau sebenarnya bahagia itu sudah ada di sekitar kita.
***
Hazel tak kunjung membaik. Tubuhnya masih demam disertai pilek, membuat Irish berencana untuk membawa Hazel ke dokter, tapi langsung ditolak secara mentah-mentah oleh pria itu dengan dalih kalau sakitnya akan sembuh setelah istirahat yang cukup. Padahal, Irish tahu alasan penolakan tersebut adalah karena Hazel takut untuk disuntik. Iya, pria maskulin yang mampu menaklukkan hati wanita seperti Hazel, takut dengan jarum yang tak lebih besar dari jari-jarinya.
Wajar kalau setiap sakit, Hazel lebih memilih untuk meminum obat—tak peduli berapa banyak dan rasanya sangat pahit—daripada disuntik yang sebenarnya mampu mempercepat penyembuhan.
"Zel, mending kamu pulang aja." Irish memberi saran saat melihat Hazel masih menyempatkan diri untuk bekerja saat sedang sakit.
Hazel mengangguk tanpa melepaskan perhatiannya pada laptop, dengan tangan yang terus menari di atas keyboard. "Sebentar lagi, Rish. Ini udah hampir selesai."
"Nanti kalau kamu kejang atau pingsan, jangan salahin aku, loh, ya. Aku nggak mau bantu juga. Izin sehari nggak bakal bikin kamu dipecat."
"Iya, Rish. Sebentar lagi, ya?" Hazel melirik Irish sekilas sambil tersenyum, berusaha meyakinkan kalau dia pasti akan baik-baik saja.
Irish menarik napas dalam-dalam. Bukannya dia khawatir berlebihan, hanya saja dengan mata sayu dan bibir pucat, Hazel tampak seperti pasien rumah sakit yang tengah melarikan diri. Pria itu benar-benar keras kepala. Irish ingin abai, bersikap seolah-olah tak terjadi apa-apa tapi nyatanya dia tidak bisa ketika melihat Hazel memijit pelipisnya di sela-sela bekerja. Tak jarang, pria itu akan mendesis dengan kening yang berkerut dalam.
Irish bangkit dari duduknya lalu menghampiri Hazel. "Zel. Jangan keras kepala, deh. Kalau sakit kamu makin parah, bisa-bisa kamu beneran disuntik."
Mendengar kata 'suntik', Hazel seketika mendongak, menatap Irish ngeri. "Nggak. Jangan sampe aku disuntik. Kamu jangan nakutin, Rish." Membayangkan jarum tajam yang akan menembus kulitnya berhasil membuat bulu kuduk Hazel berdiri.
Demi Tuhan, saking takutnya dengan jarum, dia bahkan pernah menangis di hadapan dokter, meminta untuk diberikan obat paling pahit saja. Dan itu terjadi sewaktu dia sudah beranjak remaja. Untung, dia belum mengenal Irish. Kalau perempuan itu tahu, hilang sudah harga diri seorang Hazel Jenggala.
"Tapi kamu ikut aku ke apartemen. Aku nggak mungkin sendirian di sana. Nanti kalau ada apa-apa, gimana? Kan, aku lagi sakit."
Permintaan orang yang sedang sakit biasanya jarang ditolak—kalau masih dalam batas wajar—tapi untuk yang satu itu, Irish sungguh keberatan. Dia juga punya kehidupan, sedangkan Hazel hanyalah mantan berkedok atasan. Jadi, bukan tugasnya untuk menjaga Hazel seperti seorang perawat. Lagi pula, lama-lama Irish merasa kalau dirinya lebih banyak menghabiskan waktu di apartemen Hazel daripada di rumahnya sendiri.
"Kamu udah dewasa, Zel. Tadi aku suruh periksa, nggak mau. Tapi minta ditungguin. Selama kita nggak ketemu, gimana caranya kamu nanganin diri kamu sendiri waktu sakit? Kamu minta orang untuk jagain kamu juga? Ayana, kah?"
Semestinya, Irish tak mengungkit-ungkit nama perempuan itu lantaran bisa menimbulkan perasaan tak nyaman di benaknya. Namun, entah kenapa dia justru merasa lebih gelisah saat membayangkan bagaimana Ayana merawat Hazel yang selalu manja setiap sakit di apartemen pria itu.
Apa Irish rela, kalau membiarkan Ayana dan Hazel hanya berdua saja di apartemen? Dia tentu tidak tahu apa yang akan terjadi pada keduanya. Siapa yang bisa memastikan kalau nantinya mereka akan menjadi lebih dekat.
Terus, mereka pacaran, deh. Dan kamu, dibuang sama Hazel!
Cepat-cepat, Irish menggeleng. Menepis semua asumsi-asumsi yang mulai berkembang di dalam kepalanya. Dia tak ingin terkecoh dan melupakan misinya untuk move on dari Hazel. Jangan hanya gara-gara perasaan nano-nano yang hinggap, dia menjadi bimbang.
"Kenapa dengan Ayana? Aku nggak pernah minta Ayana untuk jagain aku kayak yang kamu pikir. Aku lupa bilang satu hal ke kamu. Sampai detik ini, selain Mama, cuma kamu perempuan yang aku izinkan untuk memasuki wilayah teritorial aku."
Irish tidak ingin percaya. Kata-kata pria kebanyakan hanya bualan belaka. Terbukti dari Hazel yang justru meninggalkannya padahal pria itu sudah berjanji untuk selalu berada di sisinya. Namun, lagi-lagi dia masuk ke dalam tipu muslihat Hazel. Ekspresi yang Hazel tunjukkan seakan-akan mampu meyakinkannya.
Bisa dibilang, Irish begitu lemah kalau sudah berhadapan dengan Hazel. Dan itu, benar-benar menyulitkan Irish yang ingin segera terbebas dari kungkungan perasaan tak menyenangkan ini.
"Lupain Ayana. Oke, aku bakal ikut kamu ke apartemen, asalkan kamu benar-benar mau istirahat." Akhirnya, Irish menyerah, sekaligus enggan untuk memulai perdebatan mengenai Ayana—perempuan yang mungkin saja sewaktu-waktu akan membuka pintu ruangan Hazel dan mengganggu ketenangan hidupnya.
Senyum manis terbit di sudut-sudut bibir Hazel, menciptakan secercah cahaya di wajah pria itu yang sempat muram. Hazel menekan tombol interkom yang menghubungkannya dengan Jasmine.
"Halo, Pak Hazel. Ada yang bisa saya bantu?"
Hazel tak langsung menjawab, melainkan menatap Irish yang juga tengah menatapnya dengan penuh keingintahuan, barangkali masih canggung karena Jasmine menjadi saksi mata kemesraan mereka berdua yang disengaja Hazel.
Tersenyum tipis, Hazel menjawab, "Jas. Saya izin pulang lebih awal. Saya masih nggak enak badan. Untuk pekerjaan saya, nanti kamu alihkan ke jadwal berikutnya."
"Bapak masih sakit? Baik, Pak. Semoga lekas sehat."
"Makasih, ya, Jas."
Hazel menutup interkom. "Jadi ... kamu bakalan pulang bareng aku, kan?"
***
Kota Jakarta sedang dilanda hujan deras. Padahal, pagi tadi langit masih cerah dengan matahari yang bersinar terik, tapi mendung dengan cepat menguasai hingga akhirnya awan gelap yang menampung air hujan, melepaskan bebannya. Dari balik dinding kaca di apartemen Hazel, Irish mengamati miliyaran air yang jatuh ke bumi. Lalu-lalang kendaraan di jalanan yang basah tak luput dari mata Irish. Beberapa pejalan kaki maupun pengendara roda dua memilih untuk mencari tempat berteduh.
Kalau dilihat dari mendung yang masih pekat, sepertinya hujan akan awet. Irish harap, nanti saat dia pulang ke rumah, hujan sudah berhenti supaya dia tidak perlu lagi basah-basahan atau membeli payung di minimarket bawah.
"Kenapa diem di situ?"
Suara yang berasal dari balik punggungnya, membuat Irish menoleh. Dalam balutan baju lengan panjang dan celana training, Hazel menghampirinya seraya membawa secangkir cokelat hangat yang sudah Irish sediakan.
"Kenapa ke sini? Katanya mau istirahat."
Hazel mengedikkan bahu. Begitu berdiri di sebelah Irish, dia ikut menatap pemandangan di luar sana. "Nggak enak diem di kamar terus. Jadi makin sakit."
Irish mengernyit. "Memang bisa gitu?" Karena setahunya, tubuh butuh istirahat yang cukup supaya bisa beregenerasi lebih cepat.
"Untung kita pulang sebelum hujan, ya, Rish. Tapi kalau udah hujan juga nggak apa-apa. Sekalian hujan-hujanan."
Irish seketika melotot. "Kamu pengin tambah sakit? Jangan aneh-aneh, deh, Zel. Katanya kamu nggak mau diperiksa, tapi kalau kamu hujan-hujanan, aku nggak bisa pastiin kalau kamu nggak bakal dapet suntikan."
Hazel bergidik ngeri lalu mencicipi cokelat hangatnya sedikit demi sedikit. "Kamu ngancemnya pake suntikan terus, Rish. Aku cuma bercanda. Lagi pula, aku nggak bakal tega lihat kamu yang kecil kayak gini gotong aku. Yang ada kita sama-sama jatuh."
"Dih? Siapa juga yang mau gotong kamu? Kalau kamu pingsan sekalipun, mungkin aku bakal biarin aja di luar, terus aku tinggal."
Kalimat yang diucapkan oleh Irish membuat Hazel langsung memegang dadanya, seolah-olah merasa sakit hati. Selain memiliki kepala yang kerasnya melebihi batu, Irish juga memiliki mulut yang terkadang suka pedas seperti cabe rawit.
"Bicara yang baik-baik, Rish. Untungnya kamu lagi nggak hamil. Nanti anak kita kasihan kalau dengerin kata-kata nggak senonoh dari ibunya."
"Hazel gila!" Dengan penuh kekuatan, Irish memukul lengan Hazel yang padat, menimbulkan ringisan dari si empunya dan membuat cangkir yang dibawa Hazel hampir jatuh.
"Jangan galak-galak, Rish. Memangnya aku salah bicara?" gerutu Hazel sambil mengelus lengannya. Meski kepalan tangan Irish kecil, tapi rasanya cukup sakit. Sudah Hazel bilang, kan, kalau Irish adalah definisi kecil-kecil cabai rawit.
"Omongan kamu itu bisa difilter dulu, nggak? Sembarangan banget!"
Hazel hanya senyam-senyum, tapi tak membalas lebih lanjut. Dia kembali menatap lurus ke depan. Hujan masih sama derasnya, dengan angin yang berembus cukup kencang. Di saat seperti ini, orang-orang lebih memilih bergelung di dalam selimut ditemani mie kuah yang di atasnya berisi toping telur rebus dan potongan sayuran.
"Menurut kamu, apa yang kamu suka dari hujan?" tanya Hazel tiba-tiba. Dia sendiri tidak mengerti kenapa dia mempertanyakan hal tersebut.
"Apa yang aku suka dari hujan?" beo Irish. Dia diam sebentar, seperti tengah memikirkan rangkaian jawaban yang berputar di kepalanya. "Sebenarnya, nggak ada. Karena menurut aku, setiap musim itu sama aja. Entah musim panas, hujan, atau pancaroba kayak sekarang. Memang kenapa?"
Hazel menggeleng. "Enggak. Cuma tanya aja."
"Kalau kamu?"
"Hm?" Hazel cukup terkejut saat Irish balik bertanya. Biasanya, perempuan itu tak mau repot-repot memperpanjang obrolan dengannya. Mencoba untuk tetap santai—padahal hatinya sudah berteriak kegirangan—Hazel kembali menyeruput cokelat hangatnya sebelum menyahut, "Yang aku suka dari hujan adalah, walaupun terkadang kedatangannya nggak diharapkan oleh orang-orang, hujan tetap melakukan tugasnya dengan baik, karena hujan tahu, kalau ada segelintir orang yang ingin kesedihannya disembunyikan. Dan hujan membantu mereka."
Hazel menunjuk ke salah satu objek di bawah sana, di mana ada dua orang anak kecil yang sedang bermain hujan-hujanan dengan riang gembira. "Coba lihat mereka, Rish. Mereka adalah salah satu dari banyaknya orang yang menyambut hujan dengan bahagia. Kalau ternyata bahagia semudah itu untuk didapatkan, kenapa kita masih mencari kebahagiaan yang sebenarnya sudah ada di depan mata?"
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top